Nasional BANJIR SUMATRA

Ahli Iklim Ungkap Deforestasi di Sumatra Sebabkan Badai Tropis Melipir ke Daratan

NU Online  ·  Jumat, 19 Desember 2025 | 10:30 WIB

Ahli Iklim Ungkap Deforestasi di Sumatra Sebabkan Badai Tropis Melipir ke Daratan

Ilustrasi deforestasi. (Foto: freepik)

Jakarta, NU Online

Ahli iklim dan cuaca ekstrem dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Prof Erma Yulihastin mengungkapkan bahwa deforestasi di sejumlah wilayah Sumatra diduga menyebabkan pergerakan badai tropis, sehingga lebih sering melipir ke daratan dan meningkatkan dampak cuaca ekstrem.


Prof Erma menyebut bahwa fenomena ini diperkuat oleh kombinasi pemanasan permukaan laut dan berkurangnya tutupan hutan di pesisir. Ia menekankan, fenomena ini tidak bisa dilepaskan dari perubahan iklim dan deforestasi.


“Permukaan laut di dekat pesisir itu lebih panas daripada di tengah laut, sehingga itu menarik badai, karena badai biasanya bergerak ke area yang lebih panas. Nah, ini akhirnya badai itu lebih melipir ke pesisir, ke daratan kita,” ujar Prof Erma dalam diskusi yang digelar secara daring, pada Kamis (18/12/2025).


Ia menambahkan bahwa riset internasional di Teluk Meksiko memperkuat temuan tersebut. Dalam eksperimen, daratan berhutan lebat membuat suhu lebih dingin sehingga badai tetap bertahan di laut. Namun ketika tutupan hutan dikurangi, daratan menjadi panas dan badai justru tertarik masuk ke pesisir.


“Ketika tutupan lahan banyak, suhunya cooling di darat, badai tidak pergi ke darat. Tapi ketika tutupan lahan berkurang, terjadi deforestasi, ternyata itu punya implikasi besar yaitu badai yang tadinya di laut, menuju ke darat,” jelasnya.


Prof Erma menekankan bahwa efek hutan terhadap badai selama ini dianggap minor, padahal riset menunjukkan pengaruhnya sangat besar.


“Evaporasi dari hutan mempengaruhi cooling dan warming daratan. Itu ternyata punya pengaruh signifikan terhadap pergerakan badai. Padahal selama ini kita anggap kecil,” katanya.


Ia juga mengingatkan bahwa proyeksi hingga 2040 menempatkan Sumatra sebagai wilayah paling rawan angin ekstrem, disusul Kalimantan.


Kondisi deforestasi di kedua pulau besar ini, menurutnya, bisa membuat badai tropis semakin sering salah tempat dan melipir ke daratan.


Di forum yang sama, Direktur Eksekutif Yayasan Hutan, Alam dan Lingkungan Aceh Farwiza Farhan menegaskan bahwa peta monitoring bencana yang mereka buat sejak 2022 menunjukkan hubungan jelas antara banjir dan hilangnya tutupan hutan.


“Aceh itu area yang setiap tahun mengalami banjir dan longsor. Ketika kita plot daerah rawan bencana terhadap kehilangan tutupan hutan, terlihat jelas pola di Aceh Utara, Aceh Timur, dan Aceh Tamiang,” ujarnya.


Farwiza menjelaskan bahwa deforestasi di daerah aliran sungai (DAS) sejak 1990-an masih berdampak hingga kini.


“Implikasi kerusakan hutan yang terjadi di tahun 90-an itu masih kita rasakan sampai sekarang. Ketika banjir bandang bulan lalu menyapu 18 kabupaten di Aceh, banyak orang bilang Aceh masih banyak hutannya. Tapi faktanya, sejak lama tutupan hutan yang bisa ditebang sudah habis,” katanya.


Ia menambahkan bahwa studi IPB tahun 2020 sudah memprediksi DAS Tamiang memiliki sensitivitas sangat tinggi, dengan potensi banjir bandang yang mempengaruhi 70 persen desa di wilayah tersebut.


