Meski demikian jalan Gus Dur tak semulus yang dibayangkan. Greg Barton dalam bukunya Gus Dur: The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid (LKiS, 2003) mengisahkan detik-detik terpilihnya Gus Dur menjadi ketua tanfidizyah.
Rezim Orde Baru yang kala itu tengah berkuasa, bahkan sampai perlu ikut andil dalam proses menjelang diselenggarakannya muktamar. Kampanye ABG (Asal Bukan Gus Dur) pun didengungkan untuk menjegal Gus Dur.
Pada acara pembukaan muktamar, Presiden Soeharto duduk di barisan depan. Sementara Gus Dur berada di barisan ketiga dari depan dan bahkan ia tidak disapa sang presiden. Pada masa itu, Gus Dur dikenal sebagai seorang tokoh yang kritis terhadap pemerintah.
Gus Dur pun bukannya tidak sadar akan kejengkelan Soeharto terhadap dirinya. Namun, ia tetap yakin akan pilihan untuk tetap berjuang bersama NU. “Akan ada badai dan laut akan sangat berombak. Dan lebih daripada sebelumnya, NU akan memerlukan seorang kapten yang berpengalaman,” kata Gus Dur. (Barton, 2004: hlm. 246).
Ketegangan pun semakin memuncak, menjelang diadakan pemungutan suara untuk memilih ketua umum baru. Pada putaran pertama, Gus Dur berhasil mengumpulkan 157 suara, mengungguli Abu Hasan yang memperoleh 136 suara, Fahmi Saifuddin 17, dan Chalid Mawardi 6 suara.
Putaran kedua menjadi sebuah proses yang semakin menegangkan. Para kiai tua tak lagi dapat menahan kegundahan dan mereka pun menangis, sedangkan yang muda mereka mondar-mandir kebingungan. Mereka takut, jika Abu Hasan menang maka pemerintah Orde Baru akan dapat menguasai NU dan vitalitas intelektual akan disapu bersih.
Di sebuah ruang pertemuan utama yang luas, menjelang pukul tiga dini hari, penghitungan suara pun akhirnya dimulai. Melalui pengeras suara, nama-nama calon yang dipilih dibacakan. Mereka yang di luar ruangan, juga ikut menanti hasil dengan penuh harap cemas. Sebab, besar kemungkinan hasil penghitungan suara akan berbalik memenangkan Abu Hasan.
Hasil pemungutan suara pun diumumkan. Abu Hasan mendapat 142 suara, sementara Gus Dur berhasil memperoleh 174 suara. Tak pelak, kegembiraan langsung meledak. Di luar ruangan, berpuluh-puluh anak muda bahkan kemudian membentuk sebuah lingkaran sembari berlari berputar-putar dan meneriakkan yel-yel penuh arti: Soeharto has to go! Soeharto has to go! (Soeharto turun! Soeharto turun!)
Pada Muktamar NU kali ini kembali membuktikan, bahwa: uang dan kuasa, tidak bisa mengalahkan suara nurani warga Nahdliyin! (Ajie Najmuddin)
Terpopuler
1
Khatib Tak Baca Shalawat pada Khutbah Kedua, Sahkah?
2
Meninggal Karena Kecelakaan Lalu Lintas, Apakah Syahid?
3
Hukum Quranic Song: Menggabungkan Musik dengan Ayat Al-Quran
4
Masyarakat Adat Jalawastu Brebes, Disebut Sunda Wiwitan dan Baduy-nya Jawa Tengah
5
Jalankan Arahan Prabowo, Menag akan Hemat Anggaran dengan Minimalisasi Perjalanan Dinas
6
Wacana AI untuk Anak SD, Praktisi IT dan Siber: Lebih Baik Dimulai saat SMP
Terkini
Lihat Semua