Muhammad Ainul Yaqin
Kolomnis
Hak untuk mendapatkan ilmu fiqih juga dimiliki oleh masyarakat pedesaan yang notabene mendapatkan fasilitas pendidikan lebih rendah dibandingkan masyarakat perkotaan. Hal ini yang kemudian juga mendasari para ulama memilih hidup berdakwah di pedesaan.
KH. Nuruddin Musiri misalnya, Pengasuh Pertama Pondok Pesantren Nurul Qadim ini adalah santri dari KH Hasan Sepuh Genggong yang dijuluki Macan Genggong pada masanya. Selepas mondok, ia dipinang oleh KH Hasyim atau yang lebih akrab disapa dengan Kiai Mino untuk dinikahkan dengan putrinya bernama Salama. Dari sinilah pendirian pesantren yang terletak di pelosok desa, tepatnya di Kalikajar, Paiton, Probolinggo mulai dinahkodai oleh dua tokoh tersebut.
Dakwah dengan terjun langsung ke masyarakat desa sekitar menghasilkan temuan tersendiri yaitu kondisi masyarakat saat itu masih awam dalam persoalan agama, sehingga beliau berinisiatif membuat kitab pegangan yang mudah dipahami oleh masyarakat sekitar dengan nama Nazhmud Diyanah.
Kitab ini disusun dengan Bahasa Madura agar lebih mudah dipahami oleh mayoritas masyarakat Probolinggo yang berbahasa Madura. Selain itu, santri yang menimba ilmu ke beliau saat itu mayoritas adalah masyarakat pedesaan dan pegunungan yang untuk berbahasa Indonesia masih belum fasih dan lancar.
Kitab ini didesain berbentuk nazham berbahar rajaz yang tentu memiliki daya tarik tersendiri untuk dibaca sendirian maupun bersamaan.
Berikut cuplikan pengantar (muqaddimah) kitab ini:
كوله نظم كلابن جارا مادوراه # مألى كامفاغ موريد2 سى أجاراه
Kauleh nadzom kalaben cara madureh # Makle gempang mored-mored se ajereh
(Kami gunakan dalam nazham ini dengan Bahasa Madura # agar mudah para murid belajarnya)
نيكا كامفاغ أجاراكي موريد ديسا
Nika gempang ajeragi mored disah # ........
(Ini mudah diajarkan ke murid pedesaan # .........)
Penulis dalam mukadimahnya menyampaikan alasan mengapa Bahasa Madura yang digunakan dalam karyanya tersebut, hal itu tak lepas karena memiliki tujuan untuk mempermudah orang desa memahami kitab yang ditulisnya.
Dalam menjelaskan poin-poin penting fiqih dasar, Penulis juga memberikan cara yang sesuai dengan kondisi masyarakatnya. Misalnya dalam menjelaskan ukuran air dua qullah. Bila ulama kontemporer membuat ukuran menggunakan liter supaya lebih mudah dipraktikkan di rumah masing-masing orang, maka Penulis melakukan hal yang sama, yakni membuat ukuran dua qullah dengan alat yang dipastikan semua rumah tangga memilikinya, yaitu wadah yang biasa digunakan untuk menyiram tanaman tembakau. Mengapa alat ini yang dipilih? Karena mayoritas masyarakat Paiton adalah petani dan mereka secara umum menanam tembakau.
Berikut cuplikan nazham yang dimaksud:
سى ياما أئيغ بنياء دفاء دو قلة # ياما ائيغ ساكونيء كوراغ دو قلة
Se nyamah aing benyak depak du kolla # Nyama aing sakonik korang du kolla
(Yang dinamakan air banyak ialah air yang mencapai dua kulla # Dinamakan air sedikit bila kurang dua kulla)
ساغاغ أبليك تاكاراناه ائيغ بنياء # ياما ائيغ ساكونيء لامون تاء كناء
Sangang blek takaranah aing benyak # Nyama aing sakonik lamon tak gennak
(Sembilan blek takarannya air banyak # Dinamakan air sedikit bila tