Nasional

LP Ma’arif dan Kemendikbudristek Bahas Posisi Pendidikan Pramuka dalam Kurikulum Merdeka 

Sab, 18 Mei 2024 | 13:00 WIB

LP Ma’arif dan Kemendikbudristek Bahas Posisi Pendidikan Pramuka dalam Kurikulum Merdeka 

Prof M Ali Ramdhani (Foto: Kemenag)

Jakarta, NU Online 
Wacana menjadikan Pramuka sebagai bagian dari kokurikuler yang diusulkan oleh Menristekdikbud Nadiem Makarim kepada DPR RI beberapa waktu lalu sempat menuai kontroversi lantaran menggantikan statusnya sebagai ekstrakurikuler wajib di satuan pendidikan.

 

Hal ini menjadi bahasan dalam diskusi Lembaga Pendidikan Ma’arif PBNU bersama Kemendikbudristek, Kemenag dan Kemenke bertajuk Positioning Intrakurikuler Pramuka dalam Kurikulum Merdeka, Sabtu (18/5/2024). 


Kegiatan kokurikuler adalah kegiatan pembelajaran peserta didik yang dilaksanakan untuk penguatan, pendalaman, dan/atau pengayaan mata pelajaran yang telah dipelajari dalam kegiatan intrakurikuler di kelas.

 

Tenaga Ahli Kemendikbudristek Adlin Sila menjelaskan bahwa wacana ini bukan aturan baru, melainkan ingin mengembalikan status pendidikan Pramuka sesuai dengan Undang-Undang Gerakan Nasional Pramuka Tahun 2010. Undang-Undang tersebut menyatakan bahwa gerakan Pramuka pada dasarnya bersifat sukarela dan non-politis.

 

"Wacana terakhir yang disampaikan Menristekdikbud Nadiem Makarim kepada Komisi XI DPR menawarkan agar pendidikan kepramukaan dimasukkan dalam kokurikuler, dan khusus Pramuka masuk dalam salah satu muatan nilai-nilai profil Pelajar Pancasila,” kata Adlin.

 

Adlin menjelaskan bahwa inti dari kurikulum Merdeka Belajar yang diusung pemerintah adalah pembentukan karakter siswa di seluruh jenjang pendidikan, mulai dari tingkat PAUD hingga pendidikan menengah.

 

"Pendidikan karakter merupakan inti dari penyelenggaraan kepramukaan. Dengan memasukkan kepramukaan dalam Profil Pelajar Pancasila, kita tidak menambah pelajaran baru, tetapi memperkaya muatan materi pelajaran yang sudah ada,” jelas Adlin.


Ia menambahkan bahwa tujuan ini bukan sekadar menempatkan Pramuka sebagai pelajaran tambahan, tetapi untuk memastikan nilai-nilai kepramukaan tercermin dalam semua mata pelajaran.

 

“Kita tahu pendidikan kepramukaan sudah banyak modulnya. Maka kita tawarkan modul itu menjadi sebuah proyek yang bersifat kontekstual. Seperti kita ketahui dalam kurikulum Merdeka, guru mengajar secara terdiferensiasi. Jadi mau tidak mau proyek yang ditawarkan kepada murid harus sesuai kebutuhan sekolah dan sifatnya interaktif, bukan monolog,” kata Adlin.


Pendidikan kepramukaan, imbuhnya, sudah masuk dalam aspek tersebut. Tinggal bagaimana pendidikan pramuka masuk dalam kokurikuler di satuan pendidikan.

 

“Satu hal yang ingin saya klarifikasi meskipun kewajiban penyelenggaraan kepramukaan tidak lagi menjadi sesuatu yang penting, sekolah tetap wajib menyediakan kepramukaan kepada siswanya. Jadi siswa bisa memilih ekstrakurikuler yang diminati,” tutup Adlin.

 

Menurut Profesor Nizar Ali, Wakil Ketua Umum PBNU, penyelarasan kegiatan Pramuka dengan kurikulum akademik dan pelaksanaannya dalam jam sekolah menjadi kunci penting. Dia menyoroti relevansi Pramuka dengan P5 (Profil Pelajar Pancasila), yang bisa menjadi bagian dari kurikulum intrakulikuler atau kokurikuler.

 

"Saya sepakat jika posisi dalam pramuka bisa dimasukkan dalam intrakulikuler atau bahkan kokurikuler jika melihat dari nilai-nilai P5 (profil pelajar pancasila) sebab P5 merupakan kokurikuler berbasis proyek untuk menguatkan pencapaian kompetensi dan karakter yang disusun berdasarkan SKL,” ujar Prof Nizar.


Meskipun Pramuka dan P5 merupakan kegiatan terpisah, keduanya memiliki hubungan erat dalam membentuk karakter siswa. Pramuka dan P5 terhubung melalui dimensi profil pelajar Pancasila dan dasa dharma Pramuka.

 

“Benang merah keduanya terletak pada dimensi profil pelajar pancasila dan dasa dharma pramuka menjelaskan relevansi ekstrakulikuler Pramuka,” terangnya.


Penerapan Pramuka merupakan sebuah keniscayaan dalam mencapai visi misi sekolah dan pencapaian output standar kelulusan. Melalui kegitan intrakurikuler, ekstrakulikuler, dan kokurikuler para insan pendidikan merawat taman siswa dengan basic tanam siram sehingga menumbuhkan bibit unggul dan tunas cendekia. 


"Ini sangat koheren dengan apa yang diajarkan Ki Hadjar Dewantara dalam konsep taman pendidikan yang tentu ada relevansinya dengan kepramukaan," terang Prof Nizar.

 

Ketua LP Ma’arif PBNU Prof Ali Ramdhani, menekankan pentingnya kerja sama dalam membangun peradaban bangsa melalui pendidikan. Menurutnya, pembangunan peradaban adalah upaya bersama yang membutuhkan kemitraan, termasuk dalam implementasi kurikulum pendidikan yang baru.

 

"Saat ini kita perlu membangun kemitraan. LP Ma'arif memberikan pendidikan secara berkelanjutan sehingga partnership untuk masa pemerintahan 2024-2029 menjadi bagian penting yang perlu disamakan persepsinya," pungkasnya.