Tak terasa perjalanan waktu telah membawa bangsa kita jauh melampaui zaman. Detik-detik jarum jam turut menjadi saksi bagi bangsa ini berdiri di atas puing kebangkitan nasional hingga satu abad lamanya. Semenjak 20 Mei 1908, kaki-kaki nasionalisme mulai terbangun di Bumi Pertiwi. Perjuangan kemerdekaan yang semula hanya bersifat kedaerahan, sejak era kebangkitan nasional berubah menjadi semangat persatuan. Sungguh sebuah era aufklarung bangsa Indonesia telah dimulai saat itu. Era yang memberikan kesadaran setiap manusia Indonesia untuk menjalin persatuan-kesatuan di dalam perjuangan demi merebut kemerdekaan.
Pascakemerdekaan bangsa, semangat persatuan dan kesatuan masih tetap terjaga dan kokoh. Bangsa Indonesia yang terdiri dari beribu pulau, beragam suku, bahasa, budaya, ras, serta warna kulit, masih tetap harmoni di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Meski tak dapat dipungkiri berbagai hambatan seperti upaya pemisahan diri dari wilayah Indonesia itu terjadi, tetapi sampai detik ini negara kita masih berdiri di atas puing negara kesatuan. Itu artinya semangat persatuan dan kesatuan masih tetap menjadi prinsip bangsa Indonesia. Semua itu tak bisa lepas dari era Kebangkitan Nasional pada 1908.<>
Kini, telah satu abad kita memperingati era kebangkitan nasional. Apakah perasaan persatuan dan kesatuan di dalam diri kita masih kokoh sebagaimana kokohnya NKRI? Nampaknya inilah basis persoalan mendasar yang perlu kita pertanyakan. Mengapa? Karena, meski sampai detik ini bangsa kita masih utuh di dalam wadah NKRI, tetapi belum tentu hati kita masih utuh dengan adanya rasa persatuan dan kesatuan. Kita lihat saat ini budaya individualisme, egoisme, pragmatisme, serta hedonisme, telah menciptakan manusia-manusia yang hanya mementingkan diri sendiri dan acuh dengan orang lain. Orang lain adalah pihak yang tak perlu ditolong, tak perlu diperhatikan, bahkan orang lain adalah musuh.
Sampai di sini, jelas-jelas bahwa budaya individualisme dan variannya sangat bertentangan dengan semangat persatuan dan kesatuan. Orang lain yang semestinya kawan malah menjadi musuh. Pihak yang semestinya bersatu malah diajak bertikai. Tidak ada lagi perasaan saling memiliki. Yang ada hanyalah persaingan, kebencian dan permusuhan. Ini jelas sangat berbanding terbalik dengan semangat persatuan. Kita semestinya bisa saling gotong-royong, saling menolong, membantu ketika susah, malah saling beradu kekuatan untuk menjatuhkan. Lalu, ke mana perginya persatuan dan kesatuan yang selama ini kita idam-idamkan?
Lebih parah lagi, bangsa kita saat ini semakin menggila dengan uang. Hampir di segala lini kehidupan tidak bisa dilepaskan dari pengaruh uang. Di dalam pendidikan, semakin banyak kita mengeluarkan uang semakin mudah kita diterima di suatu sekolah atau perguruan tinggi. Daftar polisi atau TNI, semakin besar uang masuknya semakin mudah diterima. Daftar pegawai negeri atau pejabat, yang banyak menyuap, maka ialah yang jadi. Tak hanya itu, korupsi juga dilakukan gara-gara gila uang. Tidak hanya di tingkat lembaga-lembaga desa yang gila uang, lembaga-lembaga pemerintah pusat juga banyak orang-orangnya yang gila uang. Tidak pula orang miskin, malah terkadang orang miskin mau nrima ing pandum, orang kaya yang sangat kaya juga masih gila uang.
