Nasional

KPA: Reforma Agraria Mandek, Pansus DPR Harus Segera Bertindak

NU Online  ·  Senin, 17 November 2025 | 15:00 WIB

KPA: Reforma Agraria Mandek, Pansus DPR Harus Segera Bertindak

Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Dewi Kartika. (Foto: dok. KPA)

Jakarta, NU Online

Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika mendesak Panitia Khusus (Pansus) Penyelesaian Konflik Agraria DPR RI segera bekerja setelah resmi dibentuk pada 2 Oktober 2025.


Hingga sebulan setelah reses berakhir pada 3 November, ia menilai belum ada tanda-tanda percepatan kerja Pansus untuk memanggil kementerian, lembaga, serta organisasi masyarakat sipil guna membahas jalan keluar atas konflik agraria yang semakin akut.


“Kami belum melihat upaya percepatan. Pansus ini harus segera memulai kerja memanggil para pihak untuk membahas persoalan struktural agraria yang sudah puluhan tahun tidak tuntas,” ujar Dewi dalam pertemuan daring bersama jaringan masyarakat sipil, Ahad (16/11/2025).


Dewi menegaskan bahwa pendekatan penyelesaian kasus per kasus sudah tidak relevan. Model ini, menurutnya, hanya membuat DPR dan pemerintah bersikap reaktif ketika konflik sudah pecah, ada korban, atau muncul demonstrasi, sementara akar masalah tetap dibiarkan.


“Konflik agraria struktural tidak bisa lagi ditangani seperti pemadam kebakaran. Reaksinya selalu sesaat, tetapi tidak menuntaskan akar persoalan,” tegasnya.


Ia memperingatkan bahwa penundaan penyelesaian hanya memperbesar ancaman bagi petani, masyarakat adat, nelayan, dan perempuan di pedesaan, terutama karena kebijakan pembangunan masih didominasi kepentingan korporasi besar.


Dewi menyoroti kriminalisasi petani di Dairi, Sumatera Utara, serta konflik berkepanjangan masyarakat adat Tano Bata dengan perusahaan hutan tanaman industri Toba Pulp Lestari.


“Puluhan petani ditangkap karena mempertahankan kampungnya. Di Tano Bata, konflik puluhan tahun tidak kunjung direspons memadai oleh pemerintah,” ujarnya.


KPA juga mencatat meningkatnya keresahan akibat proses nasionalisasi aset yang berjalan cepat, termasuk penertiban kawasan hutan oleh Satgas Penataan Kawasan Hutan (PKH) dan pengelolaan tanah oleh Badan Bank Tanah, yang kerap tumpang tindih dengan perkampungan dan wilayah adat.


Menurut Dewi, kampung-kampung prioritas reforma agraria justru menjadi semakin rentan. Alih-alih mempercepat redistribusi tanah, pemerintah dinilai memperluas proses penetapan tanah-tanah sebagai aset negara melalui mekanisme HPL (Hak Pengelolaan).


“Inilah yang membuat masyarakat semakin tidak menentu. Patok-patok negara justru meresahkan warga,” katanya.


Ia memperingatkan risiko lahirnya konflik-konflik agraria baru akibat proyek strategis nasional, perpanjangan izin perkebunan dan industri kehutanan, serta ekspansi pertambangan.


Dewi juga mendesak Presiden Prabowo Subianto membentuk Badan Pelaksana Reforma Agraria Nasional (BPRAN) yang berada langsung di bawah komando presiden.


Ia menilai kementerian yang ada saat ini justru menjadi sumber utama masalah karena masih sarat ego sektoral dan standar ganda dalam kebijakan.


“Sepuluh tahun pemerintahan sebelumnya sudah membuktikan inkonsistensi. Kemenko Perekonomian punya orientasi ekonomi-investasi yang sering kontraproduktif dengan agenda reforma agraria,” ujarnya.


Menurut Dewi, badan khusus diperlukan agar konflik agraria dapat diselesaikan secara terpusat, cepat, dan independen dari tarik-menarik kepentingan kementerian.


Pada Hari Tani Nasional 24 September lalu, KPA menyerahkan daftar 865 lokasi prioritas reforma agraria seluas 1,76 juta hektare kepada pemerintah. Mereka meminta seluruh konflik di lokasi tersebut segera diselesaikan melalui redistribusi tanah dan pengakuan wilayah adat.


KPA juga mendesak pemerintah menertibkan 7,35 juta hektare tanah telantar dan 26,8 juta hektare lahan yang dimonopoli kelompok konglomerat serta perusahaan perkebunan dan kehutanan.


“Hingga hari ini, batas maksimum penguasaan tanah oleh korporasi belum ditetapkan. Sementara praktik monopoli tanah semakin meluas,” katanya.


Dewi mengkritisi wacana Kementerian ATR/BPN yang menawarkan solusi “hak pakai di atas HPL” sebagai mekanisme penyelesaian konflik.


Ia menilai skema ini menurunkan derajat hak rakyat yang seharusnya mendapatkan hak milik sesuai mandat Perpres 62/2023.


“Ini salah kaprah. Hak milik diturunkan jadi hak pakai. Ini menghilangkan kepastian hukum masyarakat,” tegasnya.


Ia juga menolak pendekatan nasionalisasi aset secara menyeluruh yang memasukkan perkampungan, wilayah adat, dan lumbung pangan rakyat sebagai aset negara tanpa verifikasi lapangan.


Dewi mendesak Pansus Agraria DPR RI segera menjalankan fungsi pengawasan dan bertindak sebagai kekuatan penyeimbang atas eksekutif.


“Sampai sekarang kami tidak melihat bagaimana Pansus bekerja memanggil kementerian dan mempertanyakan progres reforma agraria. Pendekatan kasuistik tidak boleh diteruskan. Kalau ini tetap dilakukan, butuh ribuan tahun untuk menyelesaikan puluhan ribu kasus konflik agraria,” ujarnya.

Gabung di WhatsApp Channel NU Online untuk info dan inspirasi terbaru!
Gabung Sekarang