Tangerang Selatan, NU Online
Kian hari, kian banyak orang ditangkap oleh polisi dengan tuduhan menyebarkan ujaran kebencian. Kebanyakan dari mereka juga menebarkan hal tersebut melalui media sosial. Bahkan ada industri khusus yang membuat hal semacam itu.
Faktor menjamurnya ujaran kebencian adalah kurangnya minat baca di kalangan masyarakat Indonesia. Baru baca judulnya saja, banyak orang yang langsung membagikan berita tersebut tanpa mengintip isinya sama sekali. Jangankan membaca keseluruhan isinya, mengintip saja belum.
Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UIN Jakarta Makyun Subuki mengungkapkan beberapa faktor yang menyebabkan maraknya ujaran kebencian itu.
Faktor pertama yang disoroti Makyun adalah perihal minat membaca masyarakat Indonesia yang rendah. “Yang jadi masalah itu tradisi membaca kita buruk,” ujarnya. “Orang yang paling berbahaya adalah orang yang hanya membaca satu buku,” ujarnya mengutip sebuah ungkapan ketika ditemui di kediamannya, Pamulang, Tangerang Selatan, Kamis (11/1).
Hal itu diperparah dengan hanya mengandalkan satu sumber saja, tanpa peduli ada media lain yang menginformasikannya. Dengan dasar satu sumber itu, mereka menyalahkan dan menganggap dirinya paling benar. Maka rasanya, ungkapan di atas sangat cocok bagi mereka yang gemar menyuarakan ujaran kebencian.
Selain rendahnya gairah membaca, faktor lain maraknya ujaran kebencian adalah teknologi. Banyaknya media sosial karena perkembangan teknologi saat ini dimanfaatkan orang-orang sebagai sarana mereka menyalurkan umpatan mereka.
“Yang repot itu salurannya. Sekarang itu lebih banyak daripada dulu,” kata Makyun.
Pada asalnya mungkin ujaran itu biasa. Tapi yang memberikan kekuatan luar biasa itu teknologi sebagai media penyebarnya. “Efek komunikasinya itu mungkin kecil, tapi karena pengaruh teknologi, efeknya jauh lebih besar.”
Faktor selanjutnya dipengaruhi oleh tokoh. “Tokoh juga pengaruh.”
Dulu, penokohan dibangun secara tradisional. Misal melalui hubungan kemasyarakatan yang relatif lebih lambat dibanding dengan melalui sistem pemasaran (marketing) yang diterapkan pada media sosial. Penokohan kedua bisa melesat pesat, meskipun ketokohannya itu tidak mencerminkan kemampuannya.
“Kalau sekarang bisa dibentuk, lewat televisi, lewat medsos, dan semua bentuk budaya populer yang kadang kala sebetulnya ketokohan itu tidak melambangkan kredebilitasnya,” ucap Makyun.
Hal itu berdampak juga pada orang-orang yang mengidolakannya karena pembentukan ketokohannya pun melalui jalur yang sama. Mereka dengan kesiapan penuh mengikuti tokoh yang diidolakannya meskipun tokoh tersebut gemar mengumpat ke sana ke mari.
“Umatnya dibentuk melalui jalur mereka dibentuk sebagai tokoh juga, secara epistimologis pembentukannya sama, sehingga mereka juga mudah mengamini apapun yang diungkapkan oleh tokoh idola mereka,” katanya.
Faktor utama munculnya ujaran kebencian adalah kepentingan. “Yang merusak sebetulnya itu kepentingannya.”
Di balik terujarkannya kata-kata umpatan itu ada unsur-unsur politis. “Dan itu sayangnya dasarnya untuk kepentingan politik,” kata Makyun. “Hate speech untuk mempengaruhi preferensi politik itu bukan untuk merawat relasi sosial, tapi sebaliknya, umpatan itu dimanfaatkan untuk membuat keretakan sosial,” lanjutnya.
Menurut Makyun, tidak semua umpatan itu buruk. Hal-hal di atas mencerminkan umpatan sebagai bahasa peretak sosial. Umpatan juga bisa dimanfaatkan sebagai perekat sosial. Ada norma interaksi yang dibangun oleh penutur dan mitra tuturnya.
“Kalau ada orang yang menggunakan umpatan untuk merekatkan keakraban itu menggunakan norma interaksi mereka,” kata Makyun.
Banyak orang yang menggunakan umpatan bukan sebagai bentuk ujaran kebencian atau mengekspresikan kemarahan, justru sebaliknya, sebagai ungkapan kedekatan.
“Ada orang yang memanfaatkan umpatan itu sebagai cara dia merealisasikan ikatan-ikatan sosial yang dekat, ada juga yang memang untuk melampiaskan kemarahan,” katanya.
Hal itu bisa dilihat pada orang-orang yang sudah sangat akrab. Mereka terkadang memanggil rekannya satu sama lain itu dengan umpatan yang dalam situasi lain, bisa dianggap sebagai tindakan yang sangat kasar. Tetapi sapaan dengan menggunakan umpatan itu justru menjadi perekat hubungan mereka.
Pendidikan Bahasa Kita
Pendidikan bahasa kita selama ini hanya ditujukan untuk kepentingan industri. Hampir semuanya membahas hal-hal formal, seperti surat-menyurat, cara menulis, dan sebagainya.
“Kesalahan kita itu kan salah satunya menganggap bahwa pelajaran bahasa itu harus berangkat dari hal-hal yang sifatnya formal dan berhubungan dengan industri sehingga seolah-olah yang penting itu bahasa di ruang-ruang industri,” kata Makyun.
Akademisi lulusan pondok pesantren Ash-Shiddiqiyyah Jakarta itu mengungkapkan bahwa bahasa di tengah masyarakat itu tidak diurus negara. Ia alpa pada kurikulum yang dihadirkan. Padahal bahasa bukan sekadar alat industri. Lebih dari itu, bahasa merupakan media interaksi. Hal tersebut mengakibatkan ujaran kebencian merebak.
“Kurikulum bahasa itu harusnya diarahkan untuk menjaga interaksi sosial kita itu dapat menjadi perekat sosial dan memang kerekatan sosial itu dibangun lewat bahasa,” katanya.
Selain melalui jalur pendidikan kebahasaan, hal yang perlu dilakukan untuk mengatasi maraknya ujaran kebencian adalah dengan merebut jalur-jalur komunikasi. “Memperbanyak jalur komunikasi,” katanya. (Syakir Ni’amillah Fiza/Abdullah Alawi)