Yuhansyah Nurfauzi
Kolomnis
Islam mengajarkan para pihak yang terlibat dalam sengketa untuk berdamai. Tanpa menafikan pentingnya proses untuk mencari keadilan, perdamaian ditawarkan sebagai solusi yang menjunjung tinggi harmoni dalam kehidupan. Tidak saja menyelesaikan masalah tanpa dendam, berdamai juga memberi efek menyehatkan bagi orang yang mau menerapkannya.
Pada awalnya, bisa jadi pihak-pihak yang bersengketa mengalami trauma ataupun stres. Tidak jarang, gangguan emosional mengenai orang-orang yang sedang berselisih. Apalagi bila permasalahannya berat, juru damai juga mendapatkan tantangan tersendiri bila mental pihak-pihak yang bertikai mengalami luka mendalam.
Pada otak manusia, ada bagian “sistem limbic” yang memadukan kepekaan rasa, pengolahan ingatan, pengendalian emosi, dan mengatur pola belajar. Berbekal sistem inilah, manusia mampu menyimpan berjuta kenangan indah dan kelak dapat digunakan untuk mensyukuri berbagai macam anugerah nikmat dari Allah. Ketika seseorang sedang bersengketa, emosi yang muncul pada bagian limbic ini juga ikut terkelola sesuai dengan tindakan yang diambil dalam penyelesaian perselisihan.
Melalui sistem limbic itu pula, seseorang belajar mengenai hal-hal yang menyedihkan, mengecewakan, dan menimbulkan kesengsaraan. Dengan demikian, manusia dapat mengembangkan strategi untuk menghindarinya dan dengan cerdas mengubah potensi kesulitan menjadi peluang kebaikan. Persengketaan pada dasarnya dirasakan sebagai kesulitan, tetapi apabila seseorang menempuh jalan damai, maka sesungguhnya dia sedang mengubah kesulitan itu menjadi peluang berbuat baik kepada orang lain.
Dengan kata lain, sistem limbic memberikan dorongan, corak, dan suasana dalam kehidupan manusia. Sistem ini menjadi penghubung utama antara pikiran dan emosi sehingga molekul-molekul yang dikeluarkan dalam otak akan mengalir ke seluruh tubuh. Apabila seseorang meninggalkan permusuhan menuju kepada perdamaian, maka akan muncul emosi positif yang membangkitkan perubahan fungsi tubuh dan berdampak besar bagi kesehatan manusia.
Penting sekali bagi manusia untuk mengupayakan keberadaan emosi positif dalam dirinya. Emosi negatif perlu dikelola agar tidak membawa dampak buruk yang besar. Tidak jarang orang yang terlibat perselisihan mengalami gangguan emosi sehingga mereka sulit berdamai. Dalam konteks inilah pembahasan tentang pengelolaan stres ketika terjadi persengketaan menuju perdamaian menjadi sangat relevan.
Sebagai contoh, penelitian di Malaysia menunjukkan bahwa pihak-pihak yang bersengketa dalam rumah tangga dan pengasuhan anak dapat mengalami gangguan emosi. Dua contoh gangguan emosional yang ditemukan pada penelitian itu adalah Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) dan Obsessive Compulsive Disorder (OCD) (Zakiyy, 2022, Emotional Disorder as Obstacle to Sulh Settlement in Child Custody Cases in Malaysia, International Research Journal of Shariah, Muamalat and Islam [IRJSMI], Volume 4, Nomor 11: halaman 10-19).
Apabila dibiarkan berlarut-larut, stres yang memperturutkan emosi bisa menimbulkan dampak buruk terhadap kesehatan dan kemunduran sistem imun tubuh. Secara bahasa, stress berarti tekanan dan tekanan itu ada yang baik (eustress) dan ada pula yang buruk (distress). Tekanan yang baik dapat memacu seseorang melakukan sesuatu dengan lebih baik, sedangkan tekanan yang buruk berlaku sebaliknya.
Jadi stres tidak selalu membawa dampak buruk apabila dikelola dengan sikap mental yang baik. Pada contoh di atas, eustress bisa menopang dan memperkuat sistem kekebalan tubuh. Efek selanjutnya ketika kekebalan tubuh membaik akan meningkatkan harapan hidup dan membooster kebahagiaan. (Azhar, Cara Hidup Sehat Islami, [Bandung, Tasdiqiya Publisher: 2015] halaman 252).
