Nasional

Jalan Terjal Habib Munzyr Al Musawa Gapai Cita-cita Jadi Dai

Senin, 16 Mei 2022 | 15:00 WIB

Jalan Terjal Habib Munzyr Al Musawa Gapai Cita-cita Jadi Dai

(Foto: habib nabil al-musawa)

Jakarta, NU Online

Sejak kecil mula, Habib Munzyr Al Musawa sudah ditanamkan pendidikan agama oleh ayahnya, Habib Fuad Al Musawa. Meskipun demikian, tidak berarti ayahnya itu merestui anak-anaknya untuk mendalami bidang tersebut. Semua putra-putrinya diminta untuk melanjutkan studi pendidikan tinggi di bidang umum.


Namun, putra keempat dari lima bersaudara itu tetap keukeuh dengan keinginannya untuk mempelajari agama. Ia memohon kepada ayahnya melalui kakaknya, Habib Nabiel Al Musawa, untuk pesantren.


“Munzyr nih keras orangnya. Jadi, Allah yarham, pokoknya katanya dia bilang ke ana, kakaknya. Bib bilang sama abah, ana mau mesantren. Ana nggak mau suruh kuliah. Nggak mau,” terang Habib Nabiel sebagaimana disampaikan dalam video di kanal Youtube NU Online yang tayang pada Senin (16/5/2022).


Keinginan keras Habib Munzyr untuk menekuni bidang agama tidak lain karena cintanya yang begitu mendalam kepada Nabi Muhammad saw. Habib Nabiel menceritakan, bahwa sejak kecil, ia dan seluruh adiknya ditekankan untuk menghafal ayat-ayat Al-Qur’an oleh ayahnya, mulai dari juz 30, lanjut juz 29 dan juz 28. Setelah itu, ada yang melanjutkan ke juz 27 ada yang meneruskan dari juz 1.


Berbeda dengan tiga kakaknya, saat itu adik bungsunya belum lahir, Habib Munzyr justru melanjutkan untuk menghafal Surat Muhammad setelah menamatkan hafalan juz 30. “Kalau Habib Munzyr nggak. Dari juz amma langsung Surah Muhammad. Kenapa Bib? Ana cinta sama Sayyidina Muhammad,” terang Habib Nabiel.


“Dari kecil sudah begitu. Jadi kalau mimpin, jadi imam itu dia baca Surat Muhammad terus. Sampai ana sama Habib Romzi itu hafal Surat Muhammad karena sering dibaca sama dia,” lanjutnya.


Sakit

Di samping restu yang sulit didapat karena keinginan orang tuanya yang berlainan, ulama kelahiran Cianjur pada 23 Februari 1973 itu juga sejak kecil mengidap penyakit yang cukup serius. Hal itu cukup menghambat proses pendidikannya. Meskipun demikian, Habib Munzyr tidak pernah patah arang dan selalu bersemangat untuk terus menggapai cita-citanya.


Diceritakan Habib Nabiel, bahwa adiknya tersebut sempat dipulangkan oleh pengurus setelah baru seminggu mendalami ilmu agama di Pondok Pesantren Al-Kifahi Al Tsaqafy Tebet. Bukan tanpa alasan, sepertinya, kata Habib Nabiel, orang tersebut takut melihat Habib Munzyr yang tengah kambuh penyakitnya.


Pasalnya, jika sudah kambuh, keringat sebesar-besar biji jagung muncul, wajahnya pucat pasi, tidak bisa bicara, dan susah untuk bernapas.


Sampai di rumah, Habib Munzyr meminta kepada kakaknya agar peristiwa itu tidak diceritakan kepada abahnya, panggilan untuk ayah mereka. Sebab, ia khawatir jika abahnya mendengar, ia tak lagi diizinkan untuk kembali mengaji di pondok tersebut.


“Sampai ke rumah dia bilang, Bib jangan bilang sama Abah, sama Romzi juga. Nah, terus nanti gimana? Kalau bilang ama Abah pasti nggak boleh balik lagi,” katanya.


“Itu disembunyiin di tempat kami di atas. Sudah dia agak sembuhan balik lagi. Begitu terus,” lanjutnya.


Cerita kambuhnya Habib Munzyr juga diceritakan yakni Habib Jindan bin Novel, sahabat seangkatan saat belajar mendalami agama di Darul Mustofa, Tarim, Hadramaut, Yaman asuhan Habib Umar bin Hafidz. Sesak napas yang dideritanya sudah bukan hal baru bagi Habib Jindan karena saking seringnya.


Pernah saat ziarah ke Nabi Hud, penyakitnya tersebut kambuh. Obat yang biasa dikonsumsinya sudah tidak memberikan efek positif. Ia pun perlu menggunakan sebuah mesin uap yang memerlukan listrik. Sementara di tempat yang berjarak 4 jam dari Kota Tarim itu tidak ada listrik. Syukurnya, di situ ada sebuah mesin diesel, meskipun jalannya tidak stabil juga.


“Kebetulan ada mesin diesel. Ya sudah itu yang dimanfaatkan. Mesin dieselnya juga tidak stabil. Bentar mati. Kalau mesinnya mati, tambah parah sakitnya. Sampai akhirnya beliau harus dipulangkan ke Tarim karena sakitnya beliau itu,” ujarnya.


Selain itu, lanjut Habib Jindan, karibnya yang empat tahun lebih tua darinya itu bertahun-tahun menderita alergi sampai luka yang tidak sembuh-sembuh di tangan dan di kaki. Padahal dia tidak memiliki penyakit diabetes. 


“Entah alergi atau apa. Selalu lukanya itu sampai diperban. Begitu berdarah, darahnya tembus. Tidak ada sembuh-sembuhnya selama bertahun-tahun,” katanya.


“Tapi subhanallah begitu sampai ke Indonesia hilang, semuanya sembuh. Sembuh itu lukanya,” imbuh ulama kelahiran Sukabumi pada 21 Desember 1977 itu.


Pewarta: Syakir NF

Editor: Alhafiz Kurniawan