Muhammad Syakir NF
Penulis
Syakir NF
Perempuan kerap kali didomestifikasi pada urusan-urusan yang sempit di dalam rumah saja. Kaum hawa begitu dibatasi untuk mengambil peran di luar rumah. Dengan nada miring, kita tentu kerap mendengar bahwa urusan perempuan tak lebih dari dapur, sumur, dan kasur.
Hal pertama tentu berkaitan dengan urusan perut yang harus dipenuhi oleh seorang perempuan. Ia harus pandai dalam meracik bumbu-bumbu masakan dan menyajikannya menjadi hidangan yang nikmat disantap.
Perihal sumur, secara sempitnya, dapat diartikan dengan kebersihan. Perempuan harus dapat membuat segala hal berkaitan kehidupannya dan seluruh keluarga bersih, baik rumahnya maupun perabotan yang ada di dalamnya, maupun pakaian.
Terakhir, perempuan juga disudutkan pada persoalan kasur. Dalam arti liarnya, ia harus dapat memuaskan hasrat seks kaum pria. Lebih dari itu, perempuan juga harus dapat menghadirkan keturunan bagi kaum Adam.
Jika saja salah satu di antara tiga hal tersebut tidak dimiliki oleh perempuan, maka seolah keperempuanannya itu hilang. Ia bisa-bisa tidak dianggap sebagai seorang perempuan.
Stigma demikian terjadi di berbagai tempat, tak terkecuali di pesantren. Seorang ibu nyai tidak lebih memainkan tiga peranan itu, sementara hal-hal yang bersifat di hadapan publik adalah milik sang kiai. Pandangan demikian rupanya yang tengah coba dilawan melalui sastra. Perempuan pesantren tampil dengan menghadirkan fakta-fakta lain, bahwa tidak semua pandangan miring itu juga terjadi di pesantren.
Najhaty Sharma dengan sangat halus menghadirkan seorang tokoh Mazarina. Sebagai seorang putri kiai dan istri seorang kiai, ia tidak didomestivikasi pada tiga urusan di atas. Bahkan, ia sama sekali tidak bisa bersentuhan dengan ketiganya. Selain tidak pandai memasak, tidak terbiasa membersihkan rumah, Mazarina juga tidak dapat melahirkan keturunan bagi Gus Ahvash, suaminya, yang merupakan putra tunggal Pesantren Al-Amin, Tegalklopo.
Tidak hanya itu, Mazarina juga memainkan perannya di luar rumah. Selain mengisi pengajian ibu-ibu dan siap sedia menjawab segala macam pertanyaan seputar keagamaan dari jamaahnya, Mazarina juga mengajar para santri di pesantren yang diasuh oleh mertuanya.
Lebih dari itu, perempuan pesantren ini juga mahir dalam membuat desain pakaian. Bahkan, ia membuka gerai butik di dekat pesantrennya, menjual berbagai macam baju yang dirancangnya.
Syafiq Hasyim menyebut tiga syarat kiai, yakni (1) pemahaman keagamaannya tidak diragukan, (2) komitmen moral yang tinggi, dan (3) pengakuan dari masyarakat. (Bebas dari Patriarkhisme Islam, 2010: 318). Ketiga syarat itu juga telah dipenuhi oleh tokoh Mazarina yang dimunculkan Najhaty dalam Dua Barista telah memenuhi ketiganya. Karenanya, sebutan 'Ning' atau 'Nyai' bagi Mazarina tidak sekadar melekat karena ia merupakan seorang putri dan sekaligus istri seorang kiai, melainkan juga karena kemampuannya yang mumpuni dalam bidang keagamaan dan mengajarkannya kepada khalayak luas, sebagaimana diperankan seorang kiai. Melalui karyanya tersebut, itulah satu sisi yang hendak disuarakan penulis yang lahir dan tumbuh di Pesantren Al-Asnawi, Salamkanci, Bandongan, Magelang, Jawa Tengah.
Dulu, hal-hal demikian masih cukup tabu. Perempuan tidak seharusnya tampil di hadapan publik. Pada perkembangannya sekarang, tak sedikit nyai yang mengambil peran penting dalam pesantren. Peran nyai terlihat cukup dominan, bukan saja di wilayah domestik di lingkungan rumah dan pondok, tetapi juga dalam pengembangan kapasitas keilmuan dan keterampilan para santri. Nyai turun langsung dalam membimbing santri-santri mulai dari persoalan yang termaktub dalam teks, kasus-kasus kontekstual, hingga perihal masak-memasak. Santri tidak saja mampu meramu dalil untuk menemukan solusi problematika hukum atas kasus-kasus tertentu, melainkan juga meracik bumbu dan menyajikannya menjadi hidangan yang nikmat disantap.
Lepas dari persoalan poligami yang menjadi konflik, saya melihat Mazarina menjadi suara utama dari novel ini. Mazarina adalah model nyai masa kini yang memainkan peranan di pesantren, di tengah masyarakat, juga mandiri dengan Flower Galler, butik yang menjual baju hasil desainnya sendiri.
Peresensi adalah mahasiswa Fakultas Islam Nusantara, Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia dan Pengurus Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (PP IPNU).
Identitas Buku
Judul : Dua Barista
Penulis : Najhaty Sharma
Tebal : xvii+496
Tahun : 2020
Penerbit : Telaga Aksara
ISBN : 978-623-91852-4-4
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Gambaran Orang yang Bangkrut di Akhirat
2
Khutbah Jumat: Menjaga Nilai-Nilai Islam di Tengah Perubahan Zaman
3
Khutbah Jumat: Tolong-Menolong dalam Kebaikan, Bukan Kemaksiatan
4
Khutbah Jumat: 2 Makna Berdoa kepada Allah
5
Khutbah Jumat: Membangun Generasi Kuat dengan Manajemen Keuangan yang Baik
6
Rohaniawan Muslim dan Akselerasi Penyebaran Islam di Amerika
Terkini
Lihat Semua