Kerusakan Lingkungan Ditengarai Jadi Sebab Banjir di Kalsel
Senin, 18 Januari 2021 | 06:30 WIB
Abdul Rahman Ahdori
Kontributor
Jakarta, NU Online
Di awal tahun 2021 bangsa Indonesia kembali merasakan duka yang mendalam disebabkan oleh beberapa kejadian nahas seperti kecelakaan jatuhnya pesawat Sriwijaya Air dan gempa bumi di Kabupaten Majene dan Kabupaten Mamuju, Sulbar yang menyebabkan puluhan orang meninggal dunia.
Belum usai dari masalah tersebut, baru-baru ini banjir bandang terjadi di Provinsi Kalimantan Selatan. Banjir menenggelamkan rumah-rumah warga yang ada di 10 kabupaten/kota. Akibat peristiwa ini 15 orang wafat dan 15 ribu rumah terendam.
Ketua Lembaga Penanggulanagan Bencana dan Perubahan Iklim (LPBI) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Muhammad Ali Yusuf menyebut menipisnya hutan yang ada di Kalimantan Selatan sebagai penyebab utama terjadinya banjir bandang.
Menurutnya, kondisi hutan di Kalimantan 10 tahun terakhir cenderung menurun. Banyak hutan-hutan yang beralihfungsi menjadi tempat lain yang dinilai tidak ramah terhadap lingkungan. Termasuk mengharuskan menebang pepohonan yang tumbuh rindang di kawasan hutan.
“Semua sudah berubah. Kita tidak menyalahkan kegiatan ekstraksi, kerena itu untuk ekonomi dan kesejahteraan rakyat. Tapi paling penting adalah kesadaran bersama khususnya Pemerintah Daerah bahwa segala sesuatu yang sedang atau sudah dilakukan, mungkin berapa puluh tahun lalu ada risiko yang kita tanggung,” kata Muhammad Ali Yusuf, Senin (18/1).
Ali Yusuf menambahkan, terkadang pemerintah daerah tidak menyadari dibalik pemberian izin untuk pengalihfungsian hutan tidak diimbangi dengan penanggulangan risiko bencana. Padahal, kata dia, jika risiko bencana menjadi hitungan banjir bandang tentu dapat diwaspadai.
“Jadi menerima efek ekonominya tapi tidak berupaya menghitung risiko yang muncul,” tegasnya.
Kepala Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) Rokhis Khomarudin menuturkan, banjir di Kalsel disebabkan karena telah berkurangnya hutan primer dan sekunder yang terjadi dalam rentang 10 tahun terakhir.
Menurutnya, antara tahun 2010 hingga 2020 terjadi penurunan luas hutan primer sebesar 13.000 hektar, hutan sekunder 116.000 hektar, sawah dan semak belukar masing-masing 146.000 hektar dan 47.000 hektar.
“Kondisi ini memungkinkan terjadinya banjir di Kalimantan Selatan, apalagi curah hujan pada 12 hingga 13 Januari 2020 sangat lebat berdasarkan pantauan satelit Himawari 8 yang diterima stasiun di Jakarta,” katanya dikutip NU Online dari BBC Indonesia.
Sementara itu, berdasarkan data yang berhasil dihimpun, saat ini total area perkebunan di sepanjang Daerah Sungai (DAS) Barito mencapai 650.000 hektare. Jika dibandingkan dengan luasan hutan di sekitar DAS yang mencapai 4,5 juta hektare, maka perkebunan telah menghabiskan 12 hingga 14% dari keseluruhan area.
Pewarta: Abdul Rahman Ahdori
Editor: Kendi Setiawan
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: 4 Maksiat Hati yang Bisa Hapus Pahala Amal Ibadah
2
Khutbah Jumat: Jangan Golput, Ayo Gunakan Hak Pilih dalam Pilkada!
3
Poligami Nabi Muhammad yang Sering Disalahpahami
4
Peserta Konferensi Internasional Humanitarian Islam Disambut Barongsai di Klenteng Sam Poo Kong Semarang
5
Kunjungi Masjid Menara Kudus, Akademisi Internasional Saksikan Akulturasi Islam dan Budaya Lokal
6
Khutbah Jumat Bahasa Sunda: Bahaya Arak keur Kahirupan Manusa
Terkini
Lihat Semua