Transformasi Pengasuhan di Pesantren: Penuhi Hak dan Perlindungan Santri
NU Online · Senin, 3 November 2025 | 13:00 WIB
Ilustrasi: santriwati Pondok Pesantren Sirojuth Thalibin Brabo, Grobogan, Jawa Tengah. (Foto: dok. Pesantren Sirojuth Thalibin Brabo)
Rikhul Jannah
Kontributor
Bantul, NU Online
Para Nyai dari berbagai daerah berkumpul dalam acara Silaturahmi Nasional Ke-4 Bu Nyai Nusantara yang bertanjuk Transformasi Pesantren: Merawat Tradisi, Membangun Inovasi. Dalam acara tersebut, para Nyai membahas pentingnya transformasi kepengasuhan sebagai bagian dari sistem pendidikan pesantren yang ramah dan berkelanjutan.
Ketua Pengarah Majelis Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI), Nyai Hj Badriyah Fayumi menyampaikan bahwa pentingnya transformasi kepengasuhan di pesantren sebagai bagian integral dari pendidikan dan perlindungan anak. Menurutnya, pengasuh pesantren, baik Nyai maupun Kiai, berperan sebagai orang tua kedua bagi para santri.
“Prinsip pertama bahwa pengasuh adalah orang tua dari santri. Dan karena kepengasuhan itu kembali kepada Bapak dan Ibu, kita mengenal parenting, maka anaknya dipasrahkannya ke Pak Kiai dan Bu Nyai, Pak Kiai dan Bu Nyai itu sebagai pengganti orang tua,” ujarnya di Universitas Alma Ata, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Ahad (2/11/2025).
Nyai Badriyah menjelaskan bahwa pengasuhan di pesantren bukanlah lawan dari pendidikan, melainkan bagian yang saling melengkapi dengan pengajaran. Maka, diperlukan standar khusus dalam sistem pengasuhan di pesantren agar santri dapat tumbuh dan berkembang secara optimal.
“Kalau dalam perspektif perlindungan anak, perlindungan anak itu hanya dua. Satu pemenuhan hak dan kedua perlindungan dari,” kata A’wan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) itu.
Ia mengatakan bahwa hak anak meliputi hak hidup, pendidikan, agama, kesehatan, tumbuh kembang, istirahat, waktu luang, hingga rekreasi. “Santri juga jangan dari pagi sampai malam suruh belajar terus. Itu artinya kita tidak memberikan hak untuk rekreasi,” ucapnya.
Transformasi Kurikulum di Pesantren
Sementara itu, Sekretaris Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Nyai Hj Hindun Anisah menyampaikan bahwa terdapat enam prinsip penting yang menjadi dasar dalam transformasi kurikulum pesantren, mulai dari penyusunan hingga pengembangan.
“Yang tidak bisa diubah adalah prinsip-prinsip dalam menyusun kurikulum itu. Nah, prinsip-prinsip itu ada beberapa hal,” ujarnya dalam acara Silaturahmi Nasional (Silatnas) Ke-4 Bu Nyai Nusantara di Universitas Alma Ata, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Ahad (2/11/2025).
Pertama, prinsip keilmuan yang bermanfaat dan barokah. Menurutnya, keberkahan ilmu adalah ciri khas utama pesantren yang tidak boleh hilang.
“Pesantren itu yang membedakan dengan lembaga pendidikan lainnya adalah kebarokahannya. Ini jangan sampai hilang di dalam kita mengembangkan kurikulum,” ujar Hindun.
Kedua, prinsip kiai, nyai, dan asatidz sebagai pusat keilmuan serta teladan. Ning Hindun menyampaikan bahwa peran mereka sebagai uswah hasanah harus tetap dijaga meskipun teknologi dan informasi berkembang pesat.
Ketiga, prinsip keilmuan berbasis kitab kuning yang menjadi fondasi utama pembelajaran pesantren. Ia menyampaikan bahwa pentingnya relevansi kitab kuning meski di tengah era digital.
“Saya sering ditanya santri, apa pentingnya belajar kitab kuning pada era saat ini? Nah, ini juga harus bisa kita jawab karena prinsip keilmuan berbasis kitab kuning tidak bisa dihilangkan di pesantren,” ucapnya.
Keempat, prinsip ketersambungan sanad keilmuan. Ning Hindun menegaskan bahwa sanad merupakan jaminan keotentikan ilmu dan harus terus dijaga. “Sanad keilmuan ini harus nyambung. Itu yang membedakan pesantren dengan lainnya,” tegasnya.
Kelima, prinsip ketuntasan dan kedalaman ilmu. Menurutnya, santri harus belajar hingga tuntas dan mendalam, tidak berpindah-pindah sebelum menyelesaikan satu pelajaran.
“Kalau belajar itu harus tuntas, jangan setengah-setengah, jangan pindah-pindah. Itu jangan sampai terjadi, harus tuntas dan harus mendalam. Jangan hanya permukaan saja, kalau permukaan saja itu kadang ya bahaya,” katanya.
Keenam, prinsip akhlakul karimah dan riyadhah. Ia menyebut dua hal ini sebagai ruh pendidikan pesantren yang membentuk karakter santri.
“Akhlak pasti, akhlakul karimah. Setiap pesantren pasti punya riyadhah masing-masing, dan saya yakin pesantren bisa kokoh dari dulu sampai sekarang juga karena kuatnya riyadhah para ulama,” katanya.
Hindun menyampaikan dengan adanya transformasi kurikulum pesantren agar mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman tanpa meninggalkan akar tradisinya. Menurutnya, kurikulum pesantren ke depan juga harus terintegrasi antara keilmuan klasik berbasis kitab kuning dengan kompetensi global yang relevan dengan kebutuhan masa kini.
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Kerusakan Alam dan Lalainya Pemangku Kebijakan
2
Khutbah Jumat: Mari Tumbuhkan Empati terhadap Korban Bencana
3
Pesantren Tebuireng Undang Mustasyar, Syuriyah, dan Tanfidziyah PBNU untuk Bersilaturahmi
4
Mustasyar, Syuriyah, dan Tanfidziyah PBNU Hadir Silaturahim di Tebuireng
5
20 Lembaga dan Banom PBNU Nyatakan Sikap terkait Persoalan di PBNU
6
Gus Yahya Persilakan Tempuh Jalur Hukum terkait Dugaan TPPU
Terkini
Lihat Semua