Keberadaan Payung Hukum bagi Pekerja Rumah Tangga Dorong Pemenuhan Upah Layak
NU Online · Kamis, 2 Oktober 2025 | 07:00 WIB
Haekal Attar
Penulis
Jakarta, NU Online
Konfederasi Sarikat Buruh Muslim Indonesia (Sarbumusi) memberikan draf pokok pikiran untuk revisi Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) kepada pimpinan DPR RI. Penyerahan dilakukan usai Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bersama Komisi IX di Gedung Nusantara, Senayan, Jakarta, Selasa (30/9/2025).
Dalam kesempatan itu, Presiden K-Sarbumusi Irham Ali Saifuddin menekankan urgensi pengesahan undang-undang PPRT pada tahun ini. Menurutnya, hal ini sangat mendesak mengingat para aktivis PRT telah mengajukan draf RUU sejak 20 tahun lalu.
"Ini tentu yang sangat kami perjuangkan mengingat Indonesia ini salah satu penghasil pekerja rumah tangga terbesar kedua di kawasan Asia Pasifik,” katanya kepada NU Online.
Menanggapi hal itu, Dosen Hukum Pidana Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Setya Indra Arifin menegaskan bahwa sudah saatnya negara menunjukkan keberpihakan yang jelas dengan menyediakan payung hukum melalui penyediaan mekanisme pembuatan hingga pengesahan RUU PPRT.
Indra menambahkan bahwa RUU PPRT juga memiliki kaitan erat dengan perlindungan pekerja migran Indonesia (PMI), khususnya yang bekerja sebagai pekerja domestik di luar negeri.
Baca Juga
Muktamar NU Desak Pengesahan RUU PPRT
“Benar bahwa RUU ini punya urgensi dan keterkaitan tersendiri dalam hal pelindungan pekerja migran, karena bagaimana mungkin kita mampu melindungi PMI dengan kategori pekerja domestik di luar negeri jika di negeri kita sendiri saja, kita tidak punya landasan yang kuat untuk pelindungan tersebut,” jelasnya saat dihubungi NU Online Rabu (1/10/2025).
Setya menekankan bahwa negara perlu memberikan perlindungan yang menyeluruh dan tidak setengah hati terhadap pekerja domestik, baik di dalam maupun luar negeri.
Ia mempertanyakan bagaimana negara dapat menjamin hak-hak pekerja domestik di luar negeri, termasuk soal upah yang layak, jika di dalam negeri pun tidak ada dasar hukum untuk itu.
“Bagaimana mungkin Negara kita hendak melindungi pemenuhan hak para pekerja domestik kita sebagai pahlawan devisa yang berada di luar negeri, sebut saja soal pemenuhan honor yang layak, jika di negeri kita sendiri, hal tersebut tidak punya landasan hukum apapun,” katanya.
Akibat ketiadaan perlindungan hukum tersebut, PRT, menurutnya, masih dianggap remeh dan sering tidak diberikan imbalan yang layak, padahal membutuhkan keterampilan dan profesionalitas.
"Pekerjaan PRT ini juga dapat dikategorikan sebagai pekerjaan yang fully skilled. Artinya tidak setiap orang mampu melakukan pekerjaan sebagai seorang PRT. Butuh keuletan, kemampuan, dan profesionalitas tersendiri yang itu juga dibutuhkan seperti layaknya pekerjaan-pekerjaan lain yang selama ini membutuhkan kualifikasi,” jelasnya.
Ia berharap, melalui pengesahan RUU PPRT, negara bisa mengubah paradigma dan menghapus stigma negatif terhadap PRT.
“Oleh karena itulah, RUU PRT ini diharapkan mampu menunjukkan keberpihakan kita terhadap pekerjaan PRT yang selama ini sudah terlalu lama dianggap sebagai pekerjaan rendahan, babu, bahkan lebih tepat dianggap sebagai budak yang bekerja tanpa upah yang memadai,” pungkasnya.
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Kerusakan Alam dan Lalainya Pemangku Kebijakan
2
Khutbah Jumat: Mari Tumbuhkan Empati terhadap Korban Bencana
3
Pesantren Tebuireng Undang Mustasyar, Syuriyah, dan Tanfidziyah PBNU untuk Bersilaturahmi
4
Mustasyar, Syuriyah, dan Tanfidziyah PBNU Hadir Silaturahim di Tebuireng
5
20 Lembaga dan Banom PBNU Nyatakan Sikap terkait Persoalan di PBNU
6
Gus Yahya Persilakan Tempuh Jalur Hukum terkait Dugaan TPPU
Terkini
Lihat Semua