Nasional

Konversi Hutan Jadi Perkebunan Sawit Merusak Ekosistem Lingkungan, Bagaimana Agama Berperan?

Kamis, 27 Februari 2025 | 21:00 WIB

Konversi Hutan Jadi Perkebunan Sawit Merusak Ekosistem Lingkungan, Bagaimana Agama Berperan?

Diskusi bertajuk Omon-Omon Deforestasi: Bagaimana Muslim Bersikap? di Outlier Cafe & Studio, Ciputat, Tangerang Selatan pada Rabu (26/2/2025). (Foto: Islamidotco)

Jakarta, NU Online

Global Head of Forest Campaign Greenpeace Indonesia Kiki Taufiq mengatakan bahwa deforestasi masih menjadi momok dalam isu ekologis, terlebih jika lahan dikonversi menjadi kebun sawit.


Menurutnya, konversi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit akan menumpuk masalah, di antaranya merusak ekosistem lingkungan.


"Jadi pada saat akan membuka kebun sawit mereka harus land clearing, dan land clearing yang dilakukan di Indonesia hampir mayoritas itu dilakukan dengan membakar hutan," paparnya saat memantik diskusi yang digelar di Outlier Cafe & Studio, Ciputat, Tangerang Selatan pada Rabu (26/2/2025).


Kiki menggarisbawahi, pengalihan fungsi lahan ini akan menimbulkan peralihan iklim mikro yang merugikan banyak pihak, baik masyarakat adat maupun makhluk hidup yang tinggal di dalamnya.


"Dan yang paling penting juga adalah adanya perubahan iklim mikro karena misalnya satu wilayah dibuka tentu akan berubah iklim mikronya di situ," katanya.


Kiki kemudian merujuk penelitian yang dilakukannya bersama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 2018-2020 yang menemukan total kebun sawit di Indonesia sebesar 16,8 juta hektar. Jumlah ini menempatkan Indonesia menjadi eksportir terbesar di dunia.


"Tapi kalau menurut hitungan riset sebenarnya sudah cukup. Jadi sudah tidak perlu lagi kita untuk membuka hutan lagi untuk mengkonversi menjadi kebun sawit," tegasnya.


Peran agama terhadap isu ekologis

Sementara itu, Peneliti PPIM UIN Jakarta Prof Iim Halimatussa'diyah menyampaikan bahwa dalam 70 persen umat Muslim di Indonesia mengetahui dan meyakini perubahan iklim. Namun, jumlah tersebut tidak berjalan seiring jika dilihat dari aspek perilakunya.


Menurutnya, Islam berpotensi besar menambal celah yang menganga itu. Meski demikian, ia mengungkapkan bahwa ada dua kemungkinan terkait peran agama terhadap isu ekologis, yakni mendorong dan menghambat.


"Satu sisi mungkin bisa mendorong untuk menyampaikan, menyosialisasikan nilai-nilai agama yang bisa membuat orang lebih pro-lingkungan. Tapi di satu sisi, dan ini juga tidak hanya dalam konteks di Indonesia, tapi di studi-studi lainnya pandangannya konservatif itu cenderung menjadi penghalang orang untuk lebih pro-lingkungan," ujar Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UIN Jakarta itu.


Dalam konteks agama, ia menengarai bahwa organisasi masyarakat berperan besar dalam mengampanyekan pemahaman yang pro terhadap konservasi lingkungan.


"Tapi isu deforestasi ini kan isu struktural ya, tidak bisa hanya di individu personal, tapi kita juga butuh individu-individu yang bisa proaktif, bagaimana nih caranya mengkritik, mengubah problem struktural di pemerintah," jelasnya.


"Nah sebenarnya ormas-ormas itu sebenarnya punya potensi mendorong anak-anak muda untuk mau menyelesaikan isu struktural, dan deforestasi bukan isu industri, pemerintah kan yang punya kendali di situ, jadi perlu menyesuaikan, karena publik juga penting," imbuh Iim.


Dari aspek Islam, Penulis buku Khotbah Hijau M Alvin Nur Choironi menilai bahwa selama ini narasi keagamaan yang membidik isu lingkungan kurang diperhatikan. Tidak ditemukannya kasus seputar lingkungan pada saat ini oleh ulama zaman dulu, dan kurangnya kreativitas para elite agama menjadi faktor dalam hal ini.


Di samping itu, pemahaman soal keislaman salah satunya soal kiamat, seringkali dimaknai tanpa campur tangan manusia. Jika diperhatikan, kata Alvin, boleh jadi kiamat terjadi karena ulah manusia sendiri.


"Tetapi kita tidak pernah tahu bahwa jangan-jangan hari kiamat yang sifatnya apokalips itu, apokalips yang tiba-tiba dunia meledak, semua alam semesta hilang, dan lain sebagainya, itu jangan-jangan ya bukan karena ya memang waktunya gitu, tetapi ya karena ada sebab akibat," kata alumni tafsir hadis UIN Jakarta itu.


Pandangan tersebut Alvin sandarkan kepada QS Saba' yang menguraikan tentang negeri Saba' yang diazab karena perilaku zalim dan luput untuk merawat alam. Kedua perilaku ini menjadi pemicu seseorang untuk berbuat sewenang-wenang terhadap lingkungan.


"Kalau dalam tafsir itu dijelaskan, sebelum diazab mereka punya kebun yang banyak makanan yang berlimpah tapi mereka dihancurkan oleh Allah karena berlaku zalim dan tidak bersyukur," tandasnya.


Sebelumnya, Presiden Prabowo Subianto terkesan mendukung pelestarian deforestasi. Pada akhir tahun lalu, Prabowo mengimbau kepala daerah agar tidak khawatir dengan ancaman deforestasi dari pembukaan kebun kelapa sawit.


Alih-alih menghambat laju penyebarannya, Prabowo justru menginstruksikan kepada daerah untuk menjaga dan menambah pertumbuhan kebun kelapa sawit.


Sebagai informasi, diskusi yang mengangkat tema Omon-Omon Deforestasi: Bagaimana Muslim Bersikap? ini terselenggara atas kerja sama Islamidotco dengan Greenpeace Indonesia.