Nasional BANJIR SUMATRA

Eks Kepala BMKG: Banjir Sumatra Dipicu Endapan Purba dan Aktivitas Manusia yang Signifikan

NU Online  ·  Sabtu, 6 Desember 2025 | 14:00 WIB

Eks Kepala BMKG: Banjir Sumatra Dipicu Endapan Purba dan Aktivitas Manusia yang Signifikan

Mantan Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Dwikorita Karnawati. (Foto: tangkapan layar Youtube UGM)

Jakarta, NU Online

Mantan Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati mengungkapkan bahwa penyebab banjir bandang yang melanda wilayah Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat dipicu oleh endapan purba dan aktivitas manusia yang signifikan.


Ia menjelaskan bahwa secara alami, kondisi geologi Perbukitan Barisan memiliki tingkat kerentanan tinggi terhadap bencana.

“Perbukitan Barisan memiliki karakter kegempaan kecil dan potensi longsor alami. Namun, jika murni faktor alam, bencana berskala besar tidak akan terjadi pada periode sekarang,” ujarnya saat Forum Pojok Bulaksumur bertajuk Menelisik Penyebab dan Dampak Banjir Bandang Sumatera dikutip NU Online, Sabtu (6/12/2025) dari kanal Youtube UGM.


Dwikorita menyampaikan bahwa periode ulang banjir bandang membutuhkan waktu sekitar 50 tahun. Ia merujuk pada banjir bandang di Taman Nasional Gunung Leuser pada 2003 yang dipicu longsor akibat gempa.


“Artinya, harusnya baru terjadi tahun 2053, bukan sekarang,” tegasnya.


Karena periode ulang belum terpenuhi, ia menilai ada faktor non-alami yang mempercepat dan memperparah bencana, baik dari segi frekuensi, intensitas, maupun luas area terdampak. Menurutnya, aktivitas manusia telah memperbesar risiko secara signifikan.


“Ada lahan yang terbuka. Entah karena pembalakan liar, permukiman, atau penggunaan lain. Itu sangat memperparah bencana,” katanya.


Dwikorita menyampaikan bahwa melalui citra satelit menunjukkan banyak kawasan yang tidak lagi tertutup hutan.


“Kerentanan geologi seharusnya dikompensasi dengan pemulihan lingkungan. Bukan dibiarkan,” ucapnya.


Ia juga menyoroti perubahan morfologi wilayah terdampak banjir bandang, termasuk munculnya endapan baru. Menurutnya, perlu adanya pemetaan ulang untuk penataan ruang berbasis risiko.


“Kipas aluvialnya terlihat jelas dari rekaman udara. Dengan sedimen yang terus mencari jalur baru, tata ruang harus disesuaikan,” katanya.


Guru Besar Teknik Geologi dan Lingkungan Universitas Gadjah Mada (UGM) itu merekomendasikan agar beberapa wilayah dikembalikan menjadi kawasan pemulihan ekologi karena tingkat bahaya yang semakin tinggi.


Menurutnya, pola bentang alam yang sama dengan Perbukitan Barisan juga terdapat di Jawa, Sulawesi, Maluku, hingga Papua yang kemungkinan dapat berpotensi bencana serupa terjadi di berbagai wilayah jika ada pemicu cuaca ekstrem.


“Bibit siklon saja sudah cukup untuk memicu banjir bandang. Setelah November, memasuki Desember hingga April, siklon tumbuh di selatan ekuator. Jawa dan Nusa Tenggara harus siaga,” ujarnya.

Gabung di WhatsApp Channel NU Online untuk info dan inspirasi terbaru!
Gabung Sekarang