Nasional

Celios: Pemerintah Perlu Pertimbangkan Alternatif Kebijakan Selain Kenaikan PPN 12%

Kamis, 19 Desember 2024 | 07:00 WIB

Celios: Pemerintah Perlu Pertimbangkan Alternatif Kebijakan Selain Kenaikan PPN 12%

Ilustrasi pajak. (Ilustrasi: NU Online)

Jakarta, NU Online

Center of Economic and Law Studies (Celios) menilai bahwa pemerintah perlu mempertimbangkan alternatif lain selain kebijakan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen. Hal ini disebabkan sifat regresif dari pajak ini yang lebih memberatkan masyarakat berpendapatan rendah.


Sebagai pajak tidak langsung, PPN dikenakan secara merata tanpa memperhitungkan tingkat pendapatan sehingga kelompok miskin menghabiskan proporsi pendapatan yang lebih besar untuk membayar pajak ini dibandingkan kelompok kaya.


"Masih ada banyak alternatif dari kenaikan PPN 12 persen," tulis laporan Celios [PDF] bertajuk PPN 12%: Pukulan Telak Bagi Dompet Gen Z dan Masyarakat Menengah ke Bawah, dikutip NU Online, Kamis (19/12/2024).


Sebagai alternatif dari kenaikan PPN 12 persen, pemerintah didorong untuk membuat kebijakan pajak yang lebih progresif, seperti pajak karbon untuk mengurangi emisi dan menghasilkan pendapatan tambahan, pajak kekayaan yang menyasar individu berpenghasilan tinggi, atau pajak windfall komoditas pada keuntungan luar biasa sektor tertentu seperti tambang atau sawit. 


"Menutup kebocoran pajak sektor sawit hingga transaksi perusahaan digital lintas negara juga opsi perpajakan yang bisa dijalankan," tulis laporan tersebut. 


Celios menilai langkah ini lebih adil karena membebani mereka yang memiliki kemampuan finansial lebih besar, daripada masyarakat rentan yang sudah berjuang dengan kebutuhan sehari-hari. 


Selain itu, Celios menekankan bahwa reformasi sistem perpajakan yang lebih efisien, seperti memperluas basis pajak dan meningkatkan efisiensi pemungutan pajak, lebih penting untuk meningkatkan penerimaan negara secara berkelanjutan daripada sekadar menaikkan tarif.


Perubahan sistem perpajakan yang lebih sederhana, insentif PPh UMKM 0,1-0,2 persen untuk mendorong sektor informal menjadi formal jauh lebih berdampak pada perluasan basis pajak. Jika shadow economy atau aktivitas yang sebelumnya tidak membayar pajak berkurang, negara akan diuntungkan. 


"Cara-cara meningkatkan penerimaan pajak dari kenaikan tarif lebih menghasilkan penerimaan secara temporer dibandingkan rasio pajak jangka panjang," tulis laporan tersebut.


Menurut Celios, pemerintah juga dapat meninjau kembali pengeluaran negara yang terbuang untuk proyek-proyek PSN mangkrak dan jumlahnya mencapai triliunan rupiah. Hal itu termasuk menghentikan proyek ibukota negara yang sangat membebani APBN.


"Pemerintah juga bisa meninjau kembali penyertaan modal negara untuk BUMN yang terbukti tidak menghasilkan nilai tambah dan daya saing beberapa BUMN pemerintah yang jumlahnya mencapai ratusan triliun rupiah," jelasnya.


Sebelumnya, Pemerintah memutuskan untuk menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen mulai 1 Januari 2025 dengan alasan utama untuk meningkatkan penerimaan negara dan mengurangi defisit anggaran.

 

Kebijakan ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) sebagai bagian dari reformasi fiskal yang bertujuan memperkuat stabilitas ekonomi. 


Pemerintah berargumen bahwa kenaikan tarif PPN ini perlu dilakukan untuk memastikan pendapatan negara tetap stabil dalam jangka panjang. Namun, langkah ini menuai banyak kritik karena kondisi ekonomi yang sedang lesu, terutama daya beli masyarakat kelas menengah ke bawah yang masih rentan.