Pesantren yang Dilecehkan, Etika Media yang Diabaikan
NU Online · Selasa, 21 Oktober 2025 | 20:38 WIB
Wibowo Prasetyo
Kolomnis
Beberapa hari terakhir, publik disuguhi pemandangan yang menyesakkan hati. Dalam program Xpose Uncensored yang tayang di Trans7 pada Sabtu, 12 Oktober 2025, muncul narasi yang melecehkan pondok pesantren dan para santri. Tayangan itu bahkan menyinggung KH Anwar Manshur, pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo, sosok kiai sepuh yang sangat dihormati di lingkungan Nahdlatul Ulama (NU).
Program tersebut dikemas dengan gaya satire dan hiburan. Efeknya sangat melukai perasaan umat Islam, terutama kalangan pesantren. Ia merendahkan lembaga pendidikan Islam tertua di negeri ini—lembaga yang telah berkontribusi besar bagi lahir dan tegaknya republik ini—serta menodai nilai-nilai kebangsaan yang dijaga para kiai dan santri selama berabad-abad.
Protes keras pun bermunculan. Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH. Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) menilai tayangan itu “sangat tidak pantas dan telah melukai kehormatan pesantren sebagai lembaga keagamaan yang selama ini menjaga keseimbangan spiritual bangsa.”
Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui pernyataan Ketua Komisi Informasi dan Komunikasi, KH Ahmad Natsir Zubaidi, juga mengecam keras tindakan tersebut dan meminta Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) memberikan sanksi tegas kepada Trans7. Seruan serupa datang dari Pagar Nusa, LTN NU, dan ribuan santri yang menyuarakan protes aksi unjuk rasa dan di media sosial di bawah tagar #BelaPesantren #JagaKiai.
Kemarahan publik itu bukan tanpa dasar. Pondok pesantren bukan sekadar lembaga keagamaan. Ia adalah institusi pendidikan dan kebudayaan otentik yang lahir dari rahim Nusantara. Pesantren telah ada jauh sebelum sekolah kolonial berdiri, menjadi tempat di mana ilmu, etika, dan cinta Tanah Air berpadu dalam satu tarikan napas. Di sinilah Islam tumbuh dalam wujud yang lembut, membumi, dan rahmatan lil ‘alamin.
Maka ketika Trans7 menggambarkan pesantren dengan cara sinis dan merendahkan, itu bukan sekadar kesalahan redaksional—melainkan pengkhianatan terhadap sejarah dan nurani bangsa.
Dengan latar historis seperti itu, pesantren sejatinya adalah institusi publik dalam arti sesungguhnya: milik umat, milik bangsa. Menghina pesantren berarti menghina salah satu fondasi sosial Indonesia. Ironisnya, media yang seharusnya menjadi penjaga ruang publik justru memproduksi narasi yang mencederainya.
Krisis Etika Media
Kasus ini bukan hanya soal satu tayangan, melainkan gejala yang lebih dalam: krisis etika jurnalisme di Indonesia. Media hari ini terlalu sering mengejar sensasi, memancing kegaduhan, dan mengorbankan akurasi demi rating. Tayangan Trans7 menunjukkan betapa prinsip dasar tanggung jawab sosial jurnalisme—sebagaimana dikemukakan Theodore Peterson dalam Four Theories of the Press—telah diabaikan. Dalam teori itu, media memiliki kewajiban moral untuk tidak sekadar menyebarkan informasi, tetapi memastikan bahwa informasi tersebut berkontribusi bagi kebaikan bersama.
Pandangan senada juga ditegaskan Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam The Elements of Journalism. Mereka menulis bahwa “tujuan utama jurnalisme adalah menyediakan informasi yang dibutuhkan warga agar dapat hidup bebas dan mengatur diri mereka sendiri.” Artinya, jurnalisme bukan sekadar hiburan atau komoditas pasar, melainkan tanggung jawab sosial yang lahir dari kebutuhan publik akan kebenaran dan keadilan.
Namun, tayangan Trans7 justru memperlihatkan bentuk journalism of assertion—media menegaskan sesuatu tanpa dasar kuat, menampilkan opini tanpa riset, dan menciptakan narasi tanpa empati.
Padahal, tugas pertama jurnalisme adalah setia pada kebenaran, dan loyalitas utamanya adalah kepada masyarakat, bukan kepada pemilik modal. Bila kebenaran digantikan oleh sensasi dan warga digantikan oleh algoritma, maka jurnalisme telah kehilangan jiwanya.
Melanggar Etika dan Pedoman Penyiaran
Indonesia sebenarnya telah memiliki rambu-rambu yang jelas. Kode Etik Jurnalistik (KEJ) Dewan Pers 2008 menegaskan bahwa wartawan wajib “menghormati pengalaman spiritual dan keyakinan masyarakat,” serta menghindari prasangka atas dasar suku, agama, ras, dan antargolongan. Pasal 8 juga menegaskan larangan menyiarkan berita yang bersifat fitnah, sadis, atau cabul.
