Opini

Pendidikan Inklusi dan Keadilan Tuhan

Rabu, 16 Agustus 2023 | 18:06 WIB

Pendidikan Inklusi dan Keadilan Tuhan

Pendidikan inklusi sejatinya bukan semata amanat konstitusi dan undang-undang, tetapi implementasi nilai-nilai pada setiap agama yang sangat mendasar. (Ilustrasi: NU Online)

Dulu, saat melihat anak dengan disabilitas saya sering berpikir tentang keadilan Tuhan. Kenapa Tuhan menciptakan mereka dengan segala kekurangannya? Bukankah mereka dilahirkan di muka bumi ini tidak pernah meminta? Kalau lah mereka tetap dilahirkan, kenapa tidak diciptakan dalam keadaan sempurna, baik fisik maupun nonfisik? 
 

Lalu salah mereka apa? Bukankah manusia dituntut menghamba kepada Tuhan? Bagaimana bisa optimal menghamba kepada-Nya dan melakukan kebaikan-kebaikan laiknya manusia normal, sementara mereka begitu lahir sudah memiliki keterbatasan atau kekurangan? Ibarat hidup adalah perlombaan lari maraton, tetapi tidak semua peserta memulai dari garis start yang sama.

 

Relung batin saya sempat berontak. Saya "protes" kepada Tuhan tentang kemahaadilan-Nya atas penciptaan makhluk bernama manusia penyandang disabilitas. Namun sikap "lancang" saya kepada Tuhan itu, alhamdulillah, tidak lama. Setelah saya mendalami asketisme (sufisme) yang "melihat" Tuhan dalam kacamata cinta (hubb), saya akhirnya memiliki cara pandang yang berbeda. Saya tidak lagi menggebu-gebu dengan mengandalkan sorot "rasio" yang amat sangat terbatas itu.

 

Dalam perenungan mendalam, untuk memaknai keadilan Tuhan tidak cukup bermodal bangunan logika semata. Tuhan yang mahabijaksana dan mahalembut tidak bisa ditemukan dalam dimensi formil yang sering mengacaukan iman yang dibangun dari hati yang bercahaya. Logika manusia dalam urusan "ghaib"  justru sering menjerumuskan dari jalan hakikat (spiritual).

 

Kita semua tahu, sekian banyak saintis dunia yang pada akhirnya menjadi ateis karena "tidak menemukan" Tuhan dalam teori-teorinya. Kacamata positivisme yang mengandalkan pendekatan empirik menjadikan mereka terperangkap dalam jebakan rasio yang mengingkari adanya hakikat "Yang Nyata". Demikian juga para filosof banyak yang menyimpulkan bahwa Tuhan "tidak ditemukan" dalam hukum kausalitas yang dibangun berdasarkan rumusan logika, sehingga pada titik inilah  Tuhan dianggap tidak ada. Artinya, jangankan berfikir tentang keadilan Tuhan, "wong" eksistensi Tuhan saja mereka tidak percaya, setidaknya meragukan-Nya.

 

Kembali kepada tema utama bahwa untuk memaknai keadilan-Nya, khususnya terhadap anak dengan disabilitas harus dibaca melalui "dzauq" (rasa spiritual terdalam). Dzauq menurut Imam al-Ghazali adalah kehadiran hati (hudhur al-qalb) ketika seseorang sedang berdzikir kepada Allah secara kontinyu (terus-menerus) sehingga menghasilkan cita rasa paling dalam di tengah kesadaran tertinggi dan pengalaman puncak (peak experiences).

 

Melalui jalan "dzauq", pertanyaan-pertanyaan "nakal" di atas seharusnya tidak muncul. Pada puncak kesadaran tertinggi, otomatis akan menemukan makna bahwa Tuhan tidak mungkin menciptakan sesuatu (apa pun) di alam raya ini dengan sia-sia (QS Ali Imran: 191). Orang dengan disabilitas yang masih dianugerahi unsur fisik dan nonfisik meski kurang sempurna tetap masih lebih mulia dibandingkan dengan makhluk lain (QS At-Tiin: 4).

