Jakarta, NU Online
International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) melakukan evaluasi terhadap implementasi Sustainable Development Goals (SDGs) di Indonesia selama tiga tahun perjalanannya. Dalam catatannya, INFID berkesimpulan bahwa persepsi warga terhadap ketimpangan masih tinggi.
"Survei INFID pada 34 provinsi menyimpulkan bahwa persepsi warga tentang ketimpangan di Indonesia meningkat dari 5,6 pada 2017 menjadi 6 pada 2018," kata Peneliti INFID, Bagus Takwin, di Jakarta Rabu, (20/9).
INFID secara khusus melakukan survei di tiga daerah tertinggal yaitu Kabupaten Dompu, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), dan Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan.
"Hasilnya, persepsi warga terhadap ketimpangan di dua kabupaten tertinggal yaitu di Kabupaten Dompu, dan Kabupaten TTS lebih tinggi dari angka di nasional," lanjutnya.
Temuan ini seolah berbeda dengan klaim pemerintah yang menyatakan tentang adanya peningkatan ekonomi Indonesia pada triwulan II-2018 sebesar 5,27 persen, yang lebih tinggi dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya 5,01 persen.
Saat itu, Kepala BPS Suhariyanto di Jakarta, mengatakan angka 5,27 persen tersebut juga lebih tinggi dibandingkan pada periode yang sama pada 2016 dan 2015 yang masing-masing tumbuh 5,21 persen dan 4,74 persen.
"Pertumbuhan ekonomi 5,27 persen ini merupakan capaian yang menggembirakan tapi saya perlu ‘highlight’ bahwa target pertumbuhan ekonomi pada tahun ini 5,4 persen," ujar Suhariyanto saat jumpa pers seperti diutip di Antara Senin, 6 Agustus 2018.
Menanggapi hal itu, Bagus menyatakan adanya perbedaan cara penelitian yang dilakukan INFID dan Pemerintah. "Yang dilakukan INFID adalah mengukur persepsi warga terhadap ketimpangan yang dialaminya, sementara yang dilakukan pemerintah berbeda. Jadi standar ukurannya berbeda," lanjutnya.
Bagus merinci, sejumlah persoalan kesehatan, sosial dan ekonomi yang di tempat lain sudah tak ada dapat ditemukan dengan mudah di TTS. Ia menyontohkan betapa besarnya angka busung lapar, gizi buruk dan kematian ibu saat melahirkan.
"Mereka sangat miskin, sebab penghasilannya yang sangat jauh di bawah kebutuhan. Di sana, mereka harus beli air, dengan uang hasil utang, sehingga utangnya banyak untuk beli air. Sedah begitu transportasi di sana sudah," kata dia. (Ahmad Rozali)