Tayangan Trans7 yang menyudutkan pesantren jelas bertentangan dengan semangat etika ini. Ia menimbulkan prasangka terhadap lembaga keagamaan, memperkuat stigma sosial, dan melecehkan nilai spiritual yang dihormati masyarakat.
Lebih jauh, Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Standar Program Siaran (SPS) yang diterbitkan KPI secara tegas melarang penyiaran yang menyinggung agama atau merendahkan martabat manusia.
Pasal 9 P3 menyebutkan lembaga penyiaran wajib “menghormati perbedaan agama, suku, ras, dan antargolongan.” Pasal 11 menegaskan larangan menampilkan isi siaran yang merendahkan kelompok masyarakat tertentu. Dalam SPS Pasal 13 ayat (1) ditegaskan pula bahwa isi siaran wajib “menghormati nilai-nilai agama dan tidak merendahkan harkat kemanusiaan.”
Dengan demikian, tayangan yang melecehkan Pondok Pesantren Lirboyo dan Kiai Anwar Manshur bukan sekadar kesalahan editorial, melainkan pelanggaran berat terhadap etika dan hukum penyiaran. Dalam konteks ini, KPI perlu bertindak tegas agar kepercayaan publik terhadap media tidak terus tergerus.
Namun lebih dari sekadar sanksi formal, yang dibutuhkan adalah kesadaran moral bahwa media, ketika menyiarkan sesuatu, sedang berbicara kepada bangsa. Dan bangsa ini dibangun di atas nilai-nilai luhur: agama, perbedaan, dan kemanusiaan.
Menegakkan Martabat Jurnalisme, Menghormati Warisan Pesantren
Dalam kasus ini, Trans7 tidak hanya kehilangan akurasi, tetapi juga kehilangan empati. Dan jurnalisme tanpa empati, seperti dikatakan Kovach, hanyalah propaganda berwajah media. Di tengah masyarakat yang plural seperti Indonesia, media punya tanggung jawab ganda: bukan hanya menyampaikan fakta, tetapi juga menumbuhkan pengertian.
Pondok pesantren bukan institusi asing. Ia bagian dari denyut kehidupan bangsa, bagian dari sejarah perjuangan, bagian dari DNA kebangsaan kita. Dari pesantren lahir para pejuang kemerdekaan, guru bangsa, dan generasi yang menjaga moral masyarakat hingga kini.
Resolusi Jihad 22 Oktober 1945 yang digagas Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari menjadi bukti sejarah bahwa kiai dan santri bukan penonton kemerdekaan, tetapi pelakunya. Karena jasa besar itu, negara kemudian menetapkan Hari Santri melalui Keputusan Presiden No. 22 Tahun 2015.
Maka, ketika pesantren dilecehkan, yang terluka bukan hanya umat Islam, tetapi juga identitas nasional kita. Menghormati pesantren berarti menghormati sejarah bangsa sendiri.
Kita tentu mengapresiasi langkah permintaan maaf resmi Trans7 yang disampaikan melalui siaran pers pada 16 Oktober 2025. Namun, permintaan maaf saja tidak cukup.
Media perlu menegakkan kembali prinsip dasar profesinya: melakukan klarifikasi publik, membuka audit internal, dan memperkuat pendidikan etika dalam tubuh redaksi. Setiap kesalahan media harus menjadi pelajaran kolektif agar jurnalisme tetap menjadi sumber pengetahuan, bukan sumber luka.
Sebagai publik, kita pun memiliki tanggung jawab untuk mengawal. Publik adalah penjaga terakhir dari etika media. Ketika kita menuntut media bertanggung jawab, kita sedang menjaga martabat profesi itu sendiri. Karena tanpa kepercayaan publik, media kehilangan maknanya.
Dan yang terpenting, kita harus terus mengingat bahwa pondok pesantren bukan sekadar lembaga pendidikan agama. Ia adalah rumah kebudayaan, laboratorium kebajikan, dan benteng moral bangsa. Dari pesantren lahir cinta, dari pesantren tumbuh ilmu, dan dari pesantren mengalir doa-doa yang menjaga negeri ini dari kegelapan.
Maka, menghormati pesantren adalah bagian dari menghormati Indonesia. Dan menghormati Indonesia, bagi media, berarti menyiarkan kebenaran dengan tanggung jawab. Sebab ketika pesantren dilecehkan, yang runtuh bukan hanya kehormatan umat, tetapi juga nurani jurnalisme itu sendiri.
Wibowo Prasetyo, Wakil Pemimpin Umum NU Online, Wakil Ketua LTN PBNU
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Kerusakan Alam dan Lalainya Pemangku Kebijakan
2
Khutbah Jumat: Mari Tumbuhkan Empati terhadap Korban Bencana
3
Pesantren Tebuireng Undang Mustasyar, Syuriyah, dan Tanfidziyah PBNU untuk Bersilaturahmi
4
20 Lembaga dan Banom PBNU Nyatakan Sikap terkait Persoalan di PBNU
5
Gus Yahya Persilakan Tempuh Jalur Hukum terkait Dugaan TPPU
6
Khutbah Jumat: Mencegah Krisis Iklim dengan Langkah Sederhana
Terkini
Lihat Semua