 

Ragam bentuk makhluk Tuhan selalu menyimpan makna terdalam. Tuhan menciptakan manusia, meski dengan segala keterbatasannya memiliki tujuan. Apa tujuannya? Setidaknya sebagai cara Tuhan menguji manusia sejauh mana tingkat ketakwaan kepada-Nya (QS al-Mulk: 1). Ujian bagi orang dengan disabilitas adalah sejauh mana mereka bisa menerima "takdirnya" sehingga mereka menjadi orang-orang yang bersyukur. Tentu, Tuhan tidak sedang "bercanda", tetapi sedang menguji untuk hamba-hamba-Nya. Bukankah ujian buat manusia telah ditakar oleh Tuhan sesuai kemampuannya (QS al-Baqarah: 286).

 

Bagaimana dengan kita yang bukan tergolong disabilitas? Sangat terang-benderang bahwa adanya orang dengan disabilitas adalah nyata-nyata ujian bagi mereka yang "normal" agar peduli kepada mereka.  Manusia yang terlahir sebagai makhluk paling "sempurna" dengan struktur jiwa yang lengkap, tanpa kekurangan fisik dan nonfisik benar-benar diuji apakah mereka memiliki kepedulian (caring) kepada kalangan disabilitas atau tidak? Kepedulian kepada mereka merupakan wujud dari rasa syukur kepada Tuhan. Dimensi kesyukuran akan dimulai saat disandingkan dengan mereka yang memiliki kekurangan, sejauh mana antar manusia dapat saling memuliakan.

 

Salah satu bentuk dari rasa syukur itu adalah kepedulian kita menyediakan atau mendukung pendidikan inklusi bagi disabilitas. Tugas kita sebagai manusia yang diberi "kelebihan" dibanding mereka adalah care (peduli) melalui upaya memfasilitasi pendidikan yang ramah bagi mereka. Pendidikan yang dikonsep, dibentuk, dan difasilitasi khusus dengan paradigma inklusif bahwa pendidikan merupakan hak setiap orang, apa pun kondisi dan latar belakangnya.

 

Implementasi pendidikan inklusi sesungguhnya memiliki makna yang lebih luas. Bukan saja diperuntukkan bagi mereka dengan disabilitas, tetapi pendidikan yang mencakup keseluruhan kebutuhan masyarakat dengan berbagai latar belakang. Sebagai contoh adalah pendidikan yang menyediakan fasilitas bagi masyarakat yang tinggal di pelosok negeri, di pulau-pulau terpencil, dari kalangan dhuafa, dan semua kondisi serta latar belakang.

 

Pendidikan inklusi sejatinya bukan semata amanat konstitusi dan undang-undang, tetapi implementasi nilai-nilai pada setiap agama yang sangat mendasar. Pendidikan inklusi mengajarkan secara tidak langsung  tentang semangat keadilan (keberimbangan) dan tolong-menolong atau ta'awun (QS al-Maidah: 2). Tolong-menolong kepada sesama dalam kebajikan. Berbuat baik kepada siapa pun yang berdasarkan pada spirit moderasi, tidak dibatasi oleh ikatan iman, melainkan spirit kemanusiaan.

 

Karena itu, para pimpinan setiap lembaga pendidikan, apalagi lembaga pendidikan Islam seperti madrasah dan pesantren, terlebih perguruan tinggi keagamaan Islam (PTKI) harus benar-benar menjadi pioneer implementasi pendidikan inklusi. Mereka harus memiliki paradigma, komitmen, dan kebijakan konkret untuk mengimplementasikan education for all (pendidikan untuk semua). Pendidikan inklusi adalah inti sari dari implementasi beragama dan buah dari pendidikan jiwa itu sendiri.

 

Selama ini memang telah tumbuh kesadaran sebagian pihak dengan adanya penyediaan sarana prasarana pendidikan yang ramah terhadap anak didik dengan disabilitas. Namun yang perlu didorong segera adalah pembentukan Unit Layanan Disabilitas (ULD) di setiap lembaga pendidikan, inovasi kurikulum dan desain pembelajaran, pembiasaan sikap, perilaku, dan budaya sehari-hari yang ramah terhadap kalangan disabilitas.

 

Sudahkah Anda peduli kepada pendidikan inklusi? Jika belum, kapan lagi?

 

Thobib Al Asyhar, Dosen Program Kajian Wilayah Timteng dan Islam Universitas Indonesia, Alumni Pesantren, Kasubdit Kelembagaan dan Kerjasama DIKTIS, Kemenag RI.