Nasional

Konsep Hijrah Kebangsaan Menurut Rasulullah

Sabtu, 15 September 2018 | 07:11 WIB

Jakarta, NU Online 

Hijrah semestinya tidak hanya diterjemahkan secara fisik semata, misalnya berpindah dari satu lokasi ke lokasi lain, atau dimaknai dengan mengubah penampilan dari busana satu ke busana yang lainnya. 

Akan tetapi hijrah merupakan perpindahan yang lebih substansial. Dalam konteks bernegara, hijrah semestinya dimaknai sebagai perubahan perilaku untuk menuju masyarakat yang madani, rukun dalam menerima perbedaan.  

Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama Provinsi DKI, Prof Ahmad Syafii Mufid menjelaskan konsep hijrah dengan memetik perjalanan Rasulullah SAW semasa hidupnya. Menurut dia, konsep Hijrah semestinya dimaknai sebagai penerimaan terhadap kelompok yang berbeda demi membangun sebuah perdamaian seperti yang dicontohkan Rasulullah saat menyatukan kaum Ansor dan Muhajirin di Madinah.

Hal itu tercermin dalam peristiwa hijrah yang merupakan salah satu momen paling bersejarah saat Nabi Muhammad SAW berpindah dari Makkah menuju ke Madinah. Setibanya di Madinah, Rasulullah membangun masjid dan pasar dengan tujuan agar ekonomi di Madinah bisa berjalan dengan lebih baik dan demi menyatukan kaum Ansor dan Muhajirin.

“Sesampaiya di Madinah yang dilakukan Rasulullah SAW adalah membangun persaudaraan antar suku-suku di Madinah melalui perjanjian atau piagam Madinah,” ujarnya. Dari sana terbangun sebuah komunitas baru yang disebut masyarakat Madinah, masyarakat yang berkeadaban. 

Hijrah atau perpindahan selanjutnya yang dilakukan Rasulullah adalah saat kembali ke Makkah yang dikenal dengan peristiwa Fathul Makkah atau terbukanya Kota Makkah yang terjadi tanpa pertumpahan darah.

“Di sini Rasulullah menunjukkan kualitasnya sebagai manusia yang tak punya dendam walaupun pernah diusir dan diancam akan dibunuh. Rasulullah datang kembali dengan penuh kasih sayang, penuh toleransi dan kemanusiaan yang tinggi,” tambahnya. 

Nabi Pejuang HAM

Nabi Muhammad SAW mengakhiri masa kenabian dengan Haji Wada. Momen tersebut oleh Syafii Mufid disebut dengan “Declaration of Human Rights”. 

“Sebab, saat itu nabi bersabda; perempuan-perempuan harus dimuliakan, tidak ada balas dendam lagi, tidak ada riba, tidak boleh berzina, itu semua disampaikan oleh Rasullulah dalam pidato Wada-nya,” jelas Syafii Mufid.

Berangkat dari itu, ia mengajak masyarakat Indonesia untuk memaknai hijrah sebagai momentum untuk menjaga persatuan yang tentunya untuk kepentingan bangsa yang lebih besar lagi dalam membangun negeri ini. (Ahmad Rozali)