Nasional

Perampasan Ruang Hidup, Konflik Agraria di Indonesia Meningkat Tajam Sepanjang 2025

NU Online  ·  Selasa, 23 Desember 2025 | 22:00 WIB

Perampasan Ruang Hidup, Konflik Agraria di Indonesia Meningkat Tajam Sepanjang 2025

Wakil Ketua Advokasi YLBHI Edy Kurniawan dalam Peluncuran Catatan Akhir Tahun dan Laporan Situasi Hukum dan HAM 2025 bertajuk Menebas yang Tersisa: Perusakan Sistematis Sisa-sisa Amanat dan Semangat Reformasi Indonesia di Gedung YLBHI, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (23/12/2025). (Foto: NU Online/Mufidah)

Jakarta, NU Online

Wakil Ketua Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Edy Kurniawan menilai konflik agraria dan perampasan ruang hidup di Indonesia mengalami peningkatan signifikan sepanjang tahun 2025.


Kondisi ini, menurutnya, menjadi penanda kuat bahwa arah kebijakan strategis pemerintahan lima tahun ke depan berpotensi mengorbankan ruang hidup masyarakat atas nama pertumbuhan ekonomi dan ketahanan nasional.


Edy melihat adanya gelombang besar perampasan ruang hidup yang dilegitimasi melalui kebijakan negara dan praktik pembangunan.


Perampasan ruang hidup tersebut tidak hanya berupa pengambilalihan tanah, tetapi juga mencakup penghancuran akses, manfaat, serta keberlanjutan sumber-sumber kehidupan masyarakat, baik wilayah, tanah, maupun kualitas hidup secara keseluruhan.


“Fenomena ini kami sebut sebagai state capture corruption, hukum dan kekuasaan digunakan untuk melanggengkan perampasan ruang hidup,” ujarnya dalam Peluncuran Catatan Akhir Tahun dan Laporan Situasi Hukum dan HAM 2025 bertajuk Menebas yang Tersisa: Perusakan Sistematis Sisa-sisa Amanat dan Semangat Reformasi Indonesia yang digelar di Gedung YLBHI, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (23/12/2024).


Edy menjelaskan, pada pertengahan tahun 2025 YLBHI melanjutkan gugatan kepentingan terhadap kebijakan penggabungan Harga Pokok Produksi (HPP) yang berkaitan dengan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen. Gugatan tersebut diajukan karena kebijakan tersebut dinilai sangat menjerat dan memberatkan masyarakat.


Selain itu, YLBHI menggugat perubahan Undang-Undang Cipta Kerja yang mengatur kemudahan dan percepatan proyek strategis nasional (PSN). Menurut Edy, dua gugatan kebijakan ini merupakan akumulasi dari berbagai konflik sumber daya alam yang terjadi sepanjang tahun 2025.


“Kami menegaskan bahwa persoalan ini bukan sekadar masalah implementasi atau kasus per kasus, melainkan persoalan kebijakan yang bersifat sistemik dalam mengatur dan menguasai ruang hidup,” tegasnya.


Berdasarkan data yang ditangani langsung oleh jaringan LBH dan YLBHI, sepanjang 2025 tercatat 94 konflik sumber daya alam. Konflik tersebut mencakup konflik baru maupun konflik lama yang terus berlanjut, termasuk proyek-proyek yang masih berada dalam tahap perencanaan tetapi telah memicu konflik di lapangan.


“Angka 94 konflik ini hampir setara dengan akumulasi konflik selama lima tahun sebelumnya. Pada periode 2017 hingga 2023, kami mencatat terdapat 106 konflik sumber daya alam. Artinya, dalam satu tahun saja, jumlah konflik hampir menyamai konflik dalam sembilan tahun sebelumnya,” paparnya.


