Ahli Gizi Soroti Pembangunan Tiap SPPG Capai Rp2 Miliar tapi Tak Sebanding dengan Hasilnya
NU Online · Selasa, 16 Desember 2025 | 21:30 WIB
Haekal Attar
Penulis
Jakarta, NU Online
Ahli Gizi Tan Shot Yen menyoroti pembangunan tiap Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang mencapai Rp2 miliar. Meski memakan biaya yang sangat besar, Tan melihat manfaat dari SPPG tidak sebanding dengan fungsi dan output yang dihasilkan.
Sejauh ini, SPPG hanya digunakan untuk mengemas Ultra-Processed Food (UPF), yakni minuman susu, biskuit, atau makanan ringan kemasan. Ia mendorong SPPG untuk membuat makanan yang lebih bergizi non-UPF
"Terus ngapain bikin dapur sampai harganya 2 Miliar? Betul enggak? Apalagi nanti sebentar lagi libur. Udah betul-betul dapurnya tidak berfungsi," katanya dalam tayangan Studi Evaluasi 1 Tahun Makan (Tak) Bergizi (Tak) Gratis oleh Center of Economic and Law Studies (Celios), pada Senin (15/12/2025) lalu.
Tan menekankan bahwa UPF dalam menu MBG justru berpotensi menimbulkan berbagai dampak kesehatan pada anak. Ia menjelaskan, pola makanan seperti itu dapat berkontribusi terhadap gangguan metabolisme dan menurunnya kemampuan fokus anak.
"Jadi anak-anak boro-boro jadi pintar dan bisa belajar, (malah) menyebabkan obesitas lalu performa akademiknya malah anjlok, daya belajarnya hancur dan resiko penyakit jantung di kemudian hari untuk anak-anak ini, dan kematian dini," jelasnya, dikutip dari kanal Youtube Celios.Â
Ia juga menyoroti bahwa Indonesia memiliki kekayaan pangan lokal yang melimpah dan mudah diakses. Tan mencontohkan seperti menu olahan dari telur yang tersedia hampir di seluruh wilayah dari Aceh hingga Maluku.
Tan juga menerangkan bahwa menu berbasis ikan seharusnya menjadi pilihan utama, mengingat Indonesia merupakan negara kepulauan dengan ketersediaan ikan yang melimpah.
"Ya Allah, ini kan terbukti ya bahwa negara kita memang kepulauan. Menu ikan dari Aceh sampai dengan di Papua itu ada semua. Saya jadi ingin tahu nih apakah ahli gizi yang bekerja di SPPG sebetulnya mereka ngerti enggak sih menu-menu seperti ini?," tegasnya.
Ia juga menilai, pilihan menu makanan berbasis pangan lokal, seperti arem-arem atau lepet, seharusnya mampu bersaing dengan produk pangan olahan pabrikan.
Celios dalam laporannya mencatat, sebanyak 71,08 persen responden yang memilih bantuan tunai daripada MBG sangat kuat menginginkan agar program tersebut dilanjutkan dengan perubahan.
Sebaliknya, responden yang memilih MBG daripada bantuan tunai, hampir sepertiganya (27,81 persen) menginginkan perubahan dan perbaikan dan tidak ada yang memilih menghentikan program.
Secara keseluruhan, temuan Celios ini menunjukkan bahwa tingkat dukungan publik terhadap MBG sangat dipengaruhi oleh preferensi jenis bantuan.
Mereka yang memilih MBG cenderung mempertahankannya, sedangkan mereka yang memilih bantuan tunai sangat kritis dan lebih memilih penghentian atau perbaikan besar terhadap program MBG.
Terpopuler
1
Bedah Hujjah KH Afifuddin Muhajir: Dari Kewajiban Taat AD/ART hingga Pentingnya Bukti Konkret
2
Kelompok Sultan Tunjuk M Nuh sebagai Katib Aam PBNU
3
PBNU Kelompok Sultan Targetkan Percepatan Muktamar dan Gelar Harlah 1 Abad NU
4
Gus Yahya Dorong Islah Demi Keutuhan Jamiyah, Serukan Warga NU Tetap Jaga Persatuan
5
Kelompok Sultan Gelar Rapat Harian Syuriyah-Tanfidziyah di Gedung PBNU
6
Penembakan Massal Terjadi di Australia, Seorang Muslim Berhasil Lucuti Pelaku Bersenjata
Terkini
Lihat Semua