Nasional

Penentuan Wilayah Hukum dalam Awal Bulan Hijriah Harus Bisa Dipertanggungjawabkan Secara Ilmiah

Jumat, 29 November 2024 | 09:00 WIB

Penentuan Wilayah Hukum dalam Awal Bulan Hijriah Harus Bisa Dipertanggungjawabkan Secara Ilmiah

Guru Besar Ilmu Falak UIN Walisongo dan Pengurus Lembaga Falakiyah PBNU Prof KH Ahmad Izzuddin. (Foto: NU Online/Esky Pahlevy,)

Jakarta, NU Online

 

Prof KH Ahmad Izzuddin menyebut adanya tiga hal yang perlu dipertimbangkan dalam merumuskan landasan teori mathla' (luas cakupan wilayah geografis keberlakuan rukyat).

 

"Membangun teori mathla' harus mempertimbangkan kemaslahatan, keabsahan ibadahnya masih bisa terjangkau, dan ilmiahnya dapat dipertanggungjawabkan," ujar Guru Besar Ilmu Falak UIN Walisongo Semarang itu dalam Bahtsul Masail Metode Penentuan Awal Bulan Hijriyah di Syahida Inn Ciputat, Tangerang Selatan pada Kamis (28/11/2024) malam.

 

Pandangannya tersebut dipaparkan sebagai pijakan permasalahan tentang deskripsi wilayatul hukmi dalam geografi wilayah Republik Indonesia.

 

Menurut Kiai Izzuddin, hal ini diperlukan karena menyangkut keabsahan ibadah dan hajat umat. Sebagai contoh aspek proses penentuan awal bulan qamariyah yang tidak bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah adalah dengan mentransfer hasil rukyat negara lain lalu diterapkan di wilayah Indonesia.

 

"Metode ini tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, keabsahan ibadahnya perlu dipertanyakan," ujar Pengurus Lembaga Falakiyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LF PBNU) itu.

 

Ia berseloroh, "Kalau mau begitu, ayo kita ikuti waktu ibadah Mekkah saja. Jadi subuh kita jam 9 pagi."

 

Ia menegaskan bahwa tidak ada kewajiban untuk menyatukan kalender Hijriah global. "Tidak ada kewajiban melaksanakan Idul Fitri dan melaksanakan puasa Ramadan pada satu tanggal yang sama di seluruh dunia," ujarnya.

 

Menurutnya, kewajiban menjalankan ibadah puasa di suatu wilayah, yang dalam hal ini sangat krusial ditentukan dengan pemantauan hilal, adalah ketika sudah terdapat tanda hilal (bulan baru) tampak di wilayah tersebut.

 

Oleh karena itu, pembahasan wilayatul hukmi sangat penting sebagai landasan dalam penentuan awal bulan Hijriah.

 

Wilayatul hukmi yang telah berlaku di Indonesia saat ini adalah dari Sabang sampai Merauke. Dalam hal ini, Kiai Izzuddin berpendapat negara tetangga seperti Malaysia, Brunei Darussalam, dan Singapura masih bisa dianggap masuk ke dalam wilayatul hukmi Indonesia.

 

Sementara itu, MABIMS (Menteri Agama Brunei, Indonesia, Malaysia, dan Singapura) menyepakati kriteria ketinggian minimal wujudul hilal 3 derajat dengan sudut elongasi 6,4 derajat.

 

Dalam pembahasan wilayatul hukmi ini, para musyawirin mengerucut ke dalam dua simpulan, yakni wilayatul hukmi mencakup satu negara Indonesia, dan wilayatul hukmi dalam Indonesia perlu dibagi menjadi beberapa titik dengan beberapa pertimbangan dasar pembagian wilayah.

 

Pembahasan ini merupakan seri yang ke-11 dari rangkaian bahtsul masail metode penentuan awal bulan Hijriyah yang telah diselenggarakan PBNU sejak Juli 2024. Ibarat yang disampaikan para peserta dihimpun sebagai dasar penyusunan landasan penentuan awal bulan Hijriah yang komprehensif.

 

Bahtsul masail ini diikuti oleh PWNU dan PCNU dari Jabodetabek, Kalimantan Barat, dan Bangka Belitung, serta akademisi dari sekolah pascasarjana UIN Jakarta. Turut hadir dalam bahtsul masail Ketua PBNU KH Ahmad Fahrurrozi serta moderator bahtsul masail sekretaris Lembaga Falakiyah PBNU (LF PBNU) Ma’rufin Sudibyo.