Pengamat Sebut Peran BGN Terlalu Gemuk dalam Program MBG, Tak Ada Pelibatan Lintas Sektor
NU Online · Kamis, 23 Oktober 2025 | 20:30 WIB
Policy and Advocacy Manager Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI), Fachrial Kautsar dalam Seminar Nasional “Makan Bergizi Gratis: Berbasis Negara atau Masyarakat” yang digelar di Auditorium Juwono Sudarsono (AJS), FISIP UI, Depok, Jawa Barat, pada Kamis (23/10/2025). (Foto: NU Online/Haekal Attar)
Haekal Attar
Penulis
Jakarta, NU Online
Policy and Advocacy Manager Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI), Fachrial Kautsar, menyoroti lemahnya sistem pengawasan dan standar keamanan dalam pelaksanaan program Makan Bergizi (MBG) di sekolah.
Ia menilai, peran yang terlalu besar dari Badan Gizi Nasional (BGN) serta minimnya keterlibatan lintas sektor menjadi salah satu penyebab utama lemahnya koordinasi dan pengawasan program MBG.
“BGN itu merangkap dari mulai perencanaan, monitoring, dan pengawasan, kenapa tidak ada pelibatan bermakna dari lintas sektor,” dalam Seminar Nasional “Makan Bergizi Gratis: Berbasis Negara atau Masyarakat” yang digelar di Auditorium Juwono Sudarsono (AJS), FISIP UI, Depok, Jawa Barat, pada Kamis (23/10/2025).
Ia juga menyoroti terkait kerja sama antarinstansi terkait, seperti BGN dengan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), belum memiliki dasar hukum yang kokoh karena hanya berdasarkan Memorendum of Understanding (MoU) semata.
"Bayangkan, ini terjadi pada sebuah program yang memakan puluhan triliun tahun ini, kerja sama lintas sektornya hanya dilandasi dengan MoU. Makanya akhirnya itu yang dikeluhkan oleh teman-teman dari BPOM waktu di RDP DPR beberapa waktu lalu," katanya.
"Karena dilandasi MoU, tidak ada, misalnya, human resource kepada BPOM. Bagaimana BPOM mau mengerahkan resource-nya di daerah kalau tidak ada hubungan antara keduanya? Karena semuanya masuk ke dalam BGN semua,” jelasnya.
Ia menambahkan, kondisi tersebut turut menyulitkan pemerintah daerah dalam melakukan pendataan, pemantauan, serta evaluasi pelaksanaan program MBG di wilayah masing-masing.
“Bayangkan, satu dapur SPPG itu diberikan tanggung jawab untuk menyediakan 3.500 sampai 4.000 porsi setiap hari. Jadi tim yang berisi kurang lebih 50 orang di dapur dengan satu ahli gizi saja harus memonitor, memeriksa, mengevaluasi, dan memastikan kalau itu tidak terkontaminasi, dan lain-lain,” ujarnya.
Lebih jauh, Ia menjelaskan bahwa kasus-kasus keracunan yang terjadi beberapa waktu terakhir menunjukkan adanya kelemahan mendasar dalam standar kelayakan makanan sebelum diterima oleh siswa penerima manfaat MBG.
“Ini kan sudah menjadi kewajiban, harus, sebelum makanan diterima itu sudah terstandar. Itulah kenapa mungkin kita mendapati kasus keracunan, karena sebelumnya itu dijadikan output atau tujuan, bukan sesuatu yang prasyarat wajib. Adanya SPPG adalah SLAS, misalnya, Sertifikat Baik, Higienis, dan Sanitasi. Itu yang menjadi masalah kemarin, ya,” ujarnya.
Menurut Fachrial, keberhasilan program selama ini masih diukur hanya dari sisi jumlah penerima manfaat, bukan dari kualitas gizi atau dampaknya terhadap tumbuh kembang anak.
“Jadi dihitungnya adalah dari berapa jumlah penerima manfaatnya saja, berapa orang, misalnya 30 juta, ya sudah tercapai. Dikasih makan saja gitu, tapi apakah gizinya terpenuhi, perkembangan atau tidak,” jelasnya.
Fachrial menegaskan bahwa tanpa standar yang kuat serta koordinasi lintas sektor yang efektif, tujuan utama program Makan Bergizi untuk meningkatkan kualitas gizi anak Indonesia akan sulit tercapai.
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Kerusakan Alam dan Lalainya Pemangku Kebijakan
2
Khutbah Jumat: Mari Tumbuhkan Empati terhadap Korban Bencana
3
Pesantren Tebuireng Undang Mustasyar, Syuriyah, dan Tanfidziyah PBNU untuk Bersilaturahmi
4
Mustasyar, Syuriyah, dan Tanfidziyah PBNU Hadir Silaturahim di Tebuireng
5
20 Lembaga dan Banom PBNU Nyatakan Sikap terkait Persoalan di PBNU
6
KH Said Aqil Siroj Usul PBNU Kembalikan Konsesi Tambang kepada Pemerintah
Terkini
Lihat Semua