Nasional

Pidato Rais ‘Aam PBNU tentang Islam dan Kemanusiaan, Ungkap Fragmen di Perang Yarmuk

Senin, 23 September 2024 | 07:00 WIB

Pidato Rais ‘Aam PBNU tentang Islam dan Kemanusiaan, Ungkap Fragmen di Perang Yarmuk

Rais Aam PBNU KH Miftachul Akhyar saat sedang berpidato memberikan arahan dalam Halaqah Humanitarian Islam; Islam untuk kemanusiaan; Al-Islam lil Insaniyah yang digelar di Hotel Acacia Jakarta, Ahad (22/9/2024). (Foto: tangkapan layar Youtube TVNU)

Rais ‘Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Miftachul Akhyar memberi sambutan sekaligus arahan dalam Halaqah Humanitarian Islam; Islam untuk kemanusiaan; Al-Islam lil Insaniyah yang digelar di Hotel Acacia Jakarta, 21-22 September 2024.


Berikut adalah pidato Kiai Miftach dalam kesempatan tersebut:


***


Assalāmualaikum warahmatullāhi wabarakātuh. Bismillahirrahmanirrahīm.


Islam datang tentu untuk menyempurnakan semua. Kalau ajaran-ajaran di agama-agama sebelumnya kita diajak untuk mencintai pada sesamanya, kita diberikan mawa’idz-mawa’idz husna tentang kehidupan, maka Islam sebagai agama yang hadir untuk seluruh alam, Rasulullah diutus tiada lain hanya untuk, atau sebagai rahmat bagi seluruh alam, bukan hanya manusia tapi alam semuanya, hatal malaikah, hatal madar wal ramal, ini didapati semua terkena dengan risalah Rasulillah shallallāhualaihi wasallam.


Maka Islam yang sebagai agama terakhir, untuk seluruhnya, dan rahmat bagi semua alam jagad raya ini, tentu kita belum sampai sebetulnya memahami Islam secara benar, mungkin hanya 10 persennya daripada Islam yang dibawa oleh Rasulillah shallallāhualaihi wasallam. Satu-satunya manusia yang telah secara sempurna dan lengkap telah memenuhi amanah, melaksanakan amanah secara tuntas, hanya Rasulullah shallallahualaihi wasallam.


Kita ingat di dalam surat Al-Kahfi disebutkan: “… lau kânal-baḫru midâdal likalimâti rabbî lanafidal-baḫru qabla an tanfada kalimâtu rabbî walau ji'nâ bimitslihî madadâ” (QS. Al-Kahfi: 109). Lautan yang ada di bumi ini menjadi tinta untuk menulis kalimâti rabbî, Islam – jadi “kalimâti rabbi” ini juga otomatis Islam – “lanafidal-baḫru,” lautan-lautan yang ada di bumi ini akan kering, habis, “qabla an tanfada kalimâtu rabbi,” sebelum kalimat-kalimat rabbî, kalimat Allah yakni Islam selesai untuk kita pahami secarah keseluruhan, “walau ji'nâ bimitslihî mada,” walaupun didatangkan lautan-lautan planet lain atau dari mana pun tetap akan kurang, melihat besarnya Islam yang luar biasa ini.


Oleh karena itu, al-Islam lil insaniyah tentu Islam sebagai – katakanlah – petunjuk, hadiah pada kemanusiaan, maka insaniyah ini tentu sesuatu yang sangat luar biasa juga. Insaniyah-nya inilah yang oleh Allah mereka-mereka ini ditunjuk sebagai khalifatullah fil ardl untuk mengisi bumi ini, untuk memakmurkan bumi ini. “…huwa ansya'akum minal-ardli wasta‘marakum fîhâ fastaghfirûhu tsumma tûbû ilaîh…” (QS. Hud: 61).


Allah-lah yang menciptakan kalian, manusia, yang di dalam dirinya ada insaniyah, minal-ardli wasta‘marakum, dan Allah menjadikan kalian sebagai pemakmur bumi ini. Ada tafsir yang menafsirkan: dan memerintahkan kalian untuk memakmurkan bumi ini.


Memakmurkan bumi itu adalah tugas besar, tugas sebagai khalifah. Khalifah yang dimaksud bukan khilafah-khilafah yang ditawar-tawarkan itu, tapi khalifah manusia yang besar yang mana Al-Qur'an pertama kali diturunkan di situ disebut kata insān.