“Dampak yang kita rasakan saat ini sebenarnya bukan hal baru. Sudah lama diketahui, tapi bencana besar terjadi ketika pemerintah tidak mau mendengar apa kata peneliti,” tegasnya.


Sebuah studi iklim pada 2005 yang dipublikasikan dalam Journal of Climate memberikan landasan ilmiah yang kuat bagi peringatan para ahli hari ini tentang dampak deforestasi terhadap pergerakan badai.


Penelitian berjudul The Effects of Satellite-Derived Vegetation Cover Variability on Simulated Land-Atmosphere Interactions in the NAMS oleh Toshihisa Matsui dkk itu menganalisis tentang perubahan tutupan vegetasi yang mempengaruhi interaksi darat-atmosfer dan jalur badai di kawasan sistem monsun Amerika Utara, termasuk Teluk Meksiko.


Studi ini bermula dari pertanyaan mendasar yaitu, bagaimana variabilitas tutupan vegetasi hijau (Greenness Fraction/Fg) mempengaruhi iklim regional, khususnya curah hujan konvektif dan pergerakan siklon tropis di kawasan Monsun Amerika Utara (NAMS)?


Para peneliti menggunakan Regional Climate Model (RCM) bernama MM5-OSU LSM untuk mensimulasikan musim panas tahun 2000 (tahun kering). Mereka menjalankan tiga skenario dengan kondisi batas vegetasi yang berbeda:


DYN: tutupan vegetasi dinamis, berubah setiap bulan seperti kondisi observasi tahun 2000. FIX: tutupan vegetasi dibekukan pada kondisi awal Juni 2000 (lebih gundul). DIFF: tutupan vegetasi dinamis menggunakan pola dari tahun 1999 (yang lebih basah dan lebih hijau).


Tujuan studi ini adalah untuk menguji apakah umpan balik vegetasi-atmosfer benar-benar ada, dan apakah sifatnya positif (vegetasi lebih hijau meningkatkan hujan) atau negatif?


Sejumlah temuan

Pertama, vegetasi yang lebih hijau tidak selalu meningkatkan penguapan. Hasil simulasi mengejutkan yaitu tutupan vegetasi yang lebih tinggi (higher Fg) tidak serta-merta meningkatkan Evaporative Fraction (EF) atau total penguapan.


Penyebabnya adalah simulasi kelembaban tanah yang rendah menghasilkan nilai resistensi kanopi yang tinggi, yang justru menghambat transpirasi (penguapan dari tanaman).


Kedua, daratan yang lebih gundul justru dapat memicu hujan lebih besar (dalam kondisi tertentu). Eksperimen FIX yang mewakili kondisi tutupan vegetasi rendah yang terus menerus justru menghasilkan EF dan curah hujan tertinggi di kawasan NAMS.


Hal itu karena dengan lebih sedikit vegetasi, evaporasi langsung dari tanah (bare soil evaporation) menjadi lebih efisien ketika ada kelembaban, dibandingkan dengan transpirasi dari tanaman yang tercekik stres air.


Ketiga, perubahan tutupan vegetasi dapat mengalihkan jalur siklon tropis (badai melipir ke daratan). Studi ini menemukan bahwa perbedaan kondisi tutupan vegetasi antara eksperimen DYN dan FIX secara konsisten memodifikasi fluks energi permukaan dan sirkulasi atmosfer regional.


Modifikasi ini pada akhirnya mengubah jalur siklon tropis. Dalam simulasi FIX (vegetasi lebih rendah), sebuah siklon tropis terdorong masuk ke daratan utama (NNAMS), sementara dalam simulasi DYN, siklon tetap berada di laut.


Studi Teluk Meksiko pada 2005 ini memberikan dasar ilmiah mekanistik yang kuat. Studi ini menunjukkan bahwa perubahan tutupan lahan bukan hanya soal banjir dan longsor lokal, tetapi mampu mengubah pola cuaca regional, termasuk mengalihkan jalur badai tropis yang mematikan ke arah daratan.

Gabung di WhatsApp Channel NU Online untuk info dan inspirasi terbaru!
Gabung Sekarang