Penulis: KH Saifuddin Mujtaba
Penerbit: Pustaka Marwa
Cetakan: I. 2007
Tebal: 167 hlm
Peresensi: Juma’ Darma Poetra
Maulid Nabi, dengan berbagai kompleksitas problematika kehidupan yang menjerat manusia, terus bergulir seiring perputaran roda zaman, hal ini sering kali memenjarakan manusia pada kebingungan yang tak terhingga. Modernitas adalah kemenangan rasionalitas, tapi tidak intuitif dan rohaniah, manusia berada dalam kegersangan spiritual dan kekeringan rohani yang kronis. Hal ini terbukti sampai saat ini kesempurnaan yang dijanjikan modernitas masih berupa buih yang diterjang ganasnya gelombang samudera. Malah, secara de facto, dewasa ini orang-orang Barat, sebagai orang yang pertama kali memproklamirkan kebebasan akal dan menjadikannya sebagai satu-satunya ukuran kebenaran, telah berbondong-bondong menyunting doktrin yang dulu pernah mereka cela sebagai ajaran yang jumud dan kaku. Manusia semakin diliputi kebingungan. Renaisans sebagai abad pencerahan manusia ternyata hanyalah sabda tak bertuan dan bertuhan yang cenderung menyesatkan.<>
Kompleksitas masalah yang menggerogoti manusia sejalan dengan dinamisnya kehidupan manusia. Hal ini akan sangat mengancam terhadap eksistensi manusia yang terbaik (ahsani taqwim), motivasi dan energi yang terpupuk akan terancam tergerogoti dengan hal-hal yang duniawi dan temporal. Sehingga, spiritualitas sebagai organ paling penting dalam kehidupan manusia, semakin tersisihkan seiring arus modernitas dan gelombang globalisasi yang semakin menancapkan taringnya dalam kehidupan manusia.
Harapan akan adanya oase embun kesejukan yang bisa mengobati hausnya spiritualitas dan hujan yang membasahi keringnya rohani mulai tumbuh. Manusia mulai merindukan tata kehidupan yang lebih tenteram, damai dan membuat sejuk hati yang gersang dan kering akan siraman hujan kasih sayang Ruhan dan rasul-Nya. Manusia mulai berbondong-bondong lari menuju peradaban abadi.
Perayaan Maulid Nabi adalah medium mengakrabi kembali sang uswatun hasanah, sang penyejuk rohani, pembawa ajaran ketuhanan (ajaran langit atau samawi), nabi Muhammad adalah solusi yang paling mujarab yang membawa Islam par exelence. Karena pedoman hidup kita hanya ada dua, yaitu, Al-Quran dan Hadits Nabi. Keduanya akan menjadi pelita di tengah kegelapan malam, akan menjadi tongkat bagi “orang buta” dan akan menjadi pegangan hidup meniti jalan terjal penuh onak dan duri. Selama ini (seakan) kita telah membuat kesepakatan dalam kesesatan, (seakan) kita bersepakat untuk meninggalkan ajaran sucinya dan menganggap bahwa itu semua adalah hal klasik yang hanya pantas dikonsumsi para santri salaf atau pesantren. Kita menjadi jarang mengaji dan mengamalkan apa yang diajarkan di dalamnya, padahal hal ini sarat hikmah dan nilai-nilai hidup yang sebenarnya tidak bisa didapatkan di sembarang buku. Kita menjadi manusia yang beragama dengan kegersangan spiritual yang akut.
Maka, buku Muhammad’s Love Message yang banyak memotret sosok kepribadian Muhammad dapat dijadikan sebagai salah satu obat mujarab di tengah terpaan krisis manusia modern. Hal ini akan menjadi jalan untuk meneladani bagaimana jejak rekam sang pemimpin dalam memperjuangkan umatnya menemui puncak pencerahan sejati dan menggali kembali keutuhan ajarannya yang langsung diturunkan Allah melalui malaikat jibril dan meneladani tradisi (as-sunnah) yang dilakukan sang Nabi. Karena ajaran yang diusung sebenarnya tidak hanya berhenti di wilayah spritualitas, tetapi juga menjangkau zona rasionalitas, perpolitikan, perdagangan, dan semua aspek kehidupan manusia. Muhammad tidak segan-segan membaurkan dirinya dengan masyarakat bawah (kelompok subaltern). Sebab, tak ada alasan lain dalam perjuangan kecuali cinta dan “kedamaian” bagi segenap umat manusia dan kedamaian hati para umatnya.
