Muhamad Abror
Kolomnis
Entah, sudah berapa kitab (buku) yang sudah para ulama tulis untuk mengabadikan perjalanan hidup Rasulullah saw, dari sejak Nabi lahir sampai detik kewafatan. Dari mulai kitab kuno yang manuskripnya tidak lagi ditemukan, sampai kitab modern dengan historiografi yang lebih praktis dan sistematis.
Secara periodik, penulisan sejarah hidup Nabi Muhammad saw (sirah nabawiyah) sudah dimulai oleh para penulis generasi pertama. Mereka adalah Urwah bin Zubair (92 H), Aban bin Utsman (105 H), Wahab bin Munabih (110 H), Syurahbil bin Sa’ad (123 H), Ibnu Syihab az-Zuhri (124 H), dan Abdullah bin Abu Bakar bin Hazm (135 H).
Namun sayang, kitab generasi pertama itu hilang, tidak sampai ke tangan kita. Tidak ada yang tersisa kecuali sisa-sisa yang terserak di beberapa kitab tarikh (sejarah), seperti Tarikh at-Thabari. Selain itu, sepenggal dari kitab Wahab bin Munabih disimpan di kota Heidelberg di Jerman.
Penulis generasi selanjutnya, beberapa yang terkenal adalah Musa bin Uqbah (141 H), Ma’mar bin Rasyid (207 H), dan Muhammad bin Ishaq (152 H).
Generasi berikutnya, di antaranya Ziyad al-Baka’i (183 H), Waqidi penulis Al-Maghazi (207 H), Ibnu Hisyam (218 H), dan Muhammad bin Sa’ad penulis kitab Ath-Thabaqat (230 H).
Setelah itu, penulisan kitab sirah nabawiyah semakin pesat dengan berbagai macam pendekatan. Seperti Rahiq al-Makhtum oleh Safyurrahman al-Mubarakfuri, Sirah Nabawiyah fi Dhau al-Qur’an oleh Abu Syahbah yang lebih berfokus pada penggalian kisah hidup Nabi dalam Al-Qur’an.
Fiqh al-Sirah al-Nabawiyah oleh Sa’id Ramadhan al-Buthi yang lebih fokus dengan penggalian hukum Islam dari setiap peristiwa sejarah Nabi saw, Raddu Syubuhat Haula ‘Ishmatinnabi oleh Imad as-Syirbini yang berfokus pada penegsan kema’shuman Rasulullah, dan lain-lain.
Namun, sebagaimana hasil penelitian Dr Ali Muhammad as-Shallabi, kitab-kitab tersebut belum komprehensif. Baik kitab-kitab klasik, maupun yang baru. Menurutnya, terkadang Ibnu Hisyam menyebutkan apa yang tidak disebutkan oleh Imam Adz-Dzahabi, Ibnu Katsir menyebutkan apa yang tidak disebutkan oleh Imam Ashabussunan. Ini adalah dari kitab klasik.
Sementara untuk kitab-kitab barunya, Imam Ash-Shiba’i dalam kitabnya menyebutkan apa yang tidak disebutkan oleh Syekh Al-Ghazali, Imam Al-Buthi menyebutkan apa yang tidak disebutkan oleh Imam Al-Ghadhban, dan sebagainya.
Kenyataan di atas menunjukkan kitab-kitab sirah nabawiyah masih saling melengkapi. Artinya, memang belum ada yang komprehensif. Oleh karena itu, as-Shallabi mencoba menyusun sebuah kitab sirah nabawiyah yang mencakup banyak hal. Bahkan, as-Shallabi tidak sebatas menyajikan data sejarah yang komplit, tetapi juga hikmah-hikmah yang terkandung dalam setiap peristiwa sejarah Nabi saw.
Perlu dicatat, kita mungkin tidak akan menemukan penguraian hikmah dan pelajaran di setiap peristiwa sejarah hidup Nabi saw. Karena memang dalam penulisannya, sejarawan hanya berfokus pada data-data persitiwa. Kita hanya akan mememukan penguraian hikmah dan pelajaran setiap peristiwa sejarah Nabi saw jika membuka kitab Fathul Bari oleh Ibnu Hajar, Syarah Nawawi atas Sahih Muslim, dan kitab-kitab para fuqaha lainnya.
Menyadari akan hal itu, as-Shallabi dalam kitab sirah nabawiyah-nya, di samping menyajikan data sejarah yang lengkap, juga turut menuliskan hikmah dan pelajaran dari setiap kisah perjalanan hidup Nabi Muhammad saw. as-Shallabi sendiri mengakui bahwa penjabaran hikmah dan pelajaran yang ia cantumkan bukan didapatkkan dari kebanyakan kitab-kitab sirah nabawiyah sebelumnya, melainkan dari kitab-kitab syarah hadits seperti Fathul Bari, Syarah Sahih Muslim, dan lain sebagainya.
