Oleh Ahmad Rozali
Sebagian orang merasa, menjadi romantis pada pasangan merupakan perkara remeh temeh yang tidak perlu dilakukan, sebagian lainnya merasa romantisme adalah bumbu yang dapat memberikan kebahagiaan dalam berumah tangga.
Saya mencoba menelusuri beberapa jejak romantisme para kiai di kalangan keluarga Besar Nahdlatul Ulama. Pertama saya menelusuri jejek digital KH Ahmad Mustofa Bisri, Mustasyar PBNU. Gus Mus yang masyhur dengan sastra-sastra dan kebijkasanaannya itu merupakan sosok menganjurkan kita semua untuk berlaku romantis pada suami/istri masing-masing. Jika perlu, kata Gus Mus, ‘berikan pujian hingga setinggi langit’.
Akan tetapi, Pengasuh Pondok Pesantren Raudhatut Thalibin, Leteh, Rembang ini mengingatkan jangan sampai sebuah pujian melewati batas wajar yakni hingga membeda-bedakan pasangan dengan orang lain.
“Pujilah istri/suamimu setinggi langit sekalipun, tapi tak perlu membandingkan dengan istri/suami orang lain, apalagi menghinanya,” tulis Gus Mus dalam akun twitternya @Gusmusgusmu, Sabtu (22/9).
Gus Mus, bukanlah satu-satunya sosok kiai NU yang menganjurkan romantisme pada pasangan. Kiai NU kondang lainnya, Gus Muwafiq dari Yogyakarta juga ada di posisi yang setuju pada romantisme terhadap istrinya. Bahkan, ia menulis puisi di laman media sosialnya yang diperuntukkan pada sang istri yang waktu itu sedang merayakan ulang tahun.
Sang Kiai menulis sebuah puisi ‘throw-back’ yang mengisahkan perjalanan bersama istrinya sejak perjumpaannya 25 tahun lalu.
‘Senja Desember 1993’;
Kau hadir sebagai siluet senja tapi semburat matari pagi
Ku ulurkan tangan kusebut Afiq namaku. Sekenanya kau jawab sufik infik.
Aku tidak kaget karena kau anak kelas satu lulusan SMP. Baru belakangan kutau Ela namau
Kulit putih dipadu rambut kemerahan,tubuh yang tinggi dengan bentuk kepala oval cenderung lonjong. Alis yang lurus pertanda keras hati dan mata yang teduh tapi tampak tatapan bengis tersimpan di dalamnya
Seperti biasa dan biasa saja suara ombak meningkas menenggelamkan semuanya
Waktu berlalu tapi kusadar terselip rindu
Hingga saat malam yang tak disengaja kulihat lagi wajah cerianya yang sok dewasa di dekat kantin sekolah dalam acara malam OSIS
Semenjak itu sampai bus hijau bertuliskan PHB mengantarkanmu ketempat ari-arimu
Panggilan ILa dan bukan Ela terdengar aneh di telingaku. Kenapa menjadi Ila?
Seiring waktu dan hati yang semakin merindu dengan keyakinan kaulah ibu dari anak-anakku baru kutau bahwa selama itu kaupun merinduku
Di tengah belantara dan rumah kayu di kelok sungai sejuta lekuk jadilah kita sepasang kekasih mengarung cakrawala mereguk lautan segala rasa
Empat anak dan entah berapa lagi akan menyusul menyebut kakak di panggi adik telah kau dekap di antara dengus peluh peraduan kita
Kau hadir dengan balutan kain sarung dan jarit di rengek panggilan emak atau mak’è anak-anak kita, kontras dengan teman-teman sosialitamu
Di usia yang semakin tua kutau diriku semakin mencintaimu
Hingga ku tak mampu menuliskan kata-kata ini saat di dekatmu, karena aku tenggelam lebur dalam madah cinta di ulang tahunmu.
Di angkasa antara Balikpapan dan Jakarta di online sejuta frekwensi kusadar bahwa nama kita telah terpatri dalam Wafaq NU yang kita cintai....
"Walloohul Muwaffiq Ila Aqwamitthoriiq" Bahwa dalam Aqwamitthoriiq, harus ada Muwaffiq dan Ila.
Jangan tertawa karena ini. Angkasa sedang menebar rindu dan aku mengangkasa, melangit, merindumu. Selamat ulang tahun ‘Yayappuuuku’
Tapi nampaknya romantisme di kalangan para kiai NU bukan hal baru. KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur juga tercatat sebagai sosok yang romantis pada istrinya, Nyai Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid.
Beberapa keterangan menyebutkan bahwa romantisme Gus Dur terlihat saat kerap mengirmkan surat, buku hingga bunga demi mendapat perhatian istrinya. Dalam pengakuan Nyai Sinta Nuriyah di sebuah acara stasiun TV swasta, “Gus Dur suka mengirim surat dari Irak. Yang duluan suka Gus Dur, bukan saya,” kata Nyai Sinta yang disambut tawa penonton kala itu.
Dalam sebuah kesempatan, Nyai Sinta menceritakan, saat anaknya yang masih bayi bangun di malam hari, Gus Dur-lah yang bangun lebih dulu untuk menggantikan popok anaknya, sebelum dikembalikan pada istrinya, untuk disusui.
Saat ditelusuri lebih jauh, romatisme dalam kalangan kiai dan ulama NU rupanya bersumber dari Nabi Muhammad SAW. Dalam beberapa hadist tampak bahwa Nabi Muhammad SAW tidak hanya sosok yang tegas, bijaksana, dan bersifat terpuji lainnya, namun juga merupakan sosok yang romantis pada istrinya.
Dalam beberapa hadist disebutkan bahwa Sang Nabi kerap memuji istrinya, makan sepiring berdua dan mecium istrinya untuk mengungkapkan rasa cintanya. Mislanya Musnad Ishaq Ibn Rahaweh, Aisyah pernah mengungkapkan bahwa Rasulullah mencium istri-istrinya untuk mengungkapkan rasa cintanya.
Dalam hadist lain, Aisyah mengatakan bahwa; “Saya minum air pada sebuah gelas dalam kondisi haid, kemudian saya menyerahkannya kepada Nabi SAW. Tiba-tiba Nabi SAW menaruh bibirnya persis di bekas tempat saya minum. Saat saya makan sepotong daging, kemudian saya serahkan sisanya kepada Nabi SAW, Beliau juga menaruh bibirnya persis di bekas gigitan saya,” (HR Ibnu Hibban).
Dari keterangan-keterangan di atas kita dapat melihat dengan begitu jelas bagaimana romantisme terbangun di kalangan ulama dan Nabi Muhamad SAW.
Dalam sebuah kesempatan kecil, penulis pernah bertanya kepada Kiai Muwafiq apa manfaat dibalik ungkapan romantis pada istrinya. Ia menjawab “Agar kita semakin cinta pada pasangan, dan agar agama tak melulu diyakini sebagai alat politik. Banyak dimensi dalam agama yang tertutupi, termasuk urusan romantis pada pasangan,”.
Penulis adalah seorang redaktur NU Online