Zainuddin Lubis
Kolomnis
Pemerintah Indonesia, melalui Kementerian PPN/Bappenas telah rampung menyelesaikan Rancangan Akhir Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045. RPJPN ini disusun demi visi Indonesia Emas 2045. Sejatinya, Indonesia Emas 2045 adalah konsep yang menggambarkan Indonesia sebagai negara maju, mandiri, dan berdaulat pada tahun 2045, saat negara ini merayakan 100 tahun kemerdekaannya.
RPJPN merupakan panduan utama dalam mengarahkan pembangunan nasional dalam jangka panjang. Dokumen ini berisi strategi, kebijakan, dan program-program pembangunan yang diarahkan untuk mencapai visi Indonesia Emas 2045. Lewat RPJPN, dirumuskan langkah-langkah konkret untuk mencapai berbagai tujuan pembangunan, termasuk di antaranya pertumbuhan ekonomi berkelanjutan, pengurangan kesenjangan sosial, pembangunan infrastruktur, perlindungan lingkungan, dan peningkatan kualitas sumber daya manusia.
Lebih jauh lagi, dalam RPJPN, Bappenas akan mengidentifikasi potensi dan tantangan yang dihadapi Indonesia dalam mencapai Indonesia Emas 2045. Kemudian, berdasarkan analisis tersebut, Bappenas akan mengembangkan strategi dan program pembangunan yang bertujuan untuk mengatasi kendala-kendala tersebut dan mendorong pertumbuhan berkelanjutan dan inklusif. Dalam konteks ini, RPJPN merupakan instrumen penting yang akan membantu mengarahkan pembangunan Indonesia menuju visi Indonesia Emas 2045 dengan cara yang terarah dan terukur.
3 Tantangan Menuju Indonesia Emas dalam RPJPN
Sejatinya, dalam mewujudkan Indonesia Emas di 2045, masih banyak tantangan yang harus diselesaikan. Dalam RPJPN, tentu banyak hal yang menjadi tantangan menujud mimpi Indonesia maju di 2045, namun di tulisan ini memfokuskan 3 hal yang menjadi dalam mewujudukan Indonesia Emas 2045.
Pertama, kesenjangan ekonomi. Bila ditilik dalam RPJPN 2025-2045, guna mewujudkan Indonesia Emas, Bappenas menyusun strategi dengan membuat 8 agenda pembangunan dan 17 arah pembangunan yang diukur melalui 45 Indikator Utama Pembangunan. Di antara 8 agenda yang disusun, di langkah pertama difokuskan mewujudkan transformasi sosial dengan meningkatkan kualitas kehidupan manusia dan menciptakan masyarakat yang lebih sejahtera, adil, dan kohesif.
Adapun dalam misi mewujudkan tranformasi sosial yang dicanangkan akan terwujudkan dengan pemerataan kesehatan untuk semua, pendidikan berkualitas yang merata, dan perlindungan sosial yang adaktif. Ini diambil sebagai inovasi dan inisiatif dalam agenda pembangunan masa depan Indonesia.
Isu kesenjangan ekonomi dan kemiskinan tergolong komplek, telah berkelindan puluhan tahun hingga saat ini belum jua teratasi. Bahkan terbilang semakin menganga jaraknya. Presiden di Indonesia sudah 8 orang silih berganti dan 78 tahun Indonesia merdeka, akan tetapi kesenjangan tetap bertahan, bahkan meningkat. Musababnya, ketimpangan ekonomi di Indonesia telah terlanjur mengakar kuat dalam semua lini kehidupan—yang kian menjauhkan bangsa ini dari tujuan mulia para pendiri republik ini.
Jika merujuk dari data, dari Badan Pusat Statistik, Persentase penduduk miskin pada Maret 2023 sebesar 9,36 persen, sebesar 25,90 juta orang. Orang-orang miskin tersebut, berada di kota dan pedesaan. Di perkotaan penduduk miskin sebesar 7,29 persen atau 11,74 juta orang pada Maret 2023. Sementara itu, persentase penduduk miskin perdesaan pada Maret 2023 sebesar 12,22 persen atau 14,16 juta orang pada Maret 2023.
Baca Juga
Tiga Syarat Mewujudkan Indonesia Emas
Lebih lanjut, dalam data BPS menampilkan disparitas tinggi kemiskinan desa-kota (12,22 berbanding 7,29 persen per Maret 2023). Data tersebut menunjukkan perbandingan tingkat kemiskinan antara desa dan kota berdasarkan data BPS 2023. Angka 12,22 persen mewakili tingkat kemiskinan di desa, sedangkan angka 7,29 persen mewakili tingkat kemiskinan di kota.
