Opini

Semangat Kebangsaan dalam Al-Wala wal Bara

Jumat, 25 Oktober 2019 | 16:59 WIB

Semangat Kebangsaan dalam Al-Wala wal Bara

Ilustrasi persaudaraan.

Oleh Alhafiz Kurniawan
 
Al-wala wal bara sering kali dipahami dengan melewati batas sebagai perintah agama untuk bersikap eksklusif (menutup diri) dan intoleran terhadap kelompok lain yang berbeda dengan kelompoknya. Pemahaman yang melewati batas ini biasanya didukung oleh dalil Al-Qur’an dalam Surat Al-Mujadalah ayat 22, Surat Ali Imran ayat 118, Al-Maidah ayat 51 dan 57, At-Taubah ayat 23-24, dan Al-Mumtahanah ayat 4. Padahal dalil itu dapat diamalkan dalam situasi darurat perang berbasis agama atau situasi darurat tertentu.

Adapun dalam situasi normal dan kompleks seperti saat ini, al-wala wal bara tidak dapat dipahami dengan melewati batas dengan sikap eksklusif dan intoleran sebagaimana demikian. Tetapi al-wala wal bara juga tidak boleh dipahami dalam bentuk liberalisme dan sekularisme. Al-wala wal bara harus dimaknai secara moderat dan proporsional sebagaimana pemaknaan yang dilakukan oleh kalangan Ahlussunnah wal Jamaah.

Abdul Fattah bin Shalih Qiddisy Al-Yafi‘i dari Yaman (1974 M-) dalam karyanya, Tashihu Mafahim fil Wala wal Bara (Al-Yafi, 1435 H), membantah pemaknaan ekstrem baik eksklusif-intoleran maupun liberalisme-sekuler.

Pada pembukaan bukunya, Fattah Al-Yafi‘i mengatakan bahwa al-wala wal bara tali terkuat keimanan sebagaimana hadits riwayat At-Thabarani dari Sahabat Ibnu Abbas. Kekeliruan pemahaman dan tindakan serampangan ugal-ugalan terjadi karena al-wala wal bara dipahami dan diamalkan secara ekstrem baik kanan (ifrath) maupun liberal-sekuler (tafrith).

Pada satu sisi, ada pihak yang mencair dalam soal agama dan menyia-nyiakan al-wala wal bara atas nama toleransi dan moderatisme (al-wasathiyah). Tetapi pada sisi lainnya, ada orang yang mengamalkannya secara keras sehingga menjauhkan orang dari Islam dan terjebak di dalam tindakan melampaui batas, bahkan menumpahkan darah anak manusia atas nama al-wala wal bara.

Pandangan dan gerakan kedua pihak yang ekstrem ini baik kalangan kanan maupun kelompok liberal-sekuler menyalahi petunjuk Qur’ani dan manhaj (jalan hidup) nabawi perihal hakikat al-wala wal bara karena mengambil sebagian dalil ayat Al-Quran dan hadits nabi yang belum sepenuhnya dimengerti, belum dipahami konteks ayat dan hadits tersebut, atau semua dalil itu dipandang secara parsial, bukan secara utuh. Sebab-sebab ini membuat mereka terjebak dalam tindakan ekstrem baik kanan (ifrath) maupun liberal-sekuler (tafrith), tetapi merasa telah melakukan kebaikan. (Fattah, 1435 H: 3).

Fattah membagi al-wala wal bara menjadi dua. Pertama, al-wala wal bara terhadap sesama Muslim. Kedua, al-wala wal bara terhadap non-Muslim. Di akhir karyanya, Fattah mengatakan bahwa kita harus berupaya keras untuk menyampaikan risalah agama kepada mereka dengan caranya yang benar baik secara ucapan maupun tindakan. Tetapi yang cukup disayangkan, kebanyakan dari kita umat Islam membuat mereka menjauh karena pemikiran keras (al-afkar al-mutasyaddidah) dan perilaku ekstrem (at-tasharruf al-mutatharrifah). (Fattah, 1435 H: 98).

Fattah kemudian menyebutkan dalil yang membimbing seseorang untuk bersikap proporsional dan moderat dalam memahami konsep al-wala wal bara sebagai pembanding atas dalil sebelumnya (Surat Al-Mujadalah ayat 22, Surat Ali Imran ayat 118, Al-Maidah ayat 51 dan 57, At-Taubah ayat 23-24, dan Al-Mumtahanah ayat 4).

Berikut ini adalah dalil yang disebutkan Fattah untuk menolak pemahaman esklusif atas al-wala wal bara, yaitu Surat Thaha ayat 43 dan ayat 44, Al-Anbiya ayat 107, An-Nahl ayat 125, Ali Imran ayat 159, Al-Hujurat ayat 13, Al-A‘raf ayat 85, dan sejumlah hadits shahih.

Fattah dalam karyanya mengutip hadits riwayat Imam Muslim yang mengisahkan sisi kemanusiaan Rasulullah terhadap non-Muslim termasuk penganut Yahudi sekali pun. 

