Opini

Terorisme sebagai Soft Issues

Senin, 28 November 2005 | 10:48 WIB

Oleh Ali Maschan Moesa *

Peter L. Berger melukiskan manusia modern saat ini mengalami anomie, yaitu keadaan di mana setiap individu manusia kehilangan ikatan yang memberikan perasaan aman dan kemantapan dengan sesama manusia lainnya, sehingga menyebabkan kehilangan pengertian yang memberikan petunjuk tentang arti dan tujuan kehidupan di dunia ini.

<>

Daniel Bell juga telah lama menyuarakan kegelisahan dan penyesalan atas modernisasi yang telah mencerabut serta melenyapkan nilai-nilai luhur kehidupan tradisional yang digantikan nilai-nilai kemodernan yang penuh keserakahan dan seribu satu nafsu untuk menghancurkan sesama umat manusia (violence behavior).

Dengan demikian, violence merupakan suatu keadaan dan sifat yang menghancurkan kehidupan manusia. Manusia sebagai makhluk yang berakal budi dan mulia menjadi terperosok pada sifat-sifat kebinatangan. Tindakan merusak, menekan, memeras, memerkosa, meneror, mencuri, melukai, membunuh, dan memusnahkan merupakan tindakan yang menodai dan menghancurkan kemuliaan manusia sebagai makhluk Tuhan.

Lebih-lebih jika kekerasan-kekerasan yang menghancurkan itu dilakukan secara sadar, sistematis, dan menghalalkan segala cara atau the end justifies the mean sebagaimana prinsip politik Machiavelli. Sehingga makin merosotkan derajat kemanusiaan ke titik paling terendah. Manusia terperosok ke dalam asfala safilin, suatu tempat terhina yang serendah-rendahnya, setelah sebelumnya berada di puncak kemuliaan dalam maqom ahsana-taqwim atau tempat yang paling mulia.

Walhasil, jika abad ke-19 dikenal sebagai "abad ideologi" (the age of ideology); abad ke-20 dipandang sebagai "akhir ideologi" (the end of ideology) lewat sosiolog Daniel Bell, atau malah "akhir sejarah" (the end of history) dari Francis Fukuyama, bahkan "akhir alam semesta" (the end of nature) dari Paul Mackiben. Ternyata, pada abad ke-21 ini, secara empiris, manusia berada pada "abad kekerasan" (the age of violence).

Kekerasan
Pada dasarnya, terorisme adalah kekerasan (violence), yaitu suatu sifat atau keadaan yang mengandung kekuatan, tekanan, dan paksaan. Kekerasan terkait dengan paksaan, yang berarti tekanan yang keras. Kekerasan juga sering dikaitkan dengan tindakan perkosaan, yakni suatu tindakan menundukkan dengan paksaan dan kekerasan. Dimensi kekerasan bukan hanya fisik, tetapi juga psikologis.

Dalam konteks inilah, Johan Galtung, penulis Violence, Peace and Peace Research, menyatakan bahwa penghancuran juga bisa dianggap sebagai kekerasan psikologis. Paksaan juga bukan sekadar memiliki sasaran pada individu, tetapi juga kelompok dan masyarakat, yang sering disebut kekerasan individual dan sosial atau struktural.

Lebih lanjut, terorisme termasuk term yang sulit didefinisikan karena istilah tersebut sering dipakai untuk merujuk tindakan kekerasan umum yang dilakukan musuh politik. Terorisme adalah sebutan yang lebih tepat untuk memukul lawan politik. Karena itu, ada persoalan yang lebih besar dalam penggolongan tindak kekerasan yang dijalankan dalam batas-batas sebuah negara (violence state). Tindak kekerasan yang ilegal tersebut mungkin saja absah (legitimate), khususnya bila penguasa negara menindas keras perbedaan pendapat dan bila tindakan ilegal tersebut tidak diarahkan pada orang-orang yang dilindungi.

Dalam Ensiklopedi Oxford disebutkan, penggunaan kekerasan untuk tujuan secara sengaja dan acak terhadap kelompok yang dilindungi merupakan terorisme. Ini adalah definisi fungsional dan tidak mengundang polemik, yang bersifat ringkas dan universal. Sedangkan pelakunya bisa negara, agen negara, atau perorangan yang bertindak sendiri.

Berikut ini diajukan beberapa pemikiran yang bisa dijadikan pertimbangan untuk menuntaskan tindakan terorisme yang masih sangat mungkin dilakukan para pengikut Azhari yang sudah tewas beberapa hari lalu.

Catatan
Pertama, upaya menentang terorisme tak ubahnya berperang melawan kelompok gerilyawan dengan lawan dan strategi yang tidak jelas. Aktivitas yang dilakukan dari keduanya mengarah pada hal yang sama, yaitu pencapaian tujuan politik. Kata teroris dan terorisme kemudian hadir tak lebih sebagai simplikasi agar terdapat objek yang diperangi d