Muhammad sang Nabi adalah ikon par excelence bagi segenap umat manusia di dunia. Baik, bagi para pengikutnya maupun bagi manusia-manusia yang meletakkan posisinya sebagai penentang. Kedahsyatan cinta sang Nabi dalam menebarkan beranekaragam ajarannya telah meruntuhkan payung sejarah yang dibangun kaum-kaum jahiliah dan semenjak itu, sejarah manusia pun berubah. Agama yang dibawanya adalah agama yang melampaui sejarah, karena pada dasarnya agama itu adalah sejarah.
Ironisnya, ajaran-ajaran seperti ini ternyata masih belum begitu banyak bersentuhan dengan para pengikut Muhammad sang Nabi. Sehingga citra yang berkembang di mata masyarakat adalah agama cenderung terkesan kaku, jumud, reaksioner. Sebenarnya, pemahaman seperti ini terkonstruk oleh pemikiran-pemikiran orang-orang Barat yang antiagama. Keberagamaan seperti ini perlu secepatnya dibongkar kembali demi tercapai muslim yang kaffah atau pengikut Muhammad yang sejati.
Sumbangan solusi yang ditawarkan KH Saifuddin Mujtaba dengan menghadirkan buku Muhammad’s Love Message yang tak lain adalah sekumpulan hadist-hadist Nabi, merupakan salah satu bentuk apresiasi yang cukup tepat, memikat dan tepat sasaran. Kegersangan spiritual dan rohani manusia yang telah sekian lama diombang-ambing keliaran akal semenjak abad ke-16 harus segera diobati. Dengan menghadirkan sebuah pemahaman holistik, komprehensif bagi masyarakat awam (abangan) adalah jalan paling tepat agar pemahan tentang ke-Islam-an tidak hanya diraup sebagian kecil para santri atau orang-orang yang tekun mempelajari kitab-kitab kuning di pesantren. Tetapi menyeluruh pada semua manusia.
Gejala sosial yang terjadi selama ini, Hadist atau Al-Quran yang merupakan tulang punggung dari ajaran Islam ternyata hanya dikonsumsi sebagian orang yang tinggal di pesantren atau pendakwah. Sedangkan secara realitas sosial, hampir 70 persen umat Islam di Indonesia bisa dikatakan sebagai kelompok abangan atau orang yang sama sekali tidak pernah bersentuhan langsung, khususnya dengan hadist-hadist Rasulullah. Padahal, disadari atau tidak, masyarakat saat ini sudah mulai jenuh dengan permaianan hidup yang tidak jua menuai ujung dan akhir, perkembangan teknologi, ilmu pengetahuan hanya berimplikasi pada tergerusnya keimanan. Sedangkan mereka sangat merindukan tatanan hidup yang lebih tentram, ayem dan damai secara lahir maupun batin.
Tentunya, semua itu hanya bisa tergapai dengan kembali mengakrabi ajaran-ajaran moral sang Nabi yang berpusat pada hadist dan Al-Quran. Sebab, dari sanalah sebenarnya oase kehidupan mengalir. Lewat buku ini, kita belajar mengakrabi ajaran sang Nabi. Meski kesan kaku dan kurang elastis masih sangat kentara memenuhi buku ini. Tapi, semua itu tidak mengurangi keutuhan dari buku ini.
Peresensi adalah Pengelola Taman Baca Masyarakat “Hasyim Asy’ari Institute”, Yogyakarta
Terpopuler
1
Meninggal Karena Kecelakaan Lalu Lintas, Apakah Syahid?
2
Menag Nasaruddin Umar akan Wajibkan Pramuka di Madrasah dan Pesantren
3
Hukum Quranic Song: Menggabungkan Musik dengan Ayat Al-Quran
4
Surat Al-‘Ashr: Jalan Menuju Kesuksesan Dunia dan Akhirat
5
Haul Ke-15 Gus Dur di Yogyakarta Jadi Momen Refleksi Kebijaksanaan dan Warisan Pemikiran untuk Bangsa
6
Mariam Ait Ahmed: Ulama Perempuan Pionir Dialog Antarbudaya
Terkini
Lihat Semua