Jakarta, NU Online
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) melakukan kerja sama di bidang penanggulangan terorisme dengan Lembaga Kontra Terorisme Amerika Serikat. Kerja sama ini ditandai dengan penandatanganan Memorandung of Outstanding (MoU) antara Kepala BNPT Suhardi Alius dengan Counterterrorism Coordinator AS Nathan A Sales.
Penandatanganan yang disepakati di Jakarta pada Jumat, (14/9) dilakukan untuk meningkatkan kerjasama antar kedua negara mengingat banyaknya warga AS yang melakukan travel baik ke Indonesia, maupun sebaliknya dari Indonesia ke AS.
“Kami akan terus bertukar informasi dan berkomunikasi agar kedua negara bisa sama-sama mengantisipasi aksi terorisme,” ujar Suhardi Alius. Kerja sama ini selanjutnya diharapkan dapat meningkatkan keamanan di kedua negara.
Ia meyakini, negara yang aman akan menigkatkan kondusivitas iklim ekonomi dan menarik perhatian investor dari luar negeri termasuk juga dalam sektor pariwisata.
Kerja sama ini merupakan salah satu dari bentuk kerja sama secara eksternal yang dilakukan BNPT. Secara internal, BNPT melakukan koordinasi dengan puluhan untuk tujuan penanggulangan terorisme. Penaggulangan terorisme, lanjutnya, memerlukan kerja sama dengan banyak pihak, baik dalam negeri maupun kerjasama internasional.
Sementara itu Counterterrorism Coordinator AS Nathan A Sales mengungkapkan, bahwa MoU ini akan sangat bermanfaat bagi kedua negara dalam menanggulangi terorisme, mengingat kedua negara selama ini banyak dijadikan sasaran aksi dan ancaman teror, terutama dari kelompok ISIS.
“Kami akan menjadi partner yang solid dalam melawan terorisme karena Indonesia dan AS sama-sama memiliki pengalaman dalam menangani terorisme,” ungkap Sales.
Menurutnya, MoU ini akan memberikan bermanfaat dalam mendeteksi setiap upaya berbau terorisme. Dengan saling bertukar informasi, nantinya akan bisa ditelusuri sumber pendanaan terorisme, data orang yang keluar masuk ke dalam negara, dan sebagainya.
Semangat ini senada dengan pendapat Rais Syuriyah PCINU Australia dan Selandia Baru, Nadirsyah Hosen yang menyatakan bahwa terorisme yang bersumber dari dunia global tidak dapat ditanggulangi ‘sendirian’.
“Ada unsur global dan lokal yang mempengaruhi menghangatnya Islam radikal,” jelas Nadirsyah Hosen di PBNU beberapa waktu lalu.
Radikalisme global cenderung lebih kompleks dan membutuhkan tenaga yang lebih besar untuk menyelesaikannya. Sebab menurutnya, jenis radikalisme ini berhubungan dengan banyak hal yang kompleks.
Ia menyontohkan bagaimana radikalisme global lahir dari ketimpangan dan ketidakadilan dalam skala global, antara negara-negara berkembang dengan negara-negara maju.
Dalam konteks negara-negara di Timur Tengah, ketidakadilan sosial semacam ini melahirkan narasi seperti ‘Islam dulu jaya, sekarang berantakan’. Narasi tersebut kemudian melahirkan gerakan dalam yang berskala global pula.
“Maka muncullah gerakan yang juga bersifat global seperti gerakan Salafi, Ikhwanul Muslimin, termasuk gerakan Hizbut Tahrir, di mana mereka merasa bahwa ketidakadilan global ini juga harus dilawan dengan gerakan global,” kata Nadirsyah.
Semangat ini kemudian menjelma menjadi gerakan global yang juga mempengaruhi meningkatnya suhu radikalisme di Indonesia.
Radikalisme jenis ini, lanjutnya, tidak dapat dihadapi sendirian tanpa kerja sama yang baik dalam level global. Masalah semacam ini mestinya diselesaikan dengan bekerja sama dengan kelompok dan negara-negara lain.
“(Sebab) Radikalisme global ini seringkali kemudian di luar kapasitas kita sendiri,” kata Gus Nadir. (Ahmad Rozali)