Jakarta, NU Online
Anggapan bahwa aksi terorisme merupakan rekayasa kalangan elite politik atau, aparat TNI-Polri merupakan pemahaman keliru yang berasal dari minimnya pengetahuan tentang terorisme.
Pemahaman seperti itu diperkeruh oleh banyaknya informasi hoaks yang beredar luas di media sosial, yang menuntun warga internet untuk mempercayai cara berpikir seperti itu.
Hal ini dikatakan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Suhardi Alius saat menjadi narasumber mengenai ancaman bahaya radikal terorisme di acara Silaturahmi Nasional Forum Komunikasi dan Konsultasi Badan Pembina Rohani Islam Nasional (Silatnas FBN).
“Tentunya tidak masuk akal untuk merekayasa aksi teror seperti itu dengan mengorbankan orang begitu banyak, apalagi sampai mengorbankan aparat atau kawan sendiri untuk melakukan aksi teror itu,” ujar Kepala BNPT, Suhardi Alius di hadapan para pembina rohani Islam dari kantor kementeria/non kementerian, TNI/Polri dan BUMN, di Jakarta, Sabtu (22/9).
Sayangnya, pemahaman demikian, tidak hanya ditemukan di kalangan masyarakat sipil, namun juga di sejumlah aparat pemerintah. Hal ini sejalan dengan temuan Alvara Research yang menemukan bahwa sebanyak 19,4 persen PNS lebih setuju dengan berdirinya ideologi Islam di Indonesia. Sementara 18,1 persen pegawai BUMN juga setuju akan hal tersebut.
Oleh karenanya, Suhardi menyatakan bahwa salah satu solusi atas fenomena ini adalah memberikan pemahaman yang menyeluruh tentang bahaya raham radikalisme agama yang bisa berujung pada terorisme.
Sejalan dengan Suhardi, Muhammad Makhdum, anggota LTN-NU Tuban dalam tulisannya 'Terorisme dan Nalar Bengkok Beragama' di NU Online menyebut, pemahaman yang salah dalam memahami agama dapat berujung pada pengesahan dalam melakukan aksi radikalisme agama.
“Nalar yang bengkok dalam memahami teks-teks kitab suci juga seolah melegalkan aksi teror atas nama agama. Bukan cuma Islam, kondisi seperti ini dapat menimpa pada pemeluk agama apa pun,” tulisnya. (Ahmad Rozali)