Nasional

Sejarawan: Pemberian Gelar Pahlawan untuk Soeharto adalah Pertarungan Memori Publik

NU Online  ·  Jumat, 7 November 2025 | 16:30 WIB

Sejarawan: Pemberian Gelar Pahlawan untuk Soeharto adalah Pertarungan Memori Publik

Sejarawan Bonnie Triyana dalam diskusi bertajuk NU, PNI, dan Kekerasan Orde Baru di Outlier Cafe, Ciputat, Tangerang Selatan, pada Jumat (7/11/2025). (Foto: NU Online/Aru)

Jakarta, NU Online

Gelombang penolakan terhadap wacana pemberian gelar pahlawan nasional kepada Presiden Ke-2 Indonesia Soeharto semakin menguat. Usulan pemberian gelar pahlawan nasional ini dinilai mencederai sejarah.


Sejarawan sekaligus anggota Komisi X DPR RI, Bonnie Triyana menegaskan bahwa wacana gelar Pahlawan untuk Soeharto bukan sekadar soal menilai jasa seorang tokoh, melainkan pertarungan memori publik yang berimplikasi pada legitimasi kekuasaan di masa kini.


Bonnie menyampaikan bahwa rezim Orde Baru dibangun dengan fondasi represi, hegemoni, dan manipulasi sejarah.


Menurutnya, mengangkat Soeharto sebagai pahlawan berarti mengukuhkan kembali narasi tunggal yang selama puluhan tahun digunakan negara untuk menutupi kekerasan politik.


“Ini bukan soal mengakui atau menolak jasa Soeharto. Ini pertarungan memori di ranah publik. Ada pihak yang ingin melupakan, ada yang sengaja menghilangkan ingatan, dan ada korban yang terus mencoba mengingatkan,” tegas Bonnie dalam diskusi bertajuk NU, PNI, dan Kekerasan Orde Baru di Outlier Cafe, Ciputat, Tangerang Selatan, pada Jumat (7/11/2025).


Represi sistematis dan konsolidasi kekuasaan

Bonnie menjelaskan bahwa sejak 1965, proses konsolidasi kekuasaan dilakukan melalui operasi militer, kriminalisasi oposisi, serta pembungkaman kelompok-kelompok politik yang dianggap berpotensi mengganggu dominasi Soeharto.


Ia menegaskan bahwa represi tidak hanya menimpa simpatisan PKI melainkan kelompok Islam hingga para pendukung Soekarno.


“Kelompok Islam, kelompok pro-Soekarno, hingga aktivis demokrasi mengalami tekanan. Represi Orde Baru itu dari ruang publik sampai ruang privat, tembok pun bisa mendengar," paparnya.


Ia mencontohkan, para era Orde Baru ada film propaganda, penangkapan oposisi, hingga normalisasi budaya feodal dipakai untuk membangun citra Soeharto sebagai pemimpin yang tak boleh diganggu kritik.


Bahkan, menurutnya, negara sengaja menanamkan rasa takut dalam keluarga-keluarga Indonesia selama puluhan tahun.


Bonnie memperingatkan bahwa pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto berisiko memutihkan praktik kekuasaan otoriter.


Ia menuturkan langkah itu akan menyulitkan generasi muda membedakan batas antara pemimpin yang demokratis dan pemimpin yang sewenang-wenang.


“Kalau seorang yang berkuasa melalui represi dijadikan pahlawan, lantas apa standar kita untuk menilai pemimpin? Besok, seorang diktator bisa saja dilabeli pahlawan,” katanya .


Baginya, wacana mempahlawankan Soeharto tidak lahir dari upaya sejarah yang jernih melainkan dari dorongan politik yang ingin mengembalikan legitimasi tertentu.


Karena itu, ia menolak anggapan bahwa masyarakat harus menerima saja narasi yang diproduksi Orde Baru.


Bonnie menyerukan pentingnya membangun budaya demokrasi yang tidak mengkultuskan pejabat publik .


“Kita harus memulai tradisi baru yaitu mendesakralisasi jabatan publik. Presiden itu dipilih, digaji rakyat, dan bisa dikritik. Jangan ada lagi feodalisme yang diwariskan Orde Baru,” tuturnya.


Makna pahlawan

Sementara itu, Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Mohamad Syafi' Alielha (Savic Ali) menegaskan bahwa pahlawan adalah orang yang berani mempertaruhkan keselamatannya, kepentingannya, demi keselamatan dan kepentingan orang lain.


"Dia (pahlawan) mendahulukan orang lain, bahkan sampai bertaruh, bertaruh kepentingan, kerugian, atau keselamatan," kata Savic.


Bagi Savic, Soeharto tidak mempertaruhkan keselamatan dan kepentingannya, tetapi justru mendahulukan kepentingannya.


"Soeharto adalah salah satu presiden paling kaya di dunia, bahkan sampai hari ini, dengan kekayaan lebih dari 15 miliar dolar, sampai hidup sendiri 15 miliar dolar itu berapa triliun? Ratusan triliun. Enggak ada presiden yang punya kekayaan ratusan triliun padahal sebelumnya militer, bukan pengusaha," jelas Savic.


Menurut Savic, pertumbuhan pada era Orde Baru hanya dinikmati oleh Soeharto bersama keluarga dan kroni-kroninya.


"Bukan oleh warga kampung saya, bukan oleh warga negara ini, bukan oleh rakyat marhaen, bukan oleh sebagian besar warga Indonesia," tambah Savic.


Sebab, sebagian besar warga Indonesia pada masa Orde Baru sulit mendapatkan akses kesehatan dan pendidikan.


"Dulu benar-benar sebagian besar warga dipinggirkan, dimarginalisasi karena hasil pertumbuhan dinikmati oleh segelintir orang. Nah segelintir orang ini kalau mau menganggap Pak Harto sebagai pahlawan, silakan. Tapi enggak usah dinobatkan oleh negara sebagai pahlawan," tegas Savic.

Gabung di WhatsApp Channel NU Online untuk info dan inspirasi terbaru!
Gabung Sekarang