Jakarta, NU Online
Para ulama Nusantara sejak dahulu banyak yang sudah menggali keilmuan agama Islam dari tanah kelahirannya langsung, Makkah. Banyak juga yang mendalaminya di belahan Arab lainnya, seperti di Madinah, Kairo, hingga Baghdad.
Kepulangan mereka ke Tanah Nusantara membawa keilmuan yang luas dan mendalam, tidak justru membawa kebudayaan Arab yang dipaksakan di Nusantara.
Budayawan Ngatawi Al-Zastrouw menyebut bahwa para ulama Nusantara itu memiliki mekanisme pemertahanan diri. "Ulama punya self defense mechanism," katanya saat Picknikustik Komunitas Musisi Mengaji di Medco, Jalan Ampera Raya, Jakarta Selatan, Rabu (27/11).
Zastrouw mengatakan bahwa para ulama dulu percaya diri dengan kebudayaannya. Meski bertahun-tahun menimba ilmu di Timur Tengah, tak lantas mereka menjadi Arab. "Begitu pulang gak jadi orang Arab," ujarnya.
Belakangan, ada orang yang gemar kearab-araban usai pulang dari Timur Tengah. Hal tersebut, menurutnya, karena mereka sudah terlepas dari akar tradisinya.
Orang tersebut, lanjut Zastrouw, sudah mengalami kebangkrutan budaya sehingga tidak lagi percaya diri dengan kebudayaan asalnya. Untuk menutupi itu, ia harus membangun tembok berupa pakaiannya atau lainnya.
"Mengalami kebangkrutan budaya. Ben (biar) dikira saleh, biar dikiria Islam niru Arab," kata Ketua Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi) 2004-2010 itu.
Pengajar di Fakultas Islam Nusantara Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia itu juga menyampaikan bahwa orang demikian itu mengalami krisis identitas karena tidak memiliki referensi atau rujukan berkebudayaan.
Zastrouw pada kegiatan tersebut juga bersenandung bersama grup musiknya Ki Ageng Ganjur. Selain itu, Picknikustik bulan November ini juga diramaikan dengan kehadiran Sajjad Ali dan Ali Mustofa.
Pewarta: Syakir NF
Editor: Syamsul Arifin