Nasional

ISNU Diskusikan Ketahanan Pangan

Kamis, 11 Oktober 2012 | 09:14 WIB

Jakarta, NU Online
Pangan akan menjadi persoalan serius jika tidak diantisipasi pengelolaannya dari sekarang. Di Indonesia sendiri, setiap tahun lahir sekitar 3.2 juta bayi, yang tentu saja memerlukan bahan makanan.

<>

Tahun 1945, diperkirakan terjadi defisit pangan sehingga negara-negara akan bersaing memperebutkan sumber pangan dan energi yang kian langka.

Topik ini menjadi materi pembicaraan dalam diskusi panel ahli yang digelar pengurus pusat Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU). Ketua Umum ISNU Ali Masykur Musa menyatakan, ketahanan pangan merupakan topik pertama yang dibicarakan dari serangkaian diskusi panel ahli yang akan digelar dengan tema-tema strategis seperti energi, pertambangan, dan lingkungan hidup; ekonomi makro; infrastruktur; geopolitik; dan diplomasi internasional, pemerintah daerah dan otonomi daerah; hukum dan tertib sosial; serta agama, budaya dan sumberdaya manusia.

ISNU akan mengundang para ahli yang kompeten untuk membahas dan mendiskusikan persoalan-persoalan tersebut, memetakan persoalan, dan menyusun peta jalan untuk menyongsong skenario optimistis tentang Indonesia masa depan.

Bertempat di gedung PBNU, putaran pertama diskusi ahli ini menghadirkan narasumber Sutarto Alimoeso, dirut Bulog, Fadhil Hasan (GAPKI), Udhoro Kasih Anggoro, Dirjen ketahanan pangan Kementarian Pertanian, dan Imam Sugema.

Salah satu yang disorot dalam diskusi ini adalah rapuhnya ketahanan pangan domestik, padahal Indonesia adalah negeri Agraris. Indonesia masih tergantung asing untuk memenuhi hajat hidup rakyatnya. 

Indonesia pernah menjadi importir beras terbesar di dunia pada kurun waktu 1998-2001. Indonesia mengimpor garam rata-rata 1 juta ton per tahun, mengimpor 30 persen kebutuhan gula nasional, 70 persen kedelai, 10 persen jagung, 15 persen kacang tanah, 90 persen kebutuhan susu, dan 25 persen daging sapi nasional.

Pada tahun 2008, Indonesia pernah menjadi importir pangan terbesar kedua di dunia setelah Mesir, dengan lahan untuk pangan hanya 359 m per kapita. Akibatnya, devisa yang diperoleh dengan susah payah harus dihabiskan untuk membeli barang yang sebenarnya bisa dihasilkan sendiri di dalam negeri. Tidak ada jalan. Untuk menopang ketahanan pangan, kebijakan pangan nasional harus dirombak dengan fokus pada intensifikasi produksi pangan, ekstensifikasi lahan pertanian dan diversifikasi pangan.

Imam Sugema menjelaskan, upaya meningkatkan produksi pangan adalah melalui peningkatan produksi dan perluasan lahan. Saat ini, subsidi pupuk yang diberikan petani mencapai 16 trilyun per tahun agar produksi bisa meningkat.

Untuk meningkatkan ketahanan pangan, dibutuhkan perluasan lahan sebesar 5 juta hektar. Untuk menciptakan lahan baru, dibutuhkan biaya 40 juta per hektar sehingga secara total dibutuhkan 200 trilyun.

“Kelihatannya banyak, tetapi kalau dibagi dalam 10 tahun, setahun hanya perlu 20 trilyun, tidak begitu besar dibanding manfaat yang diperoleh. Sayangnya kita tidak pernah melakukannya,” paparnya. 

Dana sebesar 16 trilyun untuk subsidi pupuk, jika digunakan untuk perluasan lahan sudah mencapai 500 ribu hektar, sekaligus untuk memindahkan para petaninya. 

Hanya beberapa suku tertentu yang memiliki tradisi bercocok tanam, seperti Jawa, Sunda, Bali, Madura dan Bugis, sementara suku lainnya masih menjadi petani kebun.

Sementara itu, Sutarto Alimoeso menjelaskan, beberapa persoalan dalam menciptakan ketahanan pangan diantaranya adalah akurasi data, lahan, budaya dan pertumbuhan penduduk.

Terkait dengan data, saat ini belum ada data valid yang bisa dijadikan pijakan semua pihak tentang kebutuhan pangan, sehingga ketika terjadi impor pangan, sering terjadi kontraversi karena masing-masing perang data. 

Terkait dengan luasan lahan, ia sepakat dengan Imam Sugema tentang pentingnya pembukaan lahan baru. “Subsidi untuk BBM seharusnya digunakan untuk memperluas lahan pertanian,” jelasnya

Dengan luas lahan pertanian yang hanya 0.3-0.5 hektar, petani tidak mungkin sejahtera dan kalau harga pangan dinaikkan, maka konsumen yang akan menjerit. Karena itu, upaya memperluas lahan pertanian mutlak untuk mensejahterakan petani. “Lahan sempit juga susah untuk mengakses modal perbankan,” paparnya.

Bulog dengan pasukan semutnya, saat ini berusaha jemput bola langsung ke petani agar mereka memiliki nilai tambah tinggi. Pada zaman dahulu, bulog mengandalkan pedagang besar untuk mengumpulkan beras, tetapi tentu saja, mereka mengambil margin besar yang mau tidak mau merugikan para petani.

Terkait dengan budaya, budaya bertani pangan hanya terdapat di Jawa, Sunda, Madura, Bali dan Bugis. Untuk menumbuhkan tradisi bertani di luar Jawa, perlu memindahkan suku-suku tersebut ke daerah yang memang masih memiliki lahan luas.

Demikian juga terkait dengan budaya pangan. Indonesia diperkenalkan dengan budaya makan gandum sejak 20 tahun yang lalu, sehingga sekarang menjadi terbiasa dan impor gandum semakin meningkat. Karena itu, untuk merubah budaya pangan lagi, diperlukan waktu sampai 20 tahun ke depan.


Penulis: Mukafi Niam