Nasional

Alissa Wahid Ungkap Pentingnya Kembangkan Pesantren Khusus sebagai Tempat Pemulihan Korban Kekerasan Seksual

Ahad, 12 Januari 2025 | 16:00 WIB

Alissa Wahid Ungkap Pentingnya Kembangkan Pesantren Khusus sebagai Tempat Pemulihan Korban Kekerasan Seksual

Ketua PBNU Alissa Qotrunnada Munawaroh Wahid. (Foto: NU Online/Suwitno)

Jakarta, NU Online

Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Alissa Qotrunnada Munawaroh Wahid mengungkapkan pentingnya mengembangkan pesantren khusus, sebagai tempat pemulihan bagi korban kekerasan seksual.


Pesantren itu, katanya, dapat menjadi ruang yang aman untuk mendampingi dan melindungi korban, serta memberikan dukungan psikologis yang dibutuhkan.


"Jadi pesantrennya yang dibuat sebagai pesantren khusus (yang) memiliki perspektif khusus, memiliki metodologi khusus. Itu yang sekarang sedang kita eksplorasi memungkinkan atau tidak," katanya dalam acara Halaqah Nawaning: Madrasah Ula untuk Santri Sadar Pendidikan Seksual dan Sehat Mental di Hotel Harris Surabaya, Jawa Timur, pada Sabtu (11/1/2025).


Alissa menjelaskan bahwa korban kekerasan seksual perlu diberikan perlindungan dengan memastikan identitas mereka tidak tersebar di lingkungan sekitar.


Selain itu, menurutnya, pendampingan psikologis sangat diperlukan untuk menguatkan korban agar bisa kembali pulih dan melanjutkan hidupnya.


"Di PBNU miliki perspektif melindungi korban dan mendampingi korban. Misalnya menjaga sampai tidak tersebar ke tempat di mana bahwa dia adalah korban, lalu diberikan pendampingan khusus untuk penguatan psikologis," jelasnya.


Alissa menegaskan bahwa nantinya pesantren khusus itu memiliki perspektif inklusif dan mendukung pemulihan, tanpa mengungkapkan latar belakang korban.


"Di situ dia benar-benar dilindungi dan didampingi, jadi teman-teman di pesantren yang baru tidak perlu tahu apa yang terjadi dan latar belakang," katanya.


Ia menegaskan bahwa pesantren yang menerima korban kekerasan seksual harus memiliki pendekatan khusus, seperti mendeklarasikan diri sebagai pesantren yang memiliki pusat krisis (crisis center) untuk perempuan.


Dengan pendekatan ini, lanjut Alissa, pesantren tidak hanya menjadi tempat belajar agama, tetapi juga menjadi ruang yang menyemangati dan memberi dukungan moral kepada korban, sehingga mereka merasa diterima dan diperlakukan dengan penuh empati.


"Artinya ketika ada santri ɓaru yang kemudian bahwa ini korban di pesantren, lalu sikap teman-temannya itu sudah dikondisikan sedemikian rupa sehingga dapat merangkul dan memberikan penguatan," jelasnya.


Alissa berharap, program ini dapat terealisasi melalui kolaborasi dengan lembaga-lembaga terkait, termasuk pesantren yang memiliki kapasitas untuk mendukung korban kekerasan seksual.


"Kalau melihat atensi, intensi dan agensi yang ada di ruangan ini saya yakin nawaning bisa menjalankan peran itu buat pesantren yang menjadi tempat untuk para korban. Moga-moga itu bisa dibuat inisiatifnya," terangnya.