Islam diawali dengan wahyu yang di situ menyebut kata insān. Bahkan ada perintah agar insān ini terus membaca, bukan sekadar membaca tulisan, tapi membaca secara luas: membaca situasi keadaan, bahkan membaca tanda-tanda alam. “Iqra' bismi rabbik…” (QS. Al-‘Alaq: 1). Kalau bisa kita artikan, perintah ini adalah perintah: agar Engkau ya Muhammad dan semua umatmu berikutnya menjadi orang yang punya kemampuan yang tanpa batas. Tentu yang dimaksud tanpa batas ya di dunia ini. Ini sebuah isyarat sekaligus menunjukkan bagaimana kebesaran manusia yang di dalam dirinya ada insaniyah-nya ini.


Oleh karena itu semua sudah disiapkan, disediakan tatanan-tatanan untuk kemanusiaan ini, mulai dari hal-hal yang kecil, mulai masuk toilet buang air kecil, sampai hal-hal yang besar itu semua sudah ada tatanan-tatanannya, ada nash-nash-nya, bagaimana kebesaran Islam itu sendiri, bagaimana Islam menghadapi saudaranya sesama Muslim.


Fragmen Kemanusiaan di Perang Yarmuk

Sampai ada satu hadits riwayat Abu Jahm – haditsnya Abu Jahm di perang yang pertama kali Islam berhadapan dengan Eropa, Perang Yarmuk.  Abu Jahm ini Ibnu Hudzaifah, punya saudara sepupu. Begitu usai perang, ternyata belum pulang.


Di dalam situasi yang begitu panas menyengat, Abu Jahm ini berpikiran: jangan-jangan saudaraku terluka di medan perang, saat ini mungkin sedang tersiksa dengan kehausan dan lain sebagainya.


Maka dibawalah kendi, tempat untuk air, jangan-jangan ini sangat dibutuhkan. Dicari. Betul, setelah ditemukan ternyata dalam luka parah, sudah tidak punya kemampuan untuk bergerak, hanya merintih. Maka diisyaratkan ditunjukkan air ini, maukah untuk dituangkan dan diminumkan? Dia memberi isyarat: segera tuangkan.


Begitu mau dituangkan, diminumkan, tiba-tiba kira-kira jarak 100 meter mendengar rintihan yang serupa. Maka saudaranya ini memberi syarat: kau ke sana, kau ke sana, datangi rintihan itu. Begitu didatangi ternyata Hisyam ibnu Abil Ash, saudara dari Amr ibnu Ash, yang juga sedang terluka, sangat membutuhkan minuman tersebut. Begitu mau dituangkan untuk diminumkan, tiba-tiba mendengar lagi rintihan dari arah yang lain.


Maka Hisyam ibnu Abil Ash ini memberi isyarat: kamu ke sana. Padahal dia sangat butuh. Maka diturutilah, didatangi suara rintihan yang ketiga ini. Sampai di situ, ternyata sudah meninggal dunia.


Akhirnya kembali ke Hisyam ibnu Abil Ash, sampai di Hisyam ibnu Abil Ash, juga sudah meninggal dunia. Lalu kembali ke saudaranya, sepupunya, juga meninggal. Ketiga-tiganya meninggal dunia tanpa bisa mencicipi merasakannya.


Ini ukhuwah yang ada di dalam (Islam), belum ukhwah-ukhwah yang dengan agama-agama yang lain, yang ditunjukkan bagaimana Sahabat Ali, yang dia tidak mau dibedakan dengan mereka yang min ahli kitab sedang punya masalah hukum: di hadapan hukum kita harus sama. Banyak sekali.


Oleh karena itu, maka sebagai kesempatan kita menggali, terus menggali, karena kalimatullāh yakni Islam itu sendiri masih terlalu banyak, banyak, ayyu balīghin, ayyu hakīmin, yang mereka menginginkan mendalami, mencapai cita-citanya, sehingga dia memahami Islam adalah ghāyah kamaliyah, tapi ternyata belum sampai tuntas untuk mempelajari Islam.


Ini kesempatan kita dalam hari ini menggali, menambahkan ilmu. Semoga pelaksanaan ini betul-betul lancar dan dapat ziyadahilmiyah di dalam halaqah yang sedang diadakan ini.


Kiranya itu yang bisa kami sampaikan. Saya sudah dapat isyarat agar segera menghabisi berdiri saya ini, karena mungkin sudah jamnya. Mohon maaf yang sebesar-besarnya atas kekurangan dalam penyampaian, dan nanti malam insyaallah saya kembali ke sini, ingin juga mendapatkan informasi apa kira-kira yang telah dibicarakan untuk tambahan-tambahan ilmu. Kurang lebih mohon maaf.


Ihdinash shirāthal mustaqīm. Wallāhul muwaffiq ilā aqwāmith tharīq.


Wassalāmualaikum warahmatullāh wabarakātuh.