Pendekatan yang paling efektif untuk menangani gangguan emosi adalah dengan memperbarui keimanan. Hal ini membutuhkan pengakuan dan kesadaran atas hubungan sengketa yang telah terjadi sebelumnya. Apabila salah maka segera diperbaiki dan bila sudah benar maka diupayakan untuk diperkuat.
Dalam hal ini, seseorang harus mengetahui bagaimana dirinya dengan sesamanya maupun dengan lingkungan sekitarnya. Kegagalan pada salah satu hubungan ini bisa melahirkan ketidakseimbangan emosional. Dengan memahami kausalitas atau hadirnya sebab akibat, seseorang akan mampu meminimalkan lahirnya rasa bersalah akut yang dapat mengguncang kestabilan emosi.
Setiap manusia pasti pernah salah dan sebaik-baik manusia adalah yang mau mengakui kesalahannya, mau memperbaikinya dan mau menjalin harmoni dengan diri dan pihak luar dirinya demi keadaan yang lebih baik. Inilah esensi islah atau perdamaian ketika terjadi konflik dengan sesama.
Dalam Al-Qur’an, proses perdamaian relevan dengan upaya untuk menjaga hawa nafsu ketika seseorang menahan emosinya sebagaimana digambarkan pada Surat An-Nazi’at di ayat ke-40:
وَاَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهٖ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوٰىۙ
Artinya: “Adapun orang-orang yang takut pada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari (keinginan) hawa nafsunya,”
Orang yang berhasil menundukkan hawa nafsunya, termasuk untuk mengelola emosinya sehingga cenderung pada proses perdamaian dapat diharapkan memperoleh kebahagiaan. Hal ini tergambar dalam Surat An-Nazi’at di ayat ke-41:
فَاِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوٰىۗ
Artinya: “Sesungguhnya surgalah tempat tinggal(-nya).”
Dari perspektif kesehatan jiwa, proses perdamaian melibatkan proses mediasi yang bersifat penyembuhan. Senada dengan itu, proses perdamaian yang sangat mirip dengan mediasi juga bersifat penyembuhan dengan dimungkinkannya perkembangan positif pada protein di otak. Hal ini dapat terjadi terutama ketika para pihak difasilitasi dengan proses yang intensif dan berulang untuk mencapai penyelesaian secara damai di akhir proses islah sehingga jiwa dan otaknya terarah kepada perbaikan.
Protein otak kemungkinan terlibat dalam pengambilan keputusan untuk berdamai. Protein itu disebut sebagai neurotropin yang berfungsi untuk membentuk pertumbuhan sel-sel otak atau neuron dan nantinya akan memiliki peran dalam adaptasi kebiasaan (Braun dan Braun, 2020, A Biopsychoscial Model-The New Approach to Dispute Resolution and Conflict Analysis for Mediators, Dispute Resolution Review Volume 1, Nomor 1, Bond University: halaman 35-53).
Dengan demikian, pengalaman seseorang yang berdamai dalam persengketaan menjadi warna baru dalam kehidupannya dan akan membuat otak membentuk jalur positif baru. Dengan jalur baru di otak yang terbentuk itu, otaknya semakin kaya dengan pembiasaan mental yang baik sehingga pola pikir damai yang sama akan diaktifkan untuk diterapkan bila ada kejadian serupa.
Uraian tersebut menjadi alasan terhadap munculnya istilah cinta damai. Orang-orang yang berusaha menuju ke arah perdamaian akan semakin mendapatkan efek baik terhadap keputusan dan kesehatannya sehingga dia berpola untuk mentradisikan perdamaian. Inilah proses menuju istiqomah yang dimudahkan oleh Allah bagi para pecinta damai. Wallahu a’lam.
Yuhansyah Nurfauzi, apoteker dan peneliti farmasi.
Terpopuler
1
Resmi Rilis, Unduh Logo Harlah Ke-102 NU Di Sini
2
Harlah Ke-102 NU Digelar di Jakarta, Ini Rangkaian Agendanya
3
Melihat Antusiasme Haul Guru Sekumpul, 32 Ribu Relawan Layani Jamaah yang Membludak
4
Terhimpun Rp18 Miliar Dana ZIS NU Care Pringsewu di 2024, Rp1,5 Miliar Berasal dari Koin
5
Turun, Biaya Haji 2025 Rata-Rata Jadi 55,43 Juta Rupiah Setiap Jamaah
6
Pro-Kontra Wacana Libur Sekolah Selama Ramadhan, Bagaimana Seharusnya?
Terkini
Lihat Semua