Mengenal Arbain Nawawiyah, Kitab 40 Hadits Pilihan yang Masyhur
Senin, 20 April 2020 | 07:00 WIB
Banyak ulama menyusun kitab 40 hadits, tapi tampaknya karya Imam Nawawi ini adalah yang paling populer.
Amien Nurhakim
Kolomnis
Kajian hadits di Nusantara lebih akrab dengan kajian ilmu hadits riwâyah dibanding dirâyah sebagaimana disinggung dalam artikel sebelumnya. Kitab yang dikaji dalam pembelajaran hadits di Nusantara pun beragam; ada yang menggunakan al-kutub al-ashliyyah dan ada banyak pula yang menggunakan al-kutub al-far’iyyah.
Maksud dari al-kutub al-ashliyyah adalah kitab hadits induk atau primer. Ia memuat hadits-hadits yang memiliki sanad sendiri dari penulis sampai ke Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Contohnya adalah kutubus sittah (6 kitab hadits yang terkenal: Shahîh al-Bukhâri, Shahîh Muslim, Sunan Abî Daud, Sunan Ibn Mâjah, Sunan an-Nasâ`i, dan Sunan Tirmidzi), al-Muwattha`, al-Mustadrak, Mu’jam, dan lain-lain.
Sedang al-kutub al-far’iyyah adalah kitab hadits sekunder. Ia memuat hadits-hadits yang sanadnya bersandar kepada kitab primer, atau hanya kumpulan hadits tanpa sanad yang lengkap. Misalnya adalah Arbaîn Nawawiyah karya Imam an-Nawawi, ia memuat sekumpulan hadits namun sanadnya tidak disebut secara lengkap dan disandarkan kepada penulis kitab primer semisal al-Bukhâri dan lain-lain. Misal lainnya adalah kitab Bulûghul Marâm karya Imam Ibnu Hajar al-‘Atsqallâni. Kitab ini memuat sejumlah hadits-hadits hukum dan disusun sesuai bab-bab dalam ilmu fiqih, namun sanad hadits tidak disebutkan secara lengkap, hanya dari Sahabat Rasulullah saja, kemudian disebutkan siapa yang meriwayatkannya dari para penulis kitab semisal al-Bukhâri atau Ibnu Majah, dan lain-lain.
Dibanding Bulughûl Marâm, kitab Arbaîn Nawawiyah lebih tipis karena memuat tak sampai 50 hadits. Meski bernama Arba’în (berarti 40), kitab ini tak memuat hadits dengan jumlah persis 40, melainkan 42 hadits. Hadits-hadits tersebut berkaitan dengan pilar-pilar dalam agama Islam baik ushul (pokok) maupun furu’ (cabang), serta hadits-hadits yang berkaitan dengan jihad, zuhud, nasihat, adab, niat-niat yang baik dan semacamnya.
Hadits-hadits dalam Arbaîn Nawawiyah merupakan landasan atau fondasi dalam agama Islam. Sebagian ulama berpendapat bahwa ajaran Islam, atau setengahnya, atau sepertiganya berlandaskan pada hadits-hadits dalam kitab ini (Imam an-Nawawi, al-Arba’în an-Nawawiyah, Beirut: Dar el-Minhaj, cetakan pertama, 2009, h. 44).
Sebagaimana disebutkan dalam mukadimah kitabnya, Imam Nawawi termotivasi dengan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Mas’ud, Mu’adz bin Jabal, Abu Darda,Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Anas bin Malik, Abu Hurairah, dan Abu Sa’id Al Khudri radhiallahu ‘anhum, dari banyak jalur riwayat yang berbeda-beda:
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: "من حفظ على أمتي أربعين حديثاً من أمر دينهابعثه الله يوم القيامة في زمرة الفقهاء والعلماء" وفي رواية: "بعثه الله فقيها عالما،" وفي رواية أبي الدرداء: "وكنت له يوم القيامة شافعا وشهيدا". وفي رواية ابن مسعود: قيل له: "ادخل من أي أبوب الجنة شئت" وفي رواية ابن عمر "كُتِب في زمرة العلماء وحشر في زمرة الشهداء"
Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Siapa pun di antara umatku yang menghafal empat puluh hadits terkait perkara agamanya, maka Allah akan membangkitkannya pada hari kiamat bersama golongan fuqaha dan ulama.” Dalam riwayat lain: “Allah akan membangkitkannya sebagai seorang yang faqih dan ‘alim.” Dalam riwayat Abu ad-Dardâ: “Maka aku menjadi penolong dan saksi baginya pada hari kiamat nanti.” Dalam riwayat Ibnu Mas’ud: “Dikatakan kepadanya: masuklah kau ke surga melalui pintu mana saja yang kamu kehendaki.” Dalam riwayat Ibnu Umar: “Dia dicatat sebagai golongan ulama dan dikumpulkan pada golongan orang-orang yang syahid.”
