Opini

Lebaran, antara Ritual dan Tradisi

Ahad, 5 Oktober 2008 | 23:00 WIB

Oleh Muhibin A.M.

Momen Idul Fitri menjadi sebuah fenomena yang sangat unik bagi bangsa Indonesia. Dikatakan unik karena tradisi ini tidak dapat ditemukan di negara-negara lain. Karena memang dalam merayakan Idul Fitri ini, antara tardisi dan ritual berjalan berbarengan. Ia bergandengan menjadi satu kesatuan yang memiliki ciri khas tersendiri. Satu sisi, perayaan Idul Fitri atau yang lebih populer dikenal dengan Lebaran, sangat sarat dengan nilai-nilai ibadah yang sakral. Sedangkan pada sisi yang lain, merupakan sebuah kombinasi antara tradisi dan ritual yang dikemas sedemikian rupa sehingga menimbulkan kesan yang sangat dinamis dan religius.

Salah satu fenomena yang membuat perayaan Idul Fitri menjadi unik adalah pengembangan tradisi bersilaturrahim terhadap karib kerabat serta tetangga-tetangga, untuk saling memaafkan atas semua kesalahan sesama. Berbeda dengan di negara asalnya Islam dilahirkan, di sana tidak ada warna-warni tradisi dan ritual yang menjadikan Hari Raya Idul Fitri lebih hidup. Idul Fitri hanya dijalankan apa danya tanpa ada tradisi silaturrahim. Bahkan, selepas menjalankan salat Idul Fitri, kehidupan di sana berjalan seperti hari-hari biasa.<>

Di Indonesia, perayaan-perayaan hari-hari besar Islam selalu memiliki cara yang lebih hidup dan bernilai kebudayaan yang sangat dinamis dan bahkan Islamis, saat dikombinasikan dengan tradisi yang berkembang di masyarakat. Satu hal lagi karena masyarakat Indonesia memiliki kecenderungan untuk membiasakan atau mentradisikan hal-hal yang dianggapnya baik dan bermanfaat.

Dapat kita bayangkan, untuk menyambut Lebaran saja, ribuan orang yang berada di perantauan seolah memiliki kewajiban untuk pulang ke kampung halaman masing-masing, berkumpul bersama keluarga dan kerabatnya. Para mahasiswa dan pelajar atau para pekerja kantoran serta buruh yang berada di perantauan berbondong-bondong pulang ke kampung tempat kelahiran mereka. Inilah yang kemudian melahirkan tradisi baru yang lebih kita kenal dengan tradisi mudik Lebaran.

Bahkan, jika kita saksikan, tradisi ber-Lebaran itu seolah tidak akan pernah luntur saat dihadapkan dengan kehidupan yang serba modern. Justru kehidupan modern saat ini semakin menghidupkan tradisi yang telah mengakar luas di masyarakat. Bayangkan saja, untuk kehidupan kota Jakarta yang di Indonesia dianggap paling modern sekalipun, tradisi menyambut Lebaran di kampung halaman menjadi sesuatu yang justru memiliki nilai yang sangat vital bagi mereka, terutama yang berasal dari luar Jakarta. Untuk tahun ini saja, sekitar 2,5 juta penduduk Jakarta meninggalkan Jakarta untuk ikut serta mudik ke kampung halaman. Bahkan, tradisi mudik Lebaran selalu mengalami peningkatan yang tukup tinggi dari tahun ke tahun.

Menjadi tontonan yang sangat mengesankan memang, saat kita menyaksikan begitu antusaisnya masyarakat kita memelihara tradisi Lebaran ini. Masyarakat Indonesia memang benar-benar menjadikan Idul Fitri sebagai hari kemenangan. Hari kebahagiaan mewarnai seluruh pelosok Tanah Air, baik yang bertempat tinggal di kota maupun pelosok desa sekalipun. Tidak ada warna ketegangan maupun kekerasan selama hari Lebaran, bahkan yang sedang megalami duka sekali pun harus tenggelam dengan damainya Lebaran. Yang ada kemudian hanyalah tangisan air mata kebahagiaan, saling memaafkan saat bertemu dengan keluarga, terutama bagi keluarga yang telah lama ditinggal merantau.