Ini berarti bahwa persentase penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan lebih tinggi di desa (13,20 persen) dibandingkan di kota (7,02 persen). Disparitas ini menunjukkan bahwa kondisi ekonomi dan kesejahteraan di desa cenderung lebih buruk dibandingkan dengan kota, setidaknya pada periode tersebut.
Disparitas ini bisa dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti akses terhadap pekerjaan yang layak, akses terhadap pendidikan dan kesehatan, serta tingkat pengembangan infrastruktur antara daerah desa dan kota. Faktor-faktor ini dapat mempengaruhi tingkat pendapatan dan kualitas hidup penduduk di masing-masing wilayah.
Lebih jauh, menurut World Inequality Report 2022, yang dikutip dari Katadata.co, bahwa di dua dekade terakhir ketimpangan ekonomi di Indonesia tidak mengalami perubahan signifikan. Dalam Laporan tersebut tercatat periode 2001-2021, sebanyak 50 persen penduduk Indonesia hanya memiliki kurang dari 5 persen kekayaan rumah tangga nasional (total household wealth). Sedangkan 10 persen penduduk lainnya memiliki sekitar 60 persen kekayaan rumah tangga nasional sepanjang periode yang sama.
Laporan tersebut memberikan gambaran yang menarik mengenai distribusi kekayaan di Indonesia selama dua dekade terakhir. Distribusi kekayaan yang tidak berubah secara signifikan selama dua dekade terakhir dapat memiliki dampak yang kompleks terhadap masyarakat dan ekonomi secara keseluruhan. Kesenjangan ekonomi yang persisten dapat menyebabkan sejumlah masalah, termasuk ketidaksetaraan dalam akses terhadap pendidikan, layanan kesehatan, dan peluang ekonomi. Ini bisa mempengaruhi stabilitas sosial dan pertumbuhan ekonomi jangka panjang.
Kedua, ketimpangan dalam pendidikan. Tak bisa dinafikan demi menggapai visi Indonesia Emas 2045, bangsa ini seyogianya menyiapkan sumber daya manusia yang unggul, cerdas, dan kreatif. Guna mengagapai sumber daya manusia unggul dan cerdas, tentu memerlukan layanan pendidikan yang berkualitas baik.
Sejatinya, pendidikan yang berkualitas adalah landasan penting dalam membentuk generasi yang cerdas, kreatif, dan inovatif. Pendidikan yang baik akan membantu mengembangkan potensi dan kemampuan anak-anak, serta memberi mereka pemahaman yang mendalam tentang berbagai aspek kehidupan.
Pendidikan tidak hanya mengajarkan pengetahuan, tetapi juga keterampilan berpikir kritis, kemampuan memecahkan masalah, kolaborasi, dan komunikasi yang efektif. Lingkungan belajar yang mendorong eksplorasi, kreativitas, dan pengembangan karakter yang positif sangat penting.
Menurut data BPS 2020, tingkat pendidikan penduduk Indonesia masih didominasi oleh pendidikan menengah. Dari setiap 100 penduduk yang berusia 15 tahun ke atas, sebanyak 29 orang telah menyelesaikan pendidikan sekolah menengah atau setara, sementara hanya 9 orang yang berhasil menyelesaikan pendidikan di perguruan tinggi.
Hal ini menunjukkan bahwa tingkat partisipasi dalam pendidikan tinggi atau perguruan tinggi masih relatif rendah di Indonesia, dibandingkan dengan tingkat pendidikan menengah. Faktor-faktor seperti aksesibilitas, biaya, dan kesadaran mengenai manfaat pendidikan tinggi mungkin berkontribusi terhadap fenomena ini. Penting untuk terus mendorong peningkatan pendidikan di semua tingkatan, termasuk pendidikan tinggi, untuk memperkuat sumber daya manusia suatu negara dan mendorong pertumbuhan ekonomi serta perkembangan sosial.
Data ini terbilang ironis, pasalnya, dalam laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Population, Education and Development: The Concise Report menyebutkan bahwa secara keseluruhan menggarisbawahi pentingnya pendidikan dalam mencapai pembangunan berkelanjutan dan kesejahteraan masyarakat. Pendidikan bukan hanya tentang peningkatan kualitas hidup individu, tetapi juga memiliki dampak yang luas terhadap dinamika populasi, pertumbuhan ekonomi, dan perkembangan sosial suatu negara.
Dengan demikian, Laporan PBB tersebut menekankan bahwa pendidikan memiliki peran krusial dalam proses pembangunan nasional. Melalui pendidikan yang berkualitas, masyarakat dapat memperoleh pengetahuan, keterampilan, dan kompetensi yang diperlukan untuk berkontribusi pada pembangunan ekonomi, sosial, dan budaya negara mereka.