Penulis coba jelaskan salah satu pembahasan tentang kisah Rasulullah saw saat menggembala domba milik orang-orang Mekah.
As-Shallabi menjelaskan bahwa saat Nabi Muhammad saw diasuh oleh pamannya, Abu Thalib, kebetulan kondisi ekonomi sang paman sedang tidak stabil. Belum lagi sang paman memiliki istri dan anak yang juga harus dinafkahi. Memahami hal itu, Nabi Muhammad meminta izin untuk bekerja menggembala domba milik orang-orang Mekah. Harapannya, upah yang diperoleh mampu untuk membantu memperingan ekonomi keluarga sang paman.
Dari kisah itu, As-Shallabi menguraikan beberapa hikmah, di antaranya:
1. Kesabaran
Menggembala domba tidaklah mudah. Karena umumnya domba makannya lambat. Oleh karena itu, seorang penggembala harus sabar dan memiliki daya tahan yang kuat. Selain itu, seorang penggembala juga bukan orang yang hidup mewah, melainkan hidup dalam udara yang panas, terlebih Jazirah Arab. Semua kepayahan ini jelas akan membentuk jiwa kesabaran Nabi saw.
2. Tawadhu (rendah hati)
Seorang penggembala, umumnya hidup selalu membersamai domba-dombanya. Memantaunya di mana pun berada, bahkan, tidak segan tidur di sebelahnya. Hal ini tidak menuntut kemungkinan untuk terkena kotoran hewan saat tidur. Pengalaman ini akan membentuk jiwa tawadhu Rasulullah.
3. Keberanian
Bagi penggembala, memilliki nyali dan keberanian yang tangguh adalah sebuah keharusan. Karena tidak menuntut kemungkinan bertemu hewan buas yang bisa kapan saja menerkam hewan gembalaannya, atau mengancam keselamatan nyawa sang penggembala sendiri. Hal demikian membutuhkan nyali dan keberanian tinggi.
Tiga pelajaran yang didapatkan seorang penggembala di atas akan membentuk karakter Nabi saw, sebagai bekal kelak saat memimpin umat dan menyebarkan dakwah agama Islam. Ini adalah bagian dari skenario Allah swt untuk mendidik nabi-nabi-Nya. Oleh karena itu, sebagai pemimpin umat yang tangguh, seluruh nabi pernah hidup menggembala. Rasululullah saw bersabda,
ما بعث الله نبيا إلا رعى الغنم
Artinya “Tidaklah Allah mengutus seorang nabi, melainkan ia pernah menggambala kambing.”
Masih banyak lagi kisah-kisah hidup Nabi Muhammad saw yang diuraikan, baik secara data maupun hikmah-hikmah yang terkandung di baliknya. Rasanya, tulisan singkat ini tidak mungkin untuk menuliskan semuanya.
Pada akhirnya, kitab ini sangat cocok untuk dijadikan referensi kisah hidup Nabi Muhammad saw. Kitab yang tidak hanya menyajikan data sejarah secara lengkap, tapi juga penguraian hikmah dan pelajaran yang jarang ditemukan pada kitab sirah nabawiyah pada umumnya.
Peresensi: Muhamad Abror, Pengasuh Madrasah Baca Kitab, alumnus Pondok Pesantren KHAS Kempek Cirebon, Mahasantri Ma'had Aly Saidusshiddiqiyah Jakarta
Identitas kitab:
Judul: Al-Sirah al-Nabawiyah ‘Ardlu Waqa’i wa Tahlil al-Ahdats
Penulis: Dr. Ali Muhammad Ash-Shallabi
Penerbit: Dar Al-Marefah, Beirut, Lebanon.
Cetakan: VII, 2008
Tebal: 933 halaman
ISBN: 9953-42-76-6
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Gambaran Orang yang Bangkrut di Akhirat
2
Khutbah Jumat: Menjaga Nilai-Nilai Islam di Tengah Perubahan Zaman
3
Khutbah Jumat: Tolong-Menolong dalam Kebaikan, Bukan Kemaksiatan
4
Khutbah Jumat: 2 Makna Berdoa kepada Allah
5
Khutbah Jumat: Membangun Generasi Kuat dengan Manajemen Keuangan yang Baik
6
Rohaniawan Muslim dan Akselerasi Penyebaran Islam di Amerika
Terkini
Lihat Semua