Lalu, pertanyaan kita adalah bagaimana kita menanggapi tradisi besar yang telah mengakar di masyarakat? Apakah fenomena yang terjadi selama ini sangat bertentangan dengan nilai-nilai ke-Islam-an atau sebaliknya. Perlu kita tahu, bahwa tradisi besar seperti itu tidak dapat kita temukan di negeri asalnya.

Sehingga, terkadang membuat sebagian dari umat Islam Indonesia merasa sangsi untuk ikut serta dalam kegiatan rutinitas tahunan ini. Apalagi jika sudah ditulis papan nama bid’ah di depannya.

Untuk menanggapi persoalan seperti itu, kita tidak usah terlalu pusing memikirkannya. Islam mengajarkan dan bahkan mengajurkan untuk menyuburkan dan menyambung tali silaturrahim bagi para pemeluknya. Islam juga menganjurkan untuk membudayakan tradisi saling memaafkan atas sesama. Dan bahkan Islam juga menganjurkan untuk mengabarkan setiap kebaikan dan kemenangan. Bukankah Idul Fitri merupakan sebuah pertanda kemenangan umat Islam.

Jika kita telisik lebih dalam, tradisi-tradisi yang selalu berkembang sangat hidup di masyarakat ini pada dasarnya tidaklah memiliki nilai-nilai yang bertentangan dengan ajaran Islam. Idul Fitri yang disambung dengan tradisi sungkeman dalam bahasa Jawa memiliki relevansi yang sangat kuat dengan ajaran Islam.

Terutama tentang silaturrahmi yang telah diajarkan Nabi Muhammad, meskipun memang dalam praktiknya di negeri ini seperti terlalu berlebihan. Tetapi, hal itu justru yang membuat tradisi itu sarat makna daripada hari-hari lainnya. Memupuk kebersamaan dan menyambung tali silaturrahim yang dijadikan sebuah tradisi memang akan lebih memiliki kesan. Dan, itu sangat dianjurkan dalam ajaran Islam, apalagi dalam rangka memupuk ukhuwah Islamiyah.

Nabi pernah mengatakan “Laysa al-muwashil bil mukafi’ walakin al-muwashil ‘antashil man qatha’ak,” yang artinya: “bukanlah bersilaturrahim orang yang membalas kunjungan atau pemberian, tetapi yang bersilaturrahim adalah yang menyambung apa yang putus” (HR Bukhari).

Mengacu pada Hadist itu, secara nyata berarti bahwa tradisi Lebaran yang sudah begitu lama berlangsung di tengah masyarakat tidaklah bertentangan dengan nilai-nilai agama. Islam selalu menganjurkan kepada pengikutnya untuk selalu memupuk tali silaturrahim dengan sanak saudara dan kerabat dekat berserta orang-orang di sekitar kita.

Dalam sebuah Hadist lain yang diriwayatkan Imam Ahmad, dikatakan Nabi pernah bersabda, “apabila dua orang muslim bertemu lalu berjabat tangan, keduanya pasti akan diampuni dosanya sebelum keduanya bepisah”. Begitu pentingnya menjaga tali silaturrahim, sehigga Allah menjanjikan pahala dan terhapusnya dosa antara kedua belah pihak sebelum keduanya berpisah meninggalkan tempat pertemuannya.

Pentingya menjaga tali silaturrahim atau dalam bahasa kita sebagai tradisi sungkeman, dalam kehidupan bernegara sekarang ini sangatlah penting mengingat kompleksitas kehidupan saat sekarang ini yang terkadang membuat kita jauh dari tuntunan ajaran agama untuk mempertahankan nilai-nilai persatuan umat dalam membangun negara yang berperadaban tinggi, baik peradaban moral maupun ilmu pengetahuan dan teknologi.

Penulis adalah Peneliti pada Hasyim Asy'ari Institute Yogyakarta