WS Rendra saat membacakan puisi-puisinya di Pondok Pesantren Tebuireng pada 1977 (Foto: Repro salah satu edisi di majalah Tebuireng)
M. Sakdillah
Kolomnis
Selepas Ashar, 1990, seorang santri penghafal Al-Quran baru selesai dari maqbarah Hadratussyekh KHM Hasyim Asyr’ari. Ia menunaikan kebiasaan rutinnya mendaras Al-Quran. Di halaman Pesantren Tebuireng telah ramai oleh kerumunan santri. Di bawah pohon Ketapang, telah berdiri Sawung Jabo, Setiawan Djodi, dan W.S Rendra di atas panggung kecil.
“Mas Iwan sudah pulang ke Jakarta. Dia kelelahan,” ujar Jabo. Ketiga seniman itu sengaja mampir ke Pesantren Tebuireng untuk sowan kepada Pak Ud (KHM Yusuf Hasyim), selaku pimpinan Pesantren Tebuireng kala itu. Mampir, sekaligus menyumbangkan lagu dan puisi setelah mengadakan konser akbar di Surabaya, Kantata Takwa yang populer.
WS Rendra sendiri bukan untuk yang pertama kali datang ke Pesantren Tebuireng. Dia pernah mengisi acara baca puisi pada 1977. Sore itu, bersama Sawung Jabo, Rendra menyanyikan dan membaca puisi “Paman Doblang”;
…
Paman Doblang! Paman Doblang!
Bubur di piring timah
didorong dengan kaki ke depanmu
Paman Doblang, apa katamu?
Kesadaran adalah matahari.
Kesabaran adalah bumi.
Keberanian menjadi cakrawala.
Dan perjuangan
adalah perlaksanaan kata-kata.
(WS Rendra, Depok, 22 April 1984)
Seni dan Pengetahuan
Ragam kesenian populer memang rada lambat masuk atau berkembang di pesantren, meskipun untuk membangun sebuah pesantren memerlukan seni tersendiri. Keterlambatan itu dikarenakan pesantren merupakan prototip fiqh yang ketat dengan aturan halal dan haram, mubah dan makruh.
Pada dasarnya, seni bagi orang pesantren tidak selalu tentang keindahan rima dan tema, melainkan haruslah memuat ilmu dan pengetahuan. Seni harus mengabdi kepada ilmu. Seperti nadham-nadham yang memuat pesan ilmu-ilmu tertentu. Bagi orang pesantren, seni adalah pengetahuan. Berbeda dengan pandangan Barat yang beranggapan: seni untuk seni. Atau, seni untuk kepentingan seni itu sendiri, meski belakangan mulai dibicarakan untuk “kepentingan” atau kritik sosial.
Namun, problem utama kesenian pesantren tetap jarang ada yang mengambil peran-peran populer. Seni di pesantren masih sebatas untuk dirinya sendiri, tidak bermakna universal, sehingga kesenian pesantren sangat identik, susah dipahami oleh awam, dan kurang adaptif.
Di Jawa Timur, Pesantren Tebuireng adalah salah satu pesantren yang cukup terbuka pada kesenian populer. Ketika melihat Asmu’i (ayah pelawak Asmuni) masih sering “ngeludruk”, Hadratussyekh KHM Hasyim Asy’ari memberi pesan agar jangan hanya ngeludruk saja. “Buatlah satu orkes gambus misalnya,” ujar Hadratussyekh. Asmu’i yang mendapat teguran itu lalu membuat sebuah grup kesenian gambus di Pesantren Tebuireng yang kemudian diberi nama Gambus Al-Mishri.
Pada masa Pesantren Tebuireng diasuh oleh Pak Ud, kesenian mendapat ruang yang lebih luas. Kiai yang dikenal kaku karena terdidik secara militer ini pernah kontroversial ketika menjadi salah satu pemeran film “Walisongo’. Tentu, kecaman berdatangan dari kiai-kiai fiqh. “Masak kiai kok main film?” demkian, suara protes terdengar.
Demikian pula, ketika Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid) menjadi ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), nada protes pun muncul dari kiai-kiai fiqh yang tidak setuju.
Seni sebagai Gambar dari Kenyataan Sosial
Kesenian, terutama drama, sering berada di panggung-panggung. Di atas panggung, kesenian dijadikan sebagai miniatur realitas sosial. Seni dijadikan ajang kritik terhadap keberlangsungan realitas sosial. Sebuah parikan (pantun) ludrukan Cak Durasim menyebutkan; Pagupon omahe doro, melu Nippon tambah sengsoro.
Sekilas, parikan Cak Durasim itu terkesan ringan, namun tanpa dinyana jika kemudian justru mengundang amarah pihak Pemerintah Jepang pada saat itu. Cak Durasim tewas di atas panggung setelah ditikam bayonet oleh tentara Jepang.
Sebagian orang sering mengatakan, seni tidak ada kaitannya dengan realitas karena seni lahir dari imajinasi seorang seniman. Khayalan yang dinyatakan ke dalam sebuah madah. Padahal, seorang seniman senantiasa hidup di dalam sebuah ruang dan waktu tertentu. Seimajinatif seorang seniman, dia tidak tinggal di dalam sebuah ruang kosong sejarah. Ada fakta-fakta yang tersembunyi.
Dalam hal seni populer ini, tentu masyarakat pesantren tidak hidup dalam ruang hampa sejarah. Mereka juga bergelut dengan realitas. Namun, sejauh ini, kesenian pesantren tidak lebih maju atau cukup mewarnai bila melihat kenyataan kesenian di panggung-panggung populer. Kalau pun terpaksa ada, mesti di musim-musim tertentu seperti di bulan Ramadhan ketika konsentrasi kapital sedang menumpuk di bulan itu.