مسلم : حدثنا أبو بكر بن أبي شيبة ، ثنا غندر ، عن شعبة . وثنا محمد بن مثنى وابن بشار قالا : ثنا محمد بن جعفر ، ثنا شعبة ، عن عمرو بن مرة ، عن ابن أبي ليلى ' أن قيس بن سعد ، وسهل بن حنيف كانا بالقادسية فمرت بهما جنازة ، فقاما فقيل لهما : إنها من أهل الأرض . فقالا : إن رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم مرت به جنازة ، فقام فقيل : إنه يهودي . [ فقال ] : أليست نفسا ' .

Artinya, “Dari Abu Layla, bahwa ketika Qays bin Sa’ad dan Sahal bin Hunaif berada di Qadisiyah, satu jenazah digotong melewati keduanya, lalu keduanya berdiri untuk menghormatinya. Keduanya ditegur oleh yang lain, ‘Jenazah itu hanya penduduk bumi (non-Muslim)!’ keduanya menjawab, ‘Rasulullah SAW pernah dilewati oleh orang yang membawa jenazah, lalu beliau berdiri.’ Ketika diingatkan bahwa jenazah itu ketika hidup adalah pemeluk Yahudi, Rasulullah menjawab, ‘Bukankah dia juga makhluk yang bernyawa?” (HR Muslim).

Fattah juga menunjukkan dalil bagaimana sikap pemurah Rasulullah yang jauh dari dendam sebagaimana ditunjukkan dalam peristiwa Fathu Makkah. Rasulullah dengan besar hati memaklumatkan, “Siapa yang memasuki rumahnya, maka ia aman. Siapa saja yang masuk masjid, maka ia akan aman. Siapa yang masuk rumah Abu Sufyan (pemuka kafir Quraisy), maka ia akan aman.” Lalu Rasulullah berpidato di hadapan mereka, “Kira-kira sikap apa yang akan kuambil terhadap kalian?” “Saudara yang mulia, putra saudara yang pemurah,” jawab mereka. “Pergilah. Anda semua bebas,” kata Rasulullah.

Rasulullah kemudian membiarkan mereka tanpa menanyakan satu pun perihal keyakinan mereka sehingga mereka memilih untuk memeluk Islam atas dasar inisiatif mereka sendiri. Ibnu Taimiyah dalam risalahnya perihal memerangi orang kafir, kata Fattah, meriwayatkan bahwa ketika membebaskan Kota Makkah untuk penduduknya, Rasulullah tidak memaksa mereka untuk memeluk Islam dan tidak menanyakan satu pun dari mereka apakah sudah memeluk Islam atau belum. Rasulullah membebaskan mereka meski sanggup untuk memaksa mereka. Mereka kemudian disebut dengan “At-thulaqa” atau penduduk yang dibebaskan. (Fattah, 1435 H: 43).

Pada peristiwa Fathu Makkah, Fattah melanjutkan, sebagian kelompok Ansor berteriak bahwa “Ini adalah hari pertumpahan darah (yaumul malhamah).” Maksudnya adalah Rasulullah akan membalas dendam kepada orang-orang yang memusuhinya selama beberapa tahun lalu. Tetapi Rasulullah menyatakan kepada semuanya bahwa “Ini adalah hari kasih sayang (yaumul marhamah).”  (Fattah, 1435 H: 44).

Semua dalil yang diajukan oleh Fattah ini dimaksudkan untuk menolak pemahaman ekstrem atas konsep al-wala wal bara yang sangat eksklusif dan intoleran atas segala bentuk perbedaan. Padahal, Rasulullah sendiri mengamalkan al-wala wal bara sebagai perintah agama dengan begitu moderat, ramah, dan toleran atas perbedaan keyakinan. Dengan demikian, Fattah ingin menegaskan bahwa ada yang salah dari pemahaman kita atas konsep al-wala wal bara ketika menerjemahkannya dalam bentuk sikap eksklusif, tertutup, intoleran, destruktif, dan offensif dalam kehidupan sosial dan politik.

Semua dalil dari Al-Qur’an dan praktik keseharian Rasulullah yang tawasuth, moderat, dan toleran dalam menyikapi perbedaan yang diajukan oleh Fattah sebenarnya telah dibahas dan dipraktikkan oleh umat Islam di Indonesia. Contoh praktik al-wala wal bara oleh Rasulullah itu sangat sesuai dengan kondisi sosial dan politik di Indonesia.

Rais Aam PBNU 1984-1991 KH Ahmad Siddiq mengistilahkan semangat persahabatan Rasulullah atas al-wala wal bara dengan Trilogi Ukhuwah, yaitu ukhuwah Islamiyah (persaudaraan seagama), ukhuwah wathaniyah (persaudaraan sebangsa), dan ukhuwah basyariyah/insyaniyah (persaudaraan kemanusiaan).

Penulis adalah alumni Pascasarjana Universitas Indonesia (UI)
 
-------------- 
Artikel ini diterbitkan kerja sama antara NU Online dengan Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kemkominfo RI