Lebih jauh lagi, pendidikan juga memberikan individu pengetahuan dan keterampilan yang dapat meningkatkan peluang mereka dalam mencari pekerjaan yang layak, meningkatkan taraf hidup, dan mencapai kesejahteraan ekonomi. Selain itu, pendidikan juga dapat membantu meningkatkan kesadaran akan kesehatan, gaya hidup yang sehat, serta memberikan akses ke informasi yang relevan bagi kehidupan sehari-hari.
Sementara itu, bila tak mampu mengelola usia produktif ini, maka yang akan terjadi adalah bonus demografi yang memberatkan, terutama di usia kerja.berdasarkan data, Organisasi Buruh Internasional (ILO) tercatat sekitar 5,8 juta angka pengangguran. Sementara itu, angka yang lebih tinggi diungkapkan oleh BPS, bahwa per Agustus 2022, jumlah pengangguran di Indonesia mencapai 8,4 juta, porsinya 5,86% dari total angkatan kerja nasional.
Berdasarkan data, pengangguran paling banyak berasal dari kelompok usia 20-24 tahun, yakni 2,54 juta orang. Kemudian, disusul oleh penduduk usia 15-19 tahun sebanyak 1,86 juta jiwa (22,03 persen), penganggur usia 25-29 tahun 1,17 juta jiwa (13,84 persen), usia 30-34 tahun 608,41 ribu jiwa (7,22 persen), dan usia 60 tahun ke atas 485,54 ribu jiwa (5,76 persen).
Sejatinya, untuk mengatasi masalah pengangguran, berbagai langkah dapat diambil, termasuk pengembangan keterampilan, pelatihan, menciptakan lapangan kerja baru, serta peran pendidikan ke pekerjaan. Pemerintah, sektor swasta, dan lembaga pendidikan memiliki peran penting dalam mengatasi masalah ini. Untuk mewujudkan Indonesia Emas, harus meratakan pendidikan di seluruh wilayah Indonesia, bila tidak impian negara maju hanya akan tinggal slogan.
Ketiga, meningkatnya intoleransi di Indonesia. Beberapa tahun terakhir, Indonesia menghadapi tantangan serius terkait intoleransi dan minimnya jaminan kebebasan beragama. Salah satu akar penyebab utama intoleransi di Indonesia adalah politisasi agama. Di tengah dinamika politik yang semakin kompleks, beberapa kelompok telah memanfaatkan sentimen agama untuk mendukung tujuan politik mereka. Hal ini telah menciptakan iklim yang memungkinkan retorika intoleran untuk merasuki masyarakat, memecah belah kesatuan dan harmoni yang telah lama menjadi ciri khas Indonesia.
Laporan International NGO Forum on Indonesian Development, yang berjudul Intoleransi dan Diskriminasi dalam Beragama: Studi Kasus Peraturan Perundang-Undangan di Tingkat Nasional dan Daerah, menyebutkan terdapat pelbagai regulasi atau produk hukum atau kebijakan yang bersifat intoleran dan diskriminatif, baik di tingkat nasional maupun di tingkat daerah, baik yang dilatarbelakangi oleh kepentingan politik sesaat maupun konservatisme beragama. Regulasi ini secara nyata digunakan baik langsung maupun tidak langsung untuk melegitimasi serangkaian perilaku intoleran di tanah air. Mulai dari stigma sosial kepada individu atau komunitas tertentu, persekusi, hingga main hakim sendiri atau kekerasan terhadap kelompok minoritas.
Lebih jauh, potensi intoleransi dan diskriminasi di tanah air juga akan semakin besar manakala mendapat legitimasi secara hukum. Produk hukum intoleran dan diskriminatif ini jika dibiarkan akan menjadi bom waktu yang berpotensi menyebabkan konflik sosial antar etnik, agama, dan merobek tenun kebangsaan yang telah terjalin di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Lebih lanjut, dalam penelitian ini juga ditemukan sepanjang tahun 2000 hingga 2020 terdapat 227 Peraturan dan Kebijakan Daerah yang dianggap intoleran dan diskriminatif. Dari jumlah tersebut, paling banyak Perda dan peraturan kebijakan yang terbit di wilayah provinsi Jawa Barat (89 peraturan). Kemudian Sumatera Barat (26 peraturan). Ketiga, Kalimantan Selatan (17 peraturan), lalu menyusul Sulawesi Selatan (16 peraturan), DI. Yogyakarta (14 peraturan), NTB (13 peraturan), Jawa Timur (12 peraturan), dan Aceh (7 peraturan).
Dari data lain, SETARA Institute, mencatat sekitar 2.758 peristiwa dan 3.896 tindakan terkait dengan pelanggaran Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan. Yang menarik dari penelitian ini adalah pelbagai aktor terlibat dalam pelanggaran KBB, baik itu melibatkan negara dan non negara. Misalnya, dari aktor-aktor negara yang paling banyak terlibat dalam peristiwa pelanggaran KBB adalah Kepolisian (488), Pemerintah Daerah (147), Satpol PP (119), dan TNI (78).
