Metamorfosa Santri: dari Resolusi Jihad ke Era Digital
NU Online · Selasa, 21 Oktober 2025 | 15:00 WIB
Hasanuddin Ali
Kolomnis
Sejarah perjalanan bangsa Indonesia tidak pernah bisa dilepaskan dari jejak perjuangan santri. Mereka hadir bukan hanya sebagai murid yang tekun dan mahir membaca kitab kuning, tetapi juga sebagai pejuang kemerdekaan, penggerak sosial kemasyarakatan, sekaligus juga penjaga moral republik.
Ketika KH Hasyim Asy’ari mengeluarkan Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945, santri dari berbagai penjuru pesantren berbondong-bondong turun ke jalan. Bambu runcing di tangan mereka bukan sekadar senjata, melainkan simbol keberanian dan perlawanan. Pertempuran Surabaya 10 November 1945 menjadi saksi, daya juang santri ikut menciutkan mental penjajah.
Setelah kemerdekaan, santri tetap berada di garis depan. KH Wahid Hasyim, putra pendiri Nahdlatul Ulama, duduk di BPUPKI dan kemudian menjadi Menteri Agama. Saat itu Pesantren tidak hanya menjadi tempat pengajaran agama, melainkan juga ruang penyemaian semangat nasionalisme. Di masa-masa awal republik, jaringan kiai dan santri adalah kekuatan sosial yang menjadi perekat kohesi masyarakat, mereka membangun madrasah dan sekolah.
Namun, dalam masa Orde Baru, identitas santri sering disempitkan perannya. Mereka dipandang hanya sebagai ahli agama yang tugasnya menyampaikan ceramah di masjid atau mengajar mengaji. Padahal, perlahan tapi pasti, santri sudah mulai masuk ke dunia profesi lain, guru, birokrat, bahkan teknokrat. Transformasi itu mungkin tak kasat mata pada masa itu, tapi peran santri mulai terlihat di ruang publik.
Gelombang reformasi membawa perubahan besar. Pesantren-pesantren mulai mengadopsi kurikulum ganda, kitab kuning tetap diajarkan, tapi mata pelajaran umum seperti matematika, sains, bahasa Inggris, komputer diajarkan dengan serius. Pesantren Tebuireng, Jombang, misalnya, menjadi pionir yang melahirkan generasi santri luwes. Dari pondok ini lahir tokoh-tokoh nasional seperti Abdurrahman Wahid (Gus Dur), cendekiawan, pejabat publik, hingga akademisi.
Pesantren tidak lagi hanya melahirkan ustaz atau kyai, tetapi juga dokter, insinyur, ekonom, bahkan teknokrat. Santri mulai mewarnai kampus besar dalam dan luar negeri.
Santri di Era Digital
Fenomena baru muncul ketika digitalisasi berkembang pesat di Indonesia. Survei Alvara Research Center dalam whitepaper “Si Eksis, Si Digital, Si Santuy” menggambarkan tipologi anak muda Indonesia, termasuk santri, hari ini. Ada yang sibuk membangun personal branding di media sosial, ada yang sepenuhnya menggantungkan hidup pada teknologi digital, dan ada yang lebih santai menghadapi arus perubahan.
Survei Alvara juga menunjukkan betapa kuatnya penetrasi digital di kalangan anak muda. Bukan hanya komunikasi dan hiburan, tapi juga konsumsi pengetahuan agama. Ceramah singkat di Instagram, potongan dakwah di TikTok, dan kajian panjang di YouTube kini menjadi bagian dari keseharian. Artinya, dakwah tidak lagi terbatas di mimbar masjid atau pesantren, melainkan hadir di layar ponsel.
Santri pun ikut memproduksi konten. Mereka membuat video tafsir singkat, menulis artikel opini, atau menjual produk pesantren lewat marketplace. Dunia digital bukan lagi ancaman, melainkan ruang dakwah dan wirausaha baru.
