Opini

Tahun Politik, Berlindunglah di Balik Kain Sarung

Kamis, 4 Januari 2018 | 14:03 WIB

Oleh Aru Elgete

Januari telah memasuki hari keempat. Sementara kesibukan sudah mulai berjalan normal. Seperti biasa, orang-orang disibukkan dengan aktivitas yang padat. Saban pagi, mereka kerap berebut, saling dorong, dan bahkan mengeluarkan kata-kata kasar sebagai bagian dari peristiwa yang terjadi.

Kamis (4/1) pagi, saya melancong tanpa tujuan. Mengenakan sarung, iket sunda, kaus oblong dilapisi jaket, dan sandal jepit. Perjalanan saya mulai dari stasiun Bekasi. Entah akan berhenti di mana, saya tidak punya pikiran. Sebab, saya berjalan mengikuti kata hati. Ke mana pun. Sesukanya.

Saya menyelinap di tengah kerumunan orang yang tengah terburu; memburu waktu. Orang-orang tak saling kenal. Melangkahkan kaki dengan sangat cepat dengan tatapan mata fokus ke hadapan. Walau sesekali atau beberapa kali menatap layar smartphone. Saya menikmati adegan itu.

Ada hal yang menurut saya aneh dan sangat tidak wajar. Banyak mata tertuju kepada tubuh saya. Mata itu, ketika menatap ke arah saya, seperti menyapu seluruh tubuh. Dari kepala hingga kaki. Saya menyadari itu, karena beberapa kali tatapan-tatapan itu tersergap oleh penglihatan saya sendiri. 

Saya membatin dan seperti ada peristiwa dialog di alam bawah sadar, "Benarkah mereka merasa aneh melihat ada seorang laki-laki memakai sarung untuk bepergian di tengah keramaian kota?"

"Bukankah kain sarung hanya dikenakan kalau acara-acara keagamaan, acara-acara adat istiadat, atau paling tidak untuk menyelimuti tubuh agar terhindar dari gigitan nyamuk di malam hari?"

"Lho, memangnya ada apa dengan sarung? Bukankah sarung juga bagian dari peradaban dan keberadaban kita? Sarung menutupi tubuh dari sengat matahari, dari aurat yang terpampang. Tidak ada bedanya kan dengan celana?" 

Dari dialog diri itu, saya dapat menyimpulkan bahwa masih banyak orang yang beranggapan aneh terhadap sarung. Keberadaan sarung seperti dikucilkan. Ruang fungsinya dipersempit. Padahal, menurut hemat saya, sarung memiliki makna yang sangat luas. Dari sarung, kita bisa belajar banyak soal kehidupan.

Begini, cara menggunakan sarung secara umum adalah dengan terlebih dulu membentangkan kedua sisinya ke kanan dan kiri. Setelah agak rapi, sudut itu kemudian dipertemukan di tengah. Digulung; sampai bagian bawahnya berada di atas mata kaki dan agar kencang atau tidak mudah lepas.

Sarung, sependek pemikiran saya, mengajarkan tentang arti persatuan. Menjadi solusi atas kebuntuan terhadap perbedaan yang menyeruak ke permukaan. Kemudian, di titik yang sama; di titik tengah; kita seperti ditempatkan pada persamaan yang sifatnya naluriah. Artinya, sarung memberi arti bahwa betapa pun manusia berbeda, pasti terdapat persamaan yang mesti dikelola.

Dengan begitu, kita seperti ditegur olehnya, "Kalau belum bisa merawat perbedaan, lebih baik mencari persamaan. Jika tidak bisa menciptakan kedamaian, setidaknya jangan menimbulkan percikkan perselisihan". Berarti, sarung juga memberikan sebuah makna kesetaraan. Pengelolaan terhadap persamaan mesti selalu ditonjolkan, sebelum kita siap menerima segala macam perbedaan.

Kemudian, timbul pertanyaan lagi di dalam hati kecil saya saat tiba di stasiun Jatinegara, "Adakah gerangan orang yang gemar memakai sarung merupakan orang yang kerjanya memecah-belah persatuan, memercikkan perselisihan, dan menciptakan permusuhan?" 

Jawabannya tentu tidak. Entah sudah pernah atau belum. Selama saya hidup, saya tidak pernah melihat orang sarungan tawuran. Meneriakkan kata-kata kasar. Mengumpat dengan caci-maki kebencian. Atau, menghina kekurangan orang lain. Belum, dan semoga tidak akan pernah saya temukan.

Dari pemaknaan itu, kita belajar dari sarung bahwa betapa pentingnya sebuah kedamaian. Sarung memberi kesejukan. Menampilkan wajah ketenteraman bagi siapa pun yang menatap dan melihatnya. Sarung tidak mengandung unsur kebencian. Karena mungkin, sarung dibuat melalui tahap pendisiplinan, ketelatenan, dan kehati-hatian. Barangkali itu yang menjadi penyebab sarung tidak pernah membawa orang lain pada lembah kedurjanaan.

Tahun 2018 hingga 2019 nanti, merupakan waktu yang ditunggu-tunggu oleh sebagian besar orang di Indonesia. Pasalnya di dalam rentang waktu itu terdapat hajat besar-besaran, yakni, Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) serentak di beberapa wilayah dan Pemilihan Presiden (Pilpres).

Kita sudah sama-sama belajar dari beberapa peristiwa yang telah terjadi. Dalam pelaksanaan pemilukada atau pun pilpres, baik sebelum maupun sesudahnya, akan timbul percikkan api yang dapat menjauhkan diri dari sesama dan saudara. Berita bohong, kabar kebencian, meme yang dibuat untuk menjatuhkan lawan politik, akan tersebar dengan sedemikian massif. Entah siapa pembuat dan pelakunya. 

Aksi saling serang kerap terjadi saban perhelatan pesta demokrasi digelar. Tidak ada lagi kata damai, kecuali dengan iming-iming mahar yang tentu sangat mahal. Para elit politik sibuk mencari bahan peledak untuk membakar sejumlah akar rumput yang mulai mengering dari pengetahuan. Hal-hal semacam itu tidak dapat dipungkiri dan dihindari.

Karena itulah, saya mengimbau kepada seluruh warga NU; baik yang berada di struktur maupun kultur agar senantiasa menyelimuti akar rumput dengan kain sarung. Beri perlindungan yang mampu menenteramkan. Mencari jalan alternatif untuk tidak turut serta dalam situasi politik yang panas membara. Sebab, disadari atau tidak, ujung tombak NU adalah berada di akar rumput. Ketika akar rumput terbakar habis, maka bangsa carut-marut. Negeri yang dijuluki sebagai Zamrud Khatulistiwa ini akan dilanda kekeringan berkepanjangan.

Karenanya, NU sebagai salah satu pemilik aset negeri mesti bertanggung jawab atas hal itu. Minimal melakukan langkah pencegahan. Kain sarung yang selama ini menjadi identitas kaum santri, dan kaum santri yang identik dengan NU, mesti segera berlindung dari marabahaya; di balik kain sarung. Hingga pada akhirnya, masyarakat di perkotaan atau mungkin juga di perdesaan tidak lagi merasa aneh ketika melihat sarung digunakan dalam setiap aktivitas keseharian.

Sesampainya di stasiun Senen, saya menyendiri di peron. Melakukan kontemplasi sembari melihat beberapa kali kereta api arah timur melintas. Dan, sejauh mata memandang sama sekali tak terlihat ada orang yang mengenakan kain sarung kecuali saya. 


Dengan demikian, dengan lantang saya katakan; "Banggalah memakai kain sarung!"


Penulis adalah pengguna kain sarung