Uang memang telah menjadi raja bagi bangsa ini. Sehingga, sedikit tepat jika bangsa ini disebut sebagai “Republik Uang”. Dengan uang segala persoalan akan selesai. Bagi yang tak punya uang, persoalannya tak selesai, begitu kira-kira perumpamaannya. Memang kenyataan telah demikian, dan kita sulit mengingkarinya. Mungkin seandainya kapitalisme tidak masuk ke Indonesia, bangsa ini tidak akan menjadi bangsa uang. Tetapi sejarah tak bisa diubah. Semenjak kapitalisme masuk Indonesia bersamaan dengan masuknya penjajah pada 1596, maka muncullah ego untuk menumpuk kekayaan material, salah satunya adalah uang.
Apalagi dengan berdirinya VOC pada 1602, bangsa Indonesia benar-benar telah jatuh ke tangan penjajah baik dari segi ekonomi maupun politik. Kehidupan bangsa Indonesia yang sejak semula ayem-tentrem, menjadi gusar gara-gara dikenalkan dengan materialisme. Sejak saat itu, pola pikir bangsa Indonesia dirombak total. Kebutuhan akan materialisme yang semula hanyalah kebutuhan penunjang kehidupan, menjadi kebutuhan terpenting. Bahkan, bangsa Indonesia mulai diajari untuk selalu tidak puas dengan materi yang ia punya sehingga berusaha terus dan terus mencari.
Maka, sampai sekarang, jadilah apa yang sekarang ini lazim terjadi. Penipuan, persaingan negatif, penjagalan, bahkan pembunuhan akan dilakukan demi mendapat materi. Terlebih-lebih jika materi itu bernama uang. Orang tak lagi peduli dengan orang lain. Ia hanya sibuk mencari uang. Kampanye politik yang dilancarkan ujung-ujungnya hanyalah uang. Buktinya, setelah menjadi pejabat masih melakukan korupsi, gaji minta terus dinaikkan, serta fasilitas diri harus dilengkapi. Padahal, terkadang tak terlalu dibutuhkan. Kemauan membantu orang lain mau dilakukan juga asalkan ada uang. Dan masih banyak hal yang semua berujung pada uang. Sungguh bangsa ini telah menjadi Republik Uang. Masih mending jika bangsa ini kaya. Toh, bangsa ini tetap miskin meski uang telah menjadi raja.
Kalau sudah demikian, siapa yang mau disalahkan? Persatuan dan kesatuan telah terkalahkan uang. Dan itulah kenyataannya. Tetapi, tentu saja kita tidak boleh pesimis. Ronggowarsito berpesan kepada kita bahwa seuntung-untungnya orang yang edan masih untung orang yang eling (sadar) dan waspada. Edan adalah penggambaran situasi banga kita saat ini. Karenanya, kita harus sadar alias introspeksi diri. Manakah hal yang benar-benar dibutuhkan bangsa harus benar-benar diupayakan. Kita juga harus waspada dengan situasi sekitar. Kebahagiaan kita akan materi hanyalah kebahagiaan semu. Sehingga kita juga perlu memikirkan kepentingan lain yang lebih berguna bagi bangsa dan negara dari pada selalu memikirkan uang.
Penulis adalah Staf pada Hasyim Asy’ari Institute
Terpopuler
1
Ketua PBNU Gus Ulil Resmikan Kampung Bakti NU Kalimanggis di Jatisampurna Bekasi
2
Resmi Dimulai, PBNU Luncurkan Digdaya Persuratan untuk Tingkat PCNU
3
Pola Pengasuhan ala Gus Dur-Nyai Sinta: Suami Istri Saling Menghargai, Orang Tua Hindari Memerintah Anak
4
Tadarus Al-Qur'an dan Sedekah, Amalan Orang Saleh di Bulan Syaban
5
Bagaimana Cara Membangun Keluarga Maslahat? Ini Fondasi, Pilar, dan Atapnya
6
Keluarga Maslahat ala KH Bisri Syansuri (2): Merintis Pesantren Putri Pertama di Indonesia Bersama Istri
Terkini
Lihat Semua