Lonjakan konflik juga terlihat dari luasan wilayah terdampak. Dalam lima tahun sebelumnya, total luasan konflik sumber daya alam mencapai sekitar 800 ribu hektare. Sementara pada 2025, luasan konflik telah mencapai sekitar 376 ribu hektare atau hampir setengah dari total luasan konflik selama lima tahun sebelumnya.


Dari sisi korban, YLBHI mencatat hampir 100 ribu orang terdampak konflik sepanjang 2025. Sebagian besar korban berasal dari sektor sumber daya alam, dengan jumlah sekitar 91 ribu orang. Data ini menunjukkan besarnya dampak sosial yang ditimbulkan oleh konflik agraria.


YLBHI juga menyoroti tingginya angka kekerasan dan kriminalisasi yang berjalan beriringan dengan konflik tersebut. Dari 93 konflik yang dicatat, terdapat 71 peristiwa kekerasan dan kriminalisasi. Kondisi ini menunjukkan bahwa konflik sumber daya alam hampir selalu disertai penggunaan kekerasan dan instrumen hukum untuk menekan masyarakat.


“Jumlah korban di sektor PSN juga sangat besar, mencapai sekitar 43 ribu orang, atau dua kali lipat dibandingkan sektor perkebunan maupun sektor lainnya. Hal ini menandakan bahwa PSN telah menjadi modus baru perampasan lahan dalam skala luas yang menelan banyak wilayah masyarakat,” jelasnya.


Edy mencontohkan, Proyek Strategis Nasional (PSN) di Sumatra Utara, khususnya di Mandailing Natal, mencakup luasan sekitar 60 ribu hektare. Di Gunung Gede, Jawa Barat, konflik mencakup sekitar 15 ribu hektare. Sementara di Papua, khususnya Merauke, skala perampasan mencapai jutaan hektare, meskipun yang saat ini ditangani secara langsung sekitar 30 ribu hektare yang tengah berkonflik.


Ia menuturkan bahwa penggunaan kebijakan PSN tidak hanya bertujuan merampas lahan, tetapi juga mengontrol kehidupan masyarakat lokal. Kontrol tersebut dilakukan melalui penguasaan sumber pangan, energi, dan air—tiga kebutuhan dasar warga negara. Dengan demikian, PSN berfungsi untuk mengendalikan hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat di wilayah terdampak.


“Data kriminalisasi menunjukkan hal yang lebih mengkhawatirkan. Di sektor perkebunan, jumlah peristiwa kekerasan bahkan melampaui jumlah konflik. Tercatat 37 peristiwa kekerasan dari 20 konflik. Di sektor pertambangan, terdapat 19 peristiwa kekerasan dari 12 konflik. Artinya, dalam satu konflik dapat terjadi kekerasan berulang kali,” ungkapnya.


Menurut Edy, kekerasan dan kriminalisasi tersebut digunakan sebagai strategi untuk membungkam partisipasi publik, atau dikenal sebagai law against public participation.


Sepanjang 2025, YLBHI menangani dan mengintervensi konflik di 23 wilayah di Indonesia, mulai dari Aceh hingga Lampung, Jawa dan Bali, Kalimantan, Sulawesi Barat dan Selatan, Nusa Tenggara, Maluku, hingga Papua dan Nusa Tenggara Timur.


Ia menambahkan, dampak konflik tersebut juga berkaitan dengan kebijakan ketenagakerjaan. Beberapa indikator yang mempengaruhi kondisi ini antara lain menurunnya nominal pesangon yang melemahkan perlindungan finansial buruh, meningkatnya fleksibilitas pasar kerja melalui PKWT dan outsourcing, serta politik upah murah.


“Dalam hal ini, terdapat tiga perubahan utama, yakni perubahan formula upah minimum, penghapusan standar kebutuhan hidup layak buruh, serta melemahnya daya beli buruh akibat kebijakan Undang-Undang Cipta Kerja,” pungkasnya.

Gabung di WhatsApp Channel NU Online untuk info dan inspirasi terbaru!
Gabung Sekarang