Persoalan Perempuan Dinilai Masih Terbelenggu Struktur dan Budaya Patriarki
NU Online · Rabu, 24 Desember 2025 | 19:30 WIB
Wakil Ketua Komnas Perempuan Ratna Batara Munti dalam Diskusi Merawat Ingatan, Membangun Kekuatan Bersama Bangun Politik Perempuan Muda Banten yang diselenggarakan Lingkar Studi Feminis (LSF) di Kedai Wajah Pribumi, Ciputat, Tangerang Selatan, Rabu (24/12/2025). (Foto: NU Online/Mufidah)
Mufidah Adzkia
Kontributor
Jakarta, NU Online
Wakil Ketua Komisi Paripurna Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Ratna Batara Munti menilai persoalan perempuan di Indonesia hingga saat ini masih bersifat struktural dan kultural.
Hal tersebut disampaikan dalam Diskusi Merawat Ingatan, Membangun Kekuatan Bersama, Bangun Politik Perempuan Muda Banten yang diselenggarakan Lingkar Studi Feminis (LSF) di Kedai Wajah Pribumi, Ciputat, Tangerang Selatan, Rabu (24/12/2025).
Menurut Ratna, perempuan kerap dikonstruksikan secara sempit melalui pembakuan peran gender, seolah-olah hanya diposisikan sebagai ibu rumah tangga, bahkan dilegitimasi melalui pemaknaan perkawinan.
“Persoalan perempuan itu persoalan struktural dan persoalan kultural, yaitu persoalan pembakuan peran gender perempuan yang seolah-olah dikonstruksikan sebagai budak perempuan, seperti ibu rumah tangga, dan itu dilegitimasi dalam pemaknaan perkawinan manusia. Ini masih menjadi pekerjaan rumah yang harus diambil,” ujar Ratna.
Ratna juga menceritakan pengalamannya saat membentuk komunitas feminis Cut Nyak Dien pada masa aktivisme mahasiswa. Komunitas tersebut lahir dari kritik terhadap struktur dan kultur organisasi kepemudaan yang masih mendomestikasi aktivis perempuan.
“Waktu itu teman-teman aktivis mahasiswi sering hanya dijadikan panitia, sementara diskusi-diskusi berlangsung sampai malam. Kita ingin mengubah kultur-kultur seperti itu, maka dibentuklah Cut Nyak Dien,” jelasnya.
Ratna menilai situasi kekuasaan saat ini tidak jauh berbeda dengan masa lalu, bahkan cenderung masih parah. Ia menceritakan dalam situasi unjuk rasa yang terjadi belakangan ini Komnas Perempuan turut turun langsung memantau situasi di sejumlah Kantor Polisi.
“Kami mendorong agar tidak ada lagi yang ditahan, baik perempuan, anak, maupun mahasiswa,” katanya.
Ratna menuturkan bahwa Komnas Perempuan bekerja bersama Komnas HAM, Komnas Disabilitas, serta Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) untuk melakukan pemantauan dan pelaporan atas dugaan pelanggaran yang terjadi.
Dalam kesempatan ini, Ratna juga menyoroti upaya penulisan ulang sejarah yang dinilainya problematik. Ia menyebut adanya pernyataan seorang menteri yang dianggap gagal paham dan berupaya menihilkan sejarah, termasuk sejarah lahirnya Komnas Perempuan.
Ia menegaskan bahwa sejarah Komnas Perempuan tidak bisa dilepaskan dari Tragedi Mei 1998. Menurutnya, lembaga tersebut lahir sebagai bentuk tanggung jawab moral negara atas kekerasan terhadap perempuan.
“Komnas Perempuan itu persis setelah tragedi Mei. Pernyataan-pernyataan yang menihilkan sejarah, termasuk sejarah lahirnya Komnas Perempuan, itu sangat bermasalah,” ujarnya.
Ratna juga berbagi pengalaman bagaimana saat kerusuhan 1998, dirinya turut mengidentifikasi korban dan mengalami langsung kekerasan aparat serta kelompok bersenjata seperti Pengamanan Swakarsa (Pam Swakarsa) dan Keamanan Rakyat (Kamra).
“Polanya itu berulang, ada ancaman dan intimidasi dalam penanganan demonstrasi. Ini bukan penegakan hukum, tapi pelanggaran HAM,” tegasnya.
Ratna menekankan pentingnya pengakuan atas data pelanggaran HAM yang telah terdokumentasi di Komnas HAM dan Komnas Perempuan. Pengakuan tersebut, menurutnya, berkaitan langsung dengan hak korban atas pemulihan dan restitusi yang ditangani oleh LPSK.
Ratna mengingatkan bahwa Komnas Perempuan resmi dibentuk pada 15 Oktober 1998 melalui Keputusan Presiden Nomor 181 Tahun 1998. Lembaga ini memiliki mandat khusus untuk mengupayakan penghapusan segala bentuk diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan serta pemenuhan hak asasi manusia.
“Semua itu harus masuk dalam penulisan sejarah yang jujur dan utuh, bukan justru menihilkan peran dan perjuangan yang sudah ada,” pungkasnya.
Terpopuler
1
KH Miftachul Akhyar Terbitkan Surat Tabayun soal Pemberhentian Gus Yahya sebagai Ketum PBNU
2
Dianjurkan Puasa Rajab Mulai Besok, Ini Niatnya
3
Hasil Musyawarah Kubro di Lirboyo: Serukan Islah hingga Usulkan Penyelenggaraan MLB
4
Gus Yahya Ajak Seluruh Pengurus NU Siapkan Muktamar Ke-35 sebagai Jalan Terhormat dan Konstitusional
5
Gus Yahya Tanggapi KH Miftachul Akhyar soal AKN-NU, Peter Berkowitz, hingga Dugaan TPPU
6
KH Miftachul Akhyar Undang Rapat Konsultasi Syuriyah dengan Mustasyar PBNU di Pesantren Lirboyo
Terkini
Lihat Semua