Opini

Era Disrupsi, Peran Kiai Tak Terganti

Jumat, 4 Januari 2019 | 22:00 WIB

Era Disrupsi, Peran Kiai Tak Terganti

Mustasyar PBNU KH Maimoen Zubair mengajar ngaji

Oleh Hasan Labiqul Aqil
 
Pada zaman milenial ini kita tengah menghadapi sebuah era yang dinamakan era disrupsi. Lalu apa yang disebut disrupsi? Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, disrupsi didefinisikan sebagai suatu hal yang tercabut dari akarnya. Jika diartikan dalam kehidupan sehari-hari, disrupsi bisa dimaknai dengan terjadinya perubahan yang fundamental atau mendasar dimana perubahan ini mengacak pola tatanan lama dan menciptakan pola tatanan baru.

Salah satu hal yang membuat tatanan lama berubah adalah evolusi teknologi yang selanjutnya melahirkan proses yang dinamakan digitalisasi. Digitalisasi menyebabkan manusia di era disrupsi ini tidak bisa meninggalkan teknologinya dalam waktu sebentar saja. Kita sebagai manusia sudah memiliki rasa ketergantungan akan produk dari digitalisasi ini, salah satunya adalah gawai pintar.

Disrupsi juga menginisiasi munculnya sistem dengan model baru yang lebih inovatif dan disruptif di berbagai bidang. Cakupannya lebih masif dan luas ke seluruh lapisan masyarakat, mulai dari dunia transportasi, bisnis, perbankan, pendidikan, dan beberapa bidang lainnya. Hal ini menjadikan kita mau tidak mau harus mengikuti perkembangan zaman. Di zaman yang serba simpel, kita dituntut untuk merubah gaya hidup menjadi lebih modern. Kita harus memilih berubah atau tergantikan karena era disrupsi ini membuat persaingan dunia kerja tidak lagi linier.

Dalam waktu dekat digitalisasi pada sistem pendidikan juga harus kita sambut, karena digitalisasi pada sistem transportasi dan bisnis sudah bisa kita rasakan. Di bidang transportasi, misalnya. Kita dipertemukan dengan alat penyedia layanan transportasi daring, seperti Gojek dan Uber. Dua aplikasi daring ini menyediakan pelayanan yang lebih simpel, cepat, dan murah. Berbeda dengan alat transportasi konvensional yang sudah mulai ditinggalkan.

Lalu bagaimana model digitalisasi pada sistem pendidikan? Apakah bisa?

Digitalisasi pada sistem pendidikan lambat laun semakin nyata terlihat dan dapat dirasakan. Dunia perkuliahan saat ini saja sudah banyak yang memanfaatkan produk digitalisasi seperti sistem online dalam registrasi, administrasi, hingga presensi. Sewaktu Madrasah Aliyah pada tahun 2010 dulu, saya sendiri sudah bisa merasakan adanya digitalisasi pendidikan, yaitu ketika guru menyampaikan materi dengan bantuan LCD proyektor.

Di era disrupsi ini mungkin sulit untuk guru bersaing dengan teknologi dalam hal melaksanakan pekerjaan hafalan, hitungan, hingga pencarian sumber informasi. Mesin atau teknologi jelas jauh lebih cerdas, berpengetahuan, dan efektif dibandingkan kita. Karena mesin tidak pernah lelah melaksanakan tugasnya.

Namun ini bukan tentang mengganti kelas tatap muka konvensional menjadi pembelajaran daring. Lebih dari itu, fungsi guru yang paling fundamental adalah mengajarkan nilai-nilai etika, budaya, kebijaksanaan, pengalaman, hingga empati sosial. Tugas tersebut tidak mungkin dapat diajarkan oleh mesin. Jika fungsi pendidik digeser oleh peran mesin yang kering dengan pendidikan karakter, lalu bagaimana wajah masa depan pendidikan kita?

Satu hal yang masih bisa diharapkan yakni pendidikan di lingkungan pesantren. Dengan lingkungan agamisnya, beberapa komponen masih bisa lestari. Hingga saat ini secara umum ada tiga elemen yang menjadi peradaban di lingkungan pesantren yaitu kiai, asatidz, dan santri.

Di lingkungan pesantren, kiai memiliki peranan yang sangat sentral. Tidak ada pesantren tanpa kiai karena ia sebagai pengasuh yang wajib ada. Kedua, yaitu asatidz. Mereka adalah pengajar yang dikoordinatori kiai. Mereka mengajar para santri secara langsung dan intensif. Dalam satu pesantren, jumlah asatidz biasanya relatif banyak. Bergantung pada jumlah santri di pesantren tersebut. Beberapa pesantren, biasanya juga mempunyai pengurus pondok dan lurah. Mereka adalah santri yang sudah cukup lama menetap di pesantren dan memiliki ilmu yang cukup meyakinkan, hingga pantas mengajari adik-adiknya.

Ketiga, adalah santri. Santri adalah mereka yang menimba ilmu di pesantren. Mereka belajar selama dua puluh empat jam. Setiap waktu, bagi mereka adalah ilmu. Waktu belajar mereka pun tidak hanya full day, bahkan full year karena santri biasanya hanya boleh pulang ke rumah mereka masing-masing, menjelang lebaran.

Sistem belajar di pesantren inilah yang belum bisa diubah tatanannya dan masih utuh berdiri kokoh di era disrupsi ini. Meski ada banyak sekolah atau kampus yang menjadikan pembelajaran tidak harus tatap muka dan tidak berada pada satu ruangan nyata lagi, di pondok pesantren tidak bisa diubah layaknya hal tersebut. Sistem pendidikan antara guru dan santri di pondok pesantren akan tetap seperti dulu karena sanad keilmuan di pesantren, jelas sampai ke Rasulullah. Maka pembelajaran antara santri dan guru tidak bisa tidak harus dengan pertemuan secara langsung karena ilmu yang disampaikan adalah ilmu yang suci.

Seperti halnya sistem di pesantren yang tidak bisa digantikan oleh digitalisasi di era disrupsi, peran seorang kiai dan ustadz juga demikian. Kiai sebagai guru di pondok pesantren merupakan tauladan bagi seluruh santrinya. Posisi tersebut secara langsung atau tidak langsung telah menumbuhkan kebiasaan pada santri untuk selalu berakhlak mulia, beradab, dan berperilaku baik. Teknologi apapun tidak bisa memberi contoh kepada manusia akan hal ini.

Keberkahan dari Allah SWT kepada orang-orang yang mencari ilmu didapatkan melalui belajar dengan kiai karena kiai adalah orang yang mulia di tengah-tengah kita yang ingin ngalap barokah. Oleh sebab itu kita hanya bisa mendapatkan keberkahan itu jika kita berguru kepada kiai secara langsung tanpa perantara, apalagi perantara teknologi mesin yang dibuat oleh manusia. Mengingat kesucian ilmu yang dimiliki para wali bersanad langsung kepada Rasulullah SAW.


Penulis adalah Ketua Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Rayon Pancasila Universitas Negeri Semarang (Unnes)