Romantisisme Puisi Gus Dur
Di dalam bukunya, Greg Barton (2003) menyebutkan masa-masa romantisisme Gus Dur hadir setelah pulang dari Baghdad. Ketika ia memulai hidup baru sebagai kepala keluarga, berdagang es lilin dan kacang goreng, naik vespa pergi-pulang dari Pesantren Denanyar ke ke Pesantren Tebuireng, serta menulis rutin di majalah nasional dengan meminta honor duluan di Jakarta. Disertasi berasa novel Barton itu menyajikan gambaran yang utuh tentang perjalanan, karier, dan langkah-langkah strategis Gus Dur secara dramatik.
Namun, masih sedikit yang menggambarkan hubungan emosional Gus Dur dan Pak Ud, pamannya, laksana “anjing dan kucing” yang tak pernah akur. Mereka “bertengkar” terbuka melalui tulisan-tulisan di media massa kala itu. Begitu pula, pada beberapa momen di lapangan politik praktis ke-NU-an. Dari pertengkaran itu, melahirkan cara pandang berbeda dan memiliki nilai pendidikan secara luas bagi santri dan masyarakat.
Tidak saja kepada Pak Ud, Gus Dur juga melakukan konfrontasi pemikiran dengan adiknya, Gus Sholah (KH Salahuddin Wahid), Gus Ishom (KH Ishomuddin Hadziq), dan santrinya, KH Ahmad Musta’in Syafi’ie. Seni bertengkar (Jombang: tukaran) ini menurut Gus Dur dalam salah satu artikelnya memang merupakan tradisi pesantren. Posisi masjid yang berada di tengah antara rumah kiai dan asrama santri merupakan ajang tukaran. Tempat uji nyali santri dalam berbagai aspek keilmuan dan keterampilan. Begitu pula, halaman masjid bisa juga digunakan untuk tukaran dalam bidang seni beladiri.
KH Syihabuddin Raso, seorang santri Pesantren Tebuireng yang kini mengasuh Pondok Pesantren Darussalam, Ngesong, Jombang, menceritakan pengalaman belajarnya bersama Gus Dur. Gus Dur sering membaca syair-syair sastrawan Arab di masjid lalu syair-syair itu disyarahi secara panjang lebar. Gus Dur juga kala itu mengumpulkan santri-santri senior Pesantren Tebuireng untuk diajarkan menanam “rasa”. Setiap santri senior dari kelompok studi itu kemudian disuruh menerjemahkan sebuah novel berbahasa Inggris. Proses penerjemahan itu dilakukan secara berulang-ulang selayak sedang mensyarahi sebuah redaksi kata dari kitab kuning. Dalam pengulangan itu, tahap pertama masih diperbolehkan membuka kamus. Dan, pada tahap berikutnya, tuntas tidak lagi membuka kamus karena sudah banyak kosakata yang dihafal dan ditemukan “taste” bahasa penulisnya.
Sastra menurut Gus Dur mesti bersifat sinis. Hal ini ditunjukkan oleh Gus Dur ketika suatu ketika adik ragilnya, Gus Im (KH Hasyim Wahid), menyodorkan puisinya. Sinisme ditunjukkan oleh Gus Dur seketika dengan tidak menganggap karya Gus Im itu benar-benar puisi. Cuek! Hal itu bukan berarti karya-karya Gus Im itu tidak puitis, tapi pesan puitikanya harus sinis. Penilaian tidak langsung ditunjukkan oleh Gus Dur secara verbal, namun ditunjukkan dalam sikap sinis.
Sejauh ini, karya-karya berbentuk susastra yang ditulis oleh Gus Dur memang belum tampak atau belum ditemukan untuk dipublikasikan, padahal Gus Dur penah bercita-cita ingin membuat cerita silat yang digemarinya. Bukti otentik karya puitis Gus Dur yang banyak dijumpai adalah melalui tulisan-tulisan kolom di berbagai media, baik lokal maupun nasional. Bukti otentik puitika tulisan kolom Gus Dur adalah setiap tulisannya mesti mengandung “cunthel”, greget yang mengganjal di hati.
Bagi pembaca yang tidak mengenal “rasa bahasa” yang menjadi karakter tulisan Gus Dur akan sulit membedakannya. Mana tulisan asli yang diketik oleh Gus Dur sendiri dan mana tulisan hasil olah dari transkripsi. Memang, bagi kalangan sastrawan, sebagian masih menganggap sebuah tulisan kolom sebagai sebuah karya susastra. Meskipun tidak sedikit yang menolaknya.
M. Sakdillah, penulis buku Kesastrawanan Gus Dur (2010)
Terpopuler
1
Resmi Rilis, Unduh Logo Harlah Ke-102 NU Di Sini
2
Harlah Ke-102 NU Digelar di Jakarta, Ini Rangkaian Agendanya
3
Melihat Antusiasme Haul Guru Sekumpul, 32 Ribu Relawan Layani Jamaah yang Membludak
4
Terhimpun Rp18 Miliar Dana ZIS NU Care Pringsewu di 2024, Rp1,5 Miliar Berasal dari Koin
5
Turun, Biaya Haji 2025 Rata-Rata Jadi 55,43 Juta Rupiah Setiap Jamaah
6
Pro-Kontra Wacana Libur Sekolah Selama Ramadhan, Bagaimana Seharusnya?
Terkini
Lihat Semua