Jokowi Berkata Presiden Boleh Kampanye dan Memihak, Bagaimana secara Hukum dan Etika?
Rabu, 24 Januari 2024 | 18:45 WIB
Haekal Attar
Kontributor
Jakarta, NU Online
Pernyataan Presiden Joko Widodo atau Jokowi bahwa presiden dan menteri boleh berkampanye dan memihak terhadap capres-cawapres menjadi isu kontroversial. Pasalnya, Jokowi selama ini justru menekankan netralitas pejabat pemerintah pusat, pemerintah daerah, TNI, Polri, dan ASN.
Dosen Hukum Tata Negara Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Ahsanul Minan menyebutkan bahwa sikap Presiden Jokowi tidak semestinya diucapkan, karena hanya merujuk pada satu pasal 281 ayat (1) yaitu 'Kampanye Pemilu yang mengikutsertakan presiden, wakil presiden, menteri, gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, wali kota, dan wakil wali kota harus memenuhi ketentuan: a. Tidak menggunakan fasilitas dalam jabatannya, kecuali fasilitas pengamanan bagi pejabat negara, dan b. menjalani cuti di luar tanggungan negara.'
Menurut Minan, terdapat kekurangcermatan Jokowi di dalam membaca dan memahami UU Pemilu. Padahal terdapat pasal lain yaitu pasal 282 ayat 7 dan 283 ayat 1 dan 2 yang mengatur larangan berpihak bagi pejabat negara secara umum. Kedua Pasal tersebut, kata Minan, yang luput dari perhatian Jokowi.
"Dengan hanya merujuk pasal 281 maka presiden sebenarnya tidak mematuhi UU Pemilu itu sendiri karena tidak mempertimbangkan pasal pasal 282 No 7 tahun 2017 dan 283 ayat 1 dan 2," kata Minan kepada NU Online, Rabu (24/1/2024) sore.
Minan menerangkan, pesan dari pasal 282 UU No. 7 Tahun 2017 itu terdapat larangan kepada pejabat negara, pejabat struktural, dan pejabat fungsional dalam jabatan negeri, serta kepala desa dilarang membuat keputusan atau melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu peserta pemilu selama masa kampanye.
Sedangkan pasal 283 ayat 1 menyebutkan bahwa pejabat negara, pejabat stuktural dan pejabat fungsional dalam jabatan negeri serta aparatur sipil negara lainnya dilarang mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap peserta Pemilu sebelum, selama, dan sesudah masa Kampanye.
Selanjutnya, pada ayat 2 menyebutkan, “Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat pertama meliputi pertemuan, ajakan, imbauan, seruan atau pemberian barang kepada aparatur sipil negara dalam lingkungan unit kerjanya, anggota keluarga, dan masyarakat.
"Jadi cara memahaminya pasal 281 itu khusus mengatur pejabat negara yang ikut berkampanye, jadi tidak boleh menggunakan fasilitas negara, harus cuti, dan seterusnya. Sedangkan pasal 282 dan 283 mengatur larangan berpihak bagi pejabat negara secara umum. Pasal 282 dan 283 ini yang luput dari perhatian Jokowi," tegas Minan.
Doktor Filsafat lulusan STF Driyarkara, Amin Mudzakkir menyebut, seseorang yang mengemban jabatan sebagai Presiden sebaiknya tidak ikut berkampanye yang berarti negara berpihak terhadap pasangan calon (paslon) tertentu.
"Presiden adalah kepala negara yang melekat pada person tertentu, yaitu Jokowi. Presiden dan Jokowi tidak bisa dipisahkan. Ketika Jokowi ikut kampanye berarti kepala negara ikut memihak. Ini masalah etis yang serius," jelasnya kepada NU Online, Rabu (24/1/2024) sore.
Menurut Amin, etika harus mengikuti sebuah aturan atau hukum. Baginya etika adalah sebuah kepantasan yang dimana perlu dicontohkan langsung oleh seorang presiden sebagai teladan bangsa.
"Etika itu kan soal kepantasan. Ini Gibran (anak sulung Jokowi) maju aja sudah masalah etik yang serius. Saya kira setelah itu masalah etik akan terus muncul," terangnya.
Sebelumnya, Joko Widodo mangatakan, presiden hingga menteri boleh berkampanye dan memihak tehadap salah satu pasangan capres-cawapres dalam pemilu. Asalkan saat kampanye, kata Jokowi, tidak menggunakan fasilitas negara.
"Hak demokrasi, hak politik setiap orang. Kita ini kan pejabat publik sekaligus pejabat politik. Yang penting, presiden itu boleh loh kampanye. Presiden itu boleh loh memihak. Boleh. Tapi yang paling penting waktu kampanye tidak boleh menggunakan fasilitas negara. (Jadi) boleh (presiden kampanye)," ujar Jokowi, Rabu (24/1/2024).
Jokowi mengatakan hal itu ketika bersama Menteri Pertahanan sekaligus calon presiden Prabowo Subianto di sebuah acara di Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, Rabu (24/1/2024).
Menurut Jokowi, presiden dan menteri adalah “pejabat publik sekaligus pejabat politik”. “Masa gini enggak boleh, berpolitik enggak boleh. Boleh. Menteri juga boleh,” kata Jokowi.
“Semua itu pegangannya aturan. Kalau aturannya boleh ya silakan, kalau aturannya enggak boleh ya tidak,” sambungnya.
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Gambaran Orang yang Bangkrut di Akhirat
2
Khutbah Jumat: Menjaga Nilai-Nilai Islam di Tengah Perubahan Zaman
3
Khutbah Jumat: Tolong-Menolong dalam Kebaikan, Bukan Kemaksiatan
4
Khutbah Jumat: 2 Makna Berdoa kepada Allah
5
Khutbah Jumat: Membangun Generasi Kuat dengan Manajemen Keuangan yang Baik
6
250 Santri Ikuti OSN Zona Jateng-DIY di Temanggung Jelang 100 Tahun Pesantren Al-Falah Ploso
Terkini
Lihat Semua