Sementara itu, enam wilayah yang paling banyak kasus atau peristiwa pelanggaran KBB adalah Provinsi Jawa Barat (717), Jawa Timur (314), DKI Jakarta (294), Jawa Tengah (178), Aceh (157), dan Sulawesi Selatan (145)109. Dari sisi korban, jemaat Ahmadiyah menempati peringkat tertinggi sebagai korban pelanggaran KBB (478). Umat Kristen (206), Syiah (172), dan Aliran Keagamaan lainnya (151) juga sering menjadi korban pelanggaran KBB di Indonesia.
Peran Orang Muda Menuju Indonesia 2045
Peran orang muda dalam mewujudkan Indonesia 2045 tidak dapat diabaikan. Mereka adalah pilar utama dalam pembangunan berkelanjutan dan pencapaian visi besar negara. Orang muda memiliki peran kunci dalam membentuk arah kepemimpinan Indonesia di masa depan. Mereka adalah pewaris nilai-nilai bangsa, dan tanggung jawab untuk memastikan kelangsungan dan pengembangan nilai-nilai tersebut berada dalam tangan mereka. Kepemimpinan yang baik perlu didasarkan pada integritas, etika, dan semangat berdikari.
Dalam menghadapi kompleksitas tantangan global, seperti perubahan iklim, kesenjangan sosial, dan revolusi teknologi, orang muda perlu menjadi agen perubahan. Mereka bisa melalui partisipasi aktif dalam organisasi kemasyarakatan, kegiatan sosial, dan politik yang bertujuan memajukan kepentingan masyarakat. Melalui pemahaman mendalam terhadap masalah-masalah yang dihadapi, mereka bisa merumuskan solusi-solusi inovatif dan memberikan dampak positif bagi banyak orang.
Selanjutnya, pemuda memiliki peran penting dalam menjaga perdamaian dan mempromosikan toleransi di tengah masyarakat yang beragam. Islam mengajarkan pentingnya hidup berdampingan secara harmonis dengan semua lapisan masyarakat, tanpa memandang suku, agama, atau ras. Pemuda muslim diharapkan menjadi pelopor dalam membangun persaudaraan antarumat beragama dan suku di Indonesia.
Dalam Islam, orang muda adalah penerus nilai-nilai perjuangan generasi yang telah lalu. Dalam Al-Qur’an at-Thur [52] ayat 21 dijelaskan bahwa generasi orang muda memiliki peran penting sebagai penerus nilai-nilai dan perjuangan dalam masyarakat. Mereka diharapkan untuk tetap kuat, berpikiran jernih, dan berani menghadapi tantangan, seperti yang ditunjukkan oleh pemuda dalam kisah ini. Oleh karena itu, mengambil pelajaran dari ayat ini, kita dapat merangkul semangat kepemudaan dalam upaya membangun masyarakat yang lebih baik.
"Orang-orang yang beriman dan anak cucunya mengikuti mereka dalam keimanan, Kami akan mengumpulkan anak cucunya itu dengan mereka (di dalam surga). Kami tidak mengurangi sedikit pun pahala amal (kebajikan) mereka. Setiap orang terikat dengan apa yang dikerjakannya." (QS at-Thur: 21)
Ayat ini menggambarkan bagaimana generasi orang muda mengambil alih tanggung jawab dalam meneruskan perjuangan politik, sosial, atau budaya yang telah dimulai oleh generasi sebelumnya. Dalam konteks sejarah, banyak perjuangan penting seperti perjuangan kemerdekaan, hak asasi manusia, kesetaraan gender, dan sebagainya telah dimulai oleh generasi sebelumnya, dan kemudian diteruskan oleh generasi muda. Mereka meneruskan semangat, nilai-nilai, dan tujuan dari perjuangan tersebut agar dapat mencapai hasil yang diinginkan.
Zainuddin Lubis, pegiat kajian keislaman, tinggal di Ciputat, Tangerang Selatan, Banten.
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Gambaran Orang yang Bangkrut di Akhirat
2
Khutbah Jumat: Menjaga Nilai-Nilai Islam di Tengah Perubahan Zaman
3
Khutbah Jumat: Tolong-Menolong dalam Kebaikan, Bukan Kemaksiatan
4
Khutbah Jumat: 2 Makna Berdoa kepada Allah
5
Khutbah Jumat: Membangun Generasi Kuat dengan Manajemen Keuangan yang Baik
6
Rohaniawan Muslim dan Akselerasi Penyebaran Islam di Amerika
Terkini
Lihat Semua