Fragmen

Inilah Syair Bela Rakyat Pegangan Gus Dur

Kamis, 28 Desember 2017 | 05:02 WIB

Sebagai tokoh yang juga memiliki konsen pada seni dan budaya, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) juga mempelajari sastra dan syair-syair Arab, baik yang digubah oleh penyair masa Jahiliyyah maupun setelah adanya Islam. Hal itu diungkapkan Gus Dur saat orasi ilmiah dalam rangka Peresmian Kampus Universitas Yudharta, Senin, 23 Mei 2005 silam. (Videonya dapat disaksikan via Youtube).

“Ayah saya sukanya teori-teori kemasyarakatan dan kenegaraan Islam. Tanyakanlah (kepada beliau): Imam Syafi’i, Imam Hanafi soal beginian, kenyang jawabnya. Adiknya: Abdul Kholiq Hasyim, sukanya tauhid. Mbok sampai diare, tanya tauhid, (akan) dijawab,” ungkap Gus Dur. 


Tapi adiknya, Abdul Karim Hasyim, lanjut Gus Dur, sukanya adab, sastra Arab. Di rumah beliau ada Hammas atau Abi Tammam, yang itu menunjukkan kesenangan beliau pada sastra Arab. 

“Sastra itu sangat kaya dan sinis. Nabighah Dzubiyani, penyairnya mengatakan, dia diganggu terus oleh para politisi, akhirnya dia mengatakan: walasta bimustabiqin akhon la talumuhu, ala su’adin ayyurrijali muwadzahabu; kau bukan orang pertama yang menyakiti saudaranya (lho itu lho: politisi sukanya kan begitu, pasti menyakiti saudaranya itu lho). Kalau dipikir secara mendalam, memang, adakah orang yang sopan? Saking sinisnya (syair) ini,” papar Gus Dur di depan hadirin.

Tetapi, lanjut cucu Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari ini, mengaku lebih senang pada syair milik penyair Tharafa Ibna Abd. 

“Dia mengatakan: walastu bihallalittilangi makhofatan, walakin maata yastarfidil qaumu harfidzi; aku bukan orang yang sembunyi di balik gentong karena ketakutan. Gentong itu tempatnya di depan rumah apa belakang? Nah, biasanya di dapur. Lha, orang yang bersembunyi di balik gentong di dapur sudah habis-habisan takutnya. Ini katanya Tharafa, lho. Walakin mata yastarfidil qaumu harfidzi; tetapi kalau kaumku meminta pertolongan, akan kutolong. Lha ini, karena saya tidak berada di gentong, ya, kalau kaum saya minta tolong ya, saya tolong. Kalau perlu bertaruh nyawa. Ini Tharafa Ibna Abd sudah begitu. Ya itu pegangan saya dari dulu sampai sekarang. Tidak yang seperti Nabighah Dzubiyani yang sinis tadi itu,” pungkas Gus Dur.

Dengan demikian, wajarlah kalau Gus Dur mempunyai tekad yang kuat dalam membela masyarakat Indonesia baik di lapisan atas dan bawah. Ribuan tempat beliau datangi dengan tanpa tendensi, yang mungkin salah satunya adalah dorongan syair tersebut: jika kaumnya meminta tolong, meski bertaruh nyawa, ia akan datang dan bela.

Dalam cerahmah-ceramahnya pun, Gus Dur juga sering mendendangkan syair, shalawat atau puji-pujian. Selain syair di atas, salah satu yang dikenal komunitas Muslim tanah air adalah lantunan syair Gus Dur berjulul Tanpo Wathon yang menjadi hits pasca wafatnya. Syair itu kemudian populer dan menjadi pujian di masjid-masjid, acara keagamaan dan bahkan digubah kedalam versi dangdut. (Ahmad Naufa/Abdullah Alawi)