Carut-Marut MBG Jadi Sorotan: Tata Kelola Lemah, Potensi Keracunan, dan Bias Gender
NU Online · Kamis, 23 Oktober 2025 | 16:30 WIB
Gambar hanya sebagai ilustrasi berita. Siswa sekolah dasar sedang menyantap menu program MBG. (Foto: NU Online/Suwitno)
Mufidah Adzkia
Kontributor
Jakarta, NU Online
Tim Redaksi Kondedotco Anita Dhewy menyoroti Program Makanan Bergizi (MBG) yang dijalankan secara terburu-buru tanpa perencanaan matang, baik dari aspek tata kelola, keselamatan pangan, maupun kesetaraan gender.
Hal tersebut ia sampaikan dalam diskusi bertajuk Bincang Carut-Marut MBG: Keracunan Massal, Keterlibatan Militer, hingga Bias Gender yang digelar melalui Space X pada Rabu (22/10/2025).
Anita menjelaskan bahwa pelaksanaan program ini dilakukan secara seragam di seluruh daerah tanpa mempertimbangkan kondisi geografis dan kelembagaan sekolah. Kebijakan yang bersifat sentralistik ini, menurutnya, menjadi akar berbagai persoalan di lapangan.
“Program ini tampak dipaksakan demi memenuhi target waktu, padahal kebutuhan setiap daerah berbeda. Ini membuat pelaksanaannya tidak sensitif terhadap konteks lokal,” ujarnya.
Ia menambahkan, perbedaan sistem pendidikan antara sekolah di bawah Kementerian Pendidikan dan Kementerian Agama juga memunculkan dampak tersendiri. Di beberapa sekolah berbasis agama yang libur pada Jumat, jatah makanan justru dirapel pada Kamis dengan bentuk makanan ultraproses seperti biskuit atau kacang panggang.
“Kebijakan semacam ini menunjukkan bahwa yang dikejar bukan kualitas gizi, tapi angka pelaksanaan di atas kertas,” kata Anita.
Kasus keracunan makanan dan temuan makanan basi di sejumlah daerah turut menjadi sorotan. Salah satunya terjadi di Kabupaten Jepara, ketika guru menemukan lauk ayam yang sudah berbau sebelum dibagikan kepada siswa.
“Beruntung guru-guru sigap, kalau tidak mungkin banyak anak yang jatuh sakit. Insiden tersebut membuktikan lemahnya kontrol kualitas dan pengawasan dapur MBG,” tuturnya.
Masalah lain juga muncul dari sisi ketenagakerjaan di dapur Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG). Banyak pekerja di lapangan berstatus tidak tetap dan kerap menerima gaji terlambat, padahal mereka bekerja dua hingga tiga shift setiap hari.
“Mayoritas pekerja di dapur ini adalah perempuan, tapi mereka justru paling rentan. Tidak ada jaminan kerja, tidak ada kontrak yang jelas, dan upah sering terlambat,” ungkap Anita.
Ia menilai, lemahnya perlindungan hukum dan struktur kerja yang maskulin membuat perempuan hanya dipandang sebagai pelaksana, bukan pengambil keputusan.
“Bias gender ini sangat jelas. Suara perempuan tidak terdengar dalam pengambilan kebijakan, padahal mereka yang paling tahu kondisi lapangan,” tegasnya.
Selain itu, besarnya beban anggaran program MBG juga menjadi sorotan. Jika diakumulasikan untuk 9.231 SPPG yang telah ditargetkan, dan dengan potensi ekspansi hingga 24.000 dapur pada akhir 2025, maka estimasi anggaran harian yang terserap dapat mencapai sekitar Rp480 miliar.
“Bayangkan jika dana sebesar itu dialihkan untuk kesejahteraan guru atau infrastruktur sekolah. Dampaknya akan jauh lebih terasa,” kata Anita.
Ia menegaskan bahwa tanpa pembenahan tata kelola yang transparan dan sensitif gender, Program MBG justru berpotensi memperparah ketimpangan sosial.
“Alih-alih memperbaiki gizi anak, program ini bisa memperlebar kesenjangan, terutama terhadap perempuan yang menjadi tulang punggung di balik dapur program ini,” pungkasnya.
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Kerusakan Alam dan Lalainya Pemangku Kebijakan
2
Khutbah Jumat: Mari Tumbuhkan Empati terhadap Korban Bencana
3
Pesantren Tebuireng Undang Mustasyar, Syuriyah, dan Tanfidziyah PBNU untuk Bersilaturahmi
4
Mustasyar, Syuriyah, dan Tanfidziyah PBNU Hadir Silaturahim di Tebuireng
5
20 Lembaga dan Banom PBNU Nyatakan Sikap terkait Persoalan di PBNU
6
Gus Yahya Persilakan Tempuh Jalur Hukum terkait Dugaan TPPU
Terkini
Lihat Semua