Imam Nawawi menyebutkan dalam mukadimah kitab ini bahwa hadits yang beliau jadikan landasan di atas statusnya dha’if (lemah) meski jalur periwayatannya banyak. Kendati demikian hadits dha’if tetap bisa diamalkan dalam keutamaan-keutamaan (fadhâil al-a’mâl) selama itu tidak parah dha’ifnya (Dr. Mahmûd at-Thahhân, Taysîr Mushthalah al-Hadīts, Toko Kitab al-Hidayah, Surabaya, h. 66).
Sebelum Imam An-Nawawi menulis kitab ini, sebelumnya sudah banyak para ulama yang menyusun kitab serupa, sebagaimana dituturkan oleh beliau sendiri dalam mukadimah kitabnya. Di antara para ulama yang menyusun kitab serupa adalah Abdullah bin Mubarak, Muhammad bin Aslam ath-Thûsi, Hasan bin Sufyan an-Nasâ’i, Abu Bakr Al-Ajiri, Abu Bakar Muhammad bin Ibrahim al-Ashfihani, Dâruquthni, al-Hâkim, Abu Nu’aim, Abu Abdurrahman as-Sulami, Abu Sa’îd Al-Mâlîni, Abu Utsman Ash-Shâbûni, Abdullah bin Muhammad al-Anshâri, al-Baihaqi, dan masih banyak yang lainnya.
Barangkali kita bertanya-tanya, apa sebenarnya motivasi atau maksud Imam an-Nawawi memilih jumlah 40? Ibnu Daqîq menjelaskan dalam kitabnya, Syarh al-Arba’în an-Nawawiyah, “Hikmah pengkhususan bilangan 40 adalah, karena bilangan 40 merupakan bilang pertama (dalam hadits) yang mempunyai ¼ (seperempat) dari 10 (sepuluh), sebagaimana disebutkan dalam hadits zakat yang harus dizakatkan adalah ¼ (seperempat) dari10, yaitu 2,5%. Demikian juga mengamalkan ¼ seperempat dari 40 hadits akan menjadi perwakilan pengamalan hadits lainnya.” Bisyr al-Hâfi rahimahullah pernah berkata: “Wahai ahlul hadits, amalkanlah setiap satu dari 40 hadits yang ada” (Ibn Daqîq, Syarh al-Arba’în an-Nawawiyah, Muassasah ar-Rayyân, cetakan ke-6, 2003, h. 17)
Dalam proses penghimpunannya Imam an-Nawawi berkomitmen untuk menyantumkan hadits-hadits yang shahih saja. Sebagian besar hadits-hadits dalam Arba’în an-Nawawi terdapat dalam kitab Shahîh al-Bukhâri dan Shahîh Muslim. Beliau tidak menampilkan sanad secara lengkap, melainkan hanya menyebut Sahabat saja. Hal tersebut dilakukan supaya mudah dihafal dan lebih banyak digunakan di tengah-tengah umat.
Kitab ini dimulai dengan mukadimah (pengantar) dari Imam an-Nawawi, selanjutnya adalah hadits-hadits dari awal hingga akhir. Beliau tidak menyebut judul khusus pada hadits-hadits dalam kitab ini, hanya saja disebut hadits pertama, hadits kedua hingga seterusnya. Bagi para pembaca yang langsung merujuk ke kitab aslinya maka akan mendapati demikian, sehingga untuk mengetahui isi pembahasan suatu hadits ia harus membacanya terlebih dahulu. Beda halnya jika membaca kitab yang sudah ditahqiq atau syarah kitab ini yang tiap haditsnya sudah diberi tema oleh penerbit.
Banyak para ulama yang mensyarah kitab Arba’în Nawawi, di antaranya adalah Syarh al-Arba’în an-Nawawiyah karya Syekh Ibn Daqîd al-‘Aid, al-Wâfi fî Syarh al-Arba’în an-Nawawiyah karya Dr Mustafa Dieb al-Bughâ dan Dr Muhyiddin Mistu, al-Anwâr al-Muhammadiyah Syarh al-Arba’în an-Nawawiyah karya Syekh Hisyam al-Kamil, dan masih banyak lagi.
Kitab Arba’în Nawawi sangat cocok dipelajari bagi semua kalangan, terkhusus bagi yang belum mendalami ilmu hadits dirâyah sehingga tidak perlu repot menelusuri kualitas hadits-haditsnya. Sebab kebanyakan hadits di dalam Arba’în Nawawi dinukil dari Shahîh al-Bukhâri dan Muslim, serta sanad yang tidak disertakan secara lengkap akan memudahkan orang-orang yang hendak menghafalnya.
Amien Nurhakim, Mahasantri Pesantren Luhur Ilmu Hadits Darus-Sunnah
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Gambaran Orang yang Bangkrut di Akhirat
2
Khutbah Jumat: Menjaga Nilai-Nilai Islam di Tengah Perubahan Zaman
3
Khutbah Jumat: Tolong-Menolong dalam Kebaikan, Bukan Kemaksiatan
4
Khutbah Jumat: 2 Makna Berdoa kepada Allah
5
Hukum Pakai Mukena Bermotif dan Warna-Warni dalam Shalat
6
Khutbah Jumat: Membangun Generasi Kuat dengan Manajemen Keuangan yang Baik
Terkini
Lihat Semua