Nasional

4 Rekomendasi Naskah Drama Karya Sastrawan Indonesia

Ahad, 4 Agustus 2024 | 20:30 WIB

4 Rekomendasi Naskah Drama Karya Sastrawan Indonesia

Pementasa drama berjudul Amangkurat Amangkurat oleh Teater RSPD Tegal di Teater Arena Taman Budaya Tegal, Sabtu (27/7/2024) (Foto: radartegal.disway.id)

Jakarta, NU Online
Drama adalah bentuk karya sastra yang menggambarkan kehidupan dengan menyajikan permasalahan melalui dialog. Dalam sastra, drama merepresentasikan peristiwa fiksi atau non-fiksi melalui dialog tertulis, baik dalam bentuk prosa maupun puisi. Drama dapat dipentaskan di atas panggung, difilmkan, atau disiarkan melalui radio.

 

Drama telah ada sejak zaman Aristoteles sekitar tahun 335 Masehi. Kata drama berasal dari bahasa Yunani yang berarti tindakan atau perbuatan.

 

Di Indonesia, drama awalnya dikenal dengan nama tonil. Kemudian, tonil berkembang dan diganti dengan istilah sandiwara oleh PKG Mangkunegara VII. Kata sandiwara berasal dari bahasa Jawa, yaitu 'sandi' yang berarti rahasia, dan 'wara' (warah) yang berarti pengajaran. Dengan demikian, sandiwara mengandung makna pengajaran yang disampaikan melalui simbol-simbol.

 

Di Indonesia banyak naskah drama yang menarik untuk dipentaskan. Berikut empat rekomendasi naskah drama karya sastrawan Indonesia


1. Amangkurat

Amangkurat-Amangkurat: Lakon dalam Empatbelas Adegan (selanjutnya disebut Amangkurat) adalah naskah drama karya Goenawan Mohamad. Sesuai dengan judulnya, lakon ini berfokus pada sosok Amangkurat dan perebutan kekuasaan di Mataram Islam.


Drama ini mengisahkan fase terakhir kehidupan Amangkurat I di Tegal Arum setelah Keraton Mataram di Plered dihancurkan oleh Trunajaya. Akibat serbuan Trunajaya, Amangkurat terpaksa melarikan diri ke Tegal untuk meminta bantuan VOC. Namun, nasib Amangkurat berakhir tragis karena ia diracun oleh Adipati Anom, putra mahkotanya.

 

2. Mastodon dan Burung Kondor

Drama Mastodon dan Burung Kondor ditulis oleh WS Rendra. Drama ini menceritakan tentang situasi sosial politik di sebuah negara bagian di Amerika Selatan yang tengah menghadapi demonstrasi mahasiswa. Para mahasiswa ini berupaya keras untuk menggulingkan pemerintahan. Mereka menjalankan strategi revolusi yang didukung oleh para cendekiawan dan militer. Seorang penyair, Jose Karosta, menentang hal itu. Menurutnya, revolusi hanyalah seperti seseorang yang mengganti pakaian sementara jiwanya tetap sama.

 

Drama ini memiliki kemiripan dengan situasi politik orde baru. Hal ini terlihat dari karakter dan kemiripan tokoh-tokoh dalam cerita ini dengan situasi saat itu. Misalnya Max Carlos, salah satu tokoh dalam drama tersebut, digambarkan sebagai seorang pemimpin yang menyerukan pembangunan.


3. Sumur Tanpa Dasar

Sumur Tanpa Dasar adalah drama karya Arifin C Noer. Drama ini berkisah tentang Jumena Martawangsa, seorang pengusaha pabrik yang berhasil mengumpulkan kekayaan besar dan hanya menemukan hiburan di akhir hidupnya dalam tumpukan uang. Selain mengumpulkan harta, ia juga berhasil menikahi gadis muda dan cantik bernama Euis, yang dari sudut pandang materialistis, seharusnya membuat hidupnya bahagia.


Namun, realitas berbicara lain. Jumena merasa hampa dan menyadari bahwa semuanya hanyalah kesia-siaan. Tragedi yang tak pernah ia bayangkan muncul justru saat kesuksesan mendekatinya. Kekayaannya menimbulkan konflik dengan lingkungan dan orang-orang di sekitarnya yang mengincar hartanya. Bahkan istri mudanya sendiri mulai berselingkuh ketika ia benar-benar ingin mencintai dan mendapatkan cinta darinya. Kebahagiaan semakin jauh dari jangkauannya ketika ia menyadari bahwa kematian semakin dekat, dan ia tidak berhasil memiliki seorang anak untuk melanjutkan usahanya dan mewarisi kekayaannya.


4. Drama Mangir

Drama ini ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer. Drama Mangir mengisahkan perjuangan Perdikan Mangir untuk mempertahankan kedaulatan wilayah mereka dari serangan Kerajaan Mataram yang dipimpin oleh Panembahan Senopati.

 

Panembahan Senopati, raja Mataram dari tahun 1575 hingga 1607, bercita-cita menjadi satu-satunya penguasa. Dirinya ingin menaklukkan  daerah Perdikan Mangir. Ia pun merencanakan siasat yang licik dan keji. Lalu Wanabaya, atau Ki Ageng Mangir, pemimpin desa yang berjarak kurang dari 20 km dari ibu kota, dirayu oleh putri sulung Panembahan Senopati, Putri Pembayun. Ia kemudian dijebak dan dibunuh dalam sebuah pertemuan keluarga.