Perubahan itu nyata dalam kisah-kisah santri hari ini. Di bidang teknologi, Ainun Najib, santri asal Gresik ini pernah belajar di pesantren sebelum melanjutkan studi di Nanyang Technological University, Singapura. Kariernya cemerlang di dunia teknologi internasional, malang melintang di berbagai perusahaan digital. Ia dikenal luas setelah melahirkan inisiatif KawalPemilu, platform partisipatif berbasis digital untuk menjaga transparansi pemilu 2014. Ainun menunjukkan bahwa nilai-nilai pesantren, kejujuran, amanah, pengabdian bisa diterjemahkan ke dalam big data, coding, dan sistem digital.
Ada juga M. Aqil Baihaqi, alumnus pesantren Tambakberas, Jombang. Dari santri ia menjelma menjadi motivator nasional. Kepiawaiannya berbicara di depan publik, menggerakkan orang lain, adalah cerminan keterampilan yang ditempa di lingkungan pesantren, kerja keras, kepemimpinan, dan komunikasi
Baca Juga
Sejarah Hari Santri
Di ranah kewirausahaan digital, ada kisah Mohtar dan Dinda. Mereka memenangkan kompetisi Santripreneur yang digelar Shopee Barokah. Dengan strategi pemasaran online dan pemanfaatan e-commerce, usaha keluarga mereka naik kelas, dari dagangan lokal menjadi bisnis yang menjangkau pasar nasional.
Di luar nama-nama di atas, banyak pula santri yang membuka startup teknologi, santri yang menjadi dokter spesialis, santri yang bekerja di bank internasional, santri yang menjadi diplomat. Semua menunjukkan hal yang sama: santri tidak lagi identik dengan “ustaz kampung.” Mereka bagian dari profesionalisme modern.
Tantangan ke Depan
Tentu perjalanan ke depan ini tidak luput dari berbagai tantangan. Masih ada stigma bahwa santri hanya ahli agama. Banyak pesantren kecil belum memiliki fasilitas teknologi memadai. Akses internet di daerah masih terbatas. Guru yang menguasai literasi digital juga belum merata.
Ada pula tantangan internal, bagaimana menjaga kedalaman spiritual di tengah gempuran dunia digital? Bagaimana memastikan santri yang sibuk di ruang maya tetap mendalami ilmu agama?
Namun di balik itu semua, peluang terbuka luas. Bonus demografi, perkembangan teknologi, dan kebutuhan akan pemimpin berintegritas membuat santri punya ruang besar. Mereka bisa menjadi ilmuwan yang etis, pengusaha sosial yang berorientasi keberlanjutan, pejabat publik yang bersih, atau influencer dakwah yang segar.
Dengan demikian perjalanan santri, dari Resolusi Jihad hingga era digital, adalah kisah metamorfosis. Mereka dulu turun berjuang melawan penjajah, lalu masuk ke birokrasi, kini merambah dunia teknologi dan profesionalisme global.
Santri bukan lagi sekadar penjaga tradisi. Mereka adalah inovator, kreator konten, pengusaha digital, akademisi, dan teknolog. Kehadiran mereka menegaskan bahwa modal moral pesantren tidak pernah usang, justru semakin relevan di tengah derasnya arus globalisasi.
Tugas negara adalah terus memberi ruang, memperkuat pendidikan pesantren, menyediakan akses teknologi, dan membuka peluang profesional. Karena di balik kesederhanaannya, santri menyimpan potensi besar. Mereka adalah simbol persenyawaan antara agama dan kemajuan, antara tradisi dan inovasi.
Santri hari ini bukan hanya masa lalu yang hanya mengandalkan romantisme sejarah, tetapi masa depan yang penuh harapan.
Selamat Hari Santri 2025.
Hasanuddin Ali, Founder and CEO Alvara Research Center
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Kerusakan Alam dan Lalainya Pemangku Kebijakan
2
Khutbah Jumat: Mari Tumbuhkan Empati terhadap Korban Bencana
3
Pesantren Tebuireng Undang Mustasyar, Syuriyah, dan Tanfidziyah PBNU untuk Bersilaturahmi
4
20 Lembaga dan Banom PBNU Nyatakan Sikap terkait Persoalan di PBNU
5
Mustasyar, Syuriyah, dan Tanfidziyah PBNU Hadir Silaturahim di Tebuireng
6
Gus Yahya Persilakan Tempuh Jalur Hukum terkait Dugaan TPPU
Terkini
Lihat Semua