Keracunan Massal Program MBG: Bahan Baku Rusak hingga Proses Pemasakan Gagal
NU Online · Ahad, 5 Oktober 2025 | 20:00 WIB
Rikhul Jannah
Kontributor
Jakarta, NU Online
Sejumlah Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) belum memiliki Sertifikat Laik Higiene dan Sanitasi (SLHS) menjadi dasar dalam menjamin keamanan pangan. Tak pelak, banyak terjadi kasus keracunan di berbagai wilayah.
“Hasil kajian, kami menemukan berbagai hal penyebab risiko keracunan pangan yang ada di program MBG, mulai dari bahan baku, proses pencucian, penyimpanan, pemasakan, distribusi, hingga konsumsi,” jelas Bayu Satria Wiratama, Dosen Biostatistik, Epidemiologi, dan Kesehatan Populasi, Fakultas Kedokteran Kesehatan Masyarakat Keperawatan Universitas Gadjah Mada (BEKP FKKMK UGM), dalam Webinar Keracunan Pangan Dalam Program Makan Bergizi Gratis (MBG): Pembelajaran dan Rekomendasi Perbaikan Untuk Pencegahan di Yogyakarta pada Sabtu (4/10/2025).
Bahan baku sudah mulai rusak tetap digunakan sejumlah SPPG. Padahal penggunaan bahan baku yang sudah rusak atau mulai rusak merupakan hal yang berbahaya dan menjadi faktor risiko utama untuk pertumbuhan bakteri pathogen.
Sebagian besar SPPG menggunakan air PDAM untuk mencuci bahan baku. Namun, ada yang memakai air sumur dengan kandungan coliform tinggi dan positif E. Coli. “Kontaminasi pada tahap ini bisa menyebarkan patogen ke seluruh bahan makanan,” ungkap Bayu.
Berikutnya, ditemukan adanya SPPG yang tidak menyimpan bahan baku di freezer, melainkan di suhu ruang.
“Jarak waktu ke pengolahan juga cukup lama kurang lebih dua jam kemudian baru diolah. Makanan dibiarkan terlalu lama di suhu ruang, maka kualitasnya akan menurun,” ujarnya.
Temuan paling serius terjadi pada titik keempat, yakni proses pemasakan. Ia menjelaskan bahwa jeda waktu antara selesai memasak hingga penyajian mencapai 4–6 jam, melebihi batas aman maksimal 2–4 jam pada suhu ruang.
Bayu menambahkan, ditemukan juga kasus api kompor dibiarkan kecil karena gas hampir habis, menyebabkan makanan tidak matang sempurna, serta tidak adanya pengendalian mutu (quality control) terhadap tingkat kematangan makanan.
“Proses pemasakan untuk lebih dari 1.000 porsi dalam waktu 40 menit hingga dua jam tanpa quality control sangat berisiko tinggi terhadap keamanan pangan,” jelasnya.
Pada titik kritis kelima, yaitu tahap distribusi. Ia menuturkan bahwa sebagian besar SPPG tidak melakukan pemeriksaan mutu akhir sebelum makanan dikirim.
“Mobil box pengirim makanan pun tidak dilengkapi alat pencatat temperature ataupun pendingin, yang seharusnya menjaga kualitas makanan tetap aman,” ujarnya.
Pada titik kritis keenam, yaitu konsumsi. Bayu menyampaikan bahwa ada sekolah yang tetap menggunakan sistem prasmanan tanpa pemanasan ulang, sehingga meningkatkan risiko kontaminasi silang.
“Jika makanan sudah menurun kualitasnya, sebaiknya tidak dikonsumsi karena risikonya sangat besar,” ujarnya.
Hal lain yang menjadi problem adalah pencucian alat makan. Sejumlah SPPG telah melakukan proses pencucian alat makan dengan benar. Namun, ditemukan sebagian lainnya menggunakan air keruh untuk mencuci peralatan makan.
“Itu dapat menjadi risiko munculnya bakteri E. Coli, ketika wadah digunakan maka wadah tersebut rentan terkena bakteri E. Coli yang berakibatkan diare atau muntah-muntah,” ucap Bayu.
Sementara itu, Dosen Gizi Kesehatan FKKMK UGM Prof Lily Arsanti Lestari menyampaikan bahwa ribuan SPPG yang beroperasi, baru sekitar 30 hingga 40 SPPG yang memiliki Sertifikat Laik Higiene dan Sanitasi (SLHS).
Prof Lily menyampaikan bahwa sistem manajemen keamanan pangan (food safety management system) di Indonesia mencakup SLHS, SSOP (Sanitation Standard Operating Procedure), CPPOB (Cara Produksi Pangan Olahan yang Baik), GMP (Good Manufacturing Practices), HACCP, dan standar tertinggi ISO 22000:2018.
“Food safety management system itu meliputi cara sistematis untuk mengidentifikasi, mengevaluasi, dan mengendalikan bahaya keamanan pangan. Dengan menerapkan food safety management system, kita bisa mencegah bahaya sebelum terjadi, bukan hanya bereaksi setelahnya,” ujarnya.
Diketahui, ada total 7.119 korban keracunan di berbagai daerah, dengan jumlah tertinggi berada di Kabupaten Bandung Barat sebanyak 1.333 orang. Setiap SPPG rata-rata melayani 2.500 hingga 4.000 porsi makanan yang didistribusikan ke 13 sampai 32 sekolah, mulai dari tingkat TK hingga SMA.
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Kerusakan Alam dan Lalainya Pemangku Kebijakan
2
Khutbah Jumat: Mari Tumbuhkan Empati terhadap Korban Bencana
3
Pesantren Tebuireng Undang Mustasyar, Syuriyah, dan Tanfidziyah PBNU untuk Bersilaturahmi
4
Mustasyar, Syuriyah, dan Tanfidziyah PBNU Hadir Silaturahim di Tebuireng
5
20 Lembaga dan Banom PBNU Nyatakan Sikap terkait Persoalan di PBNU
6
Gus Yahya Persilakan Tempuh Jalur Hukum terkait Dugaan TPPU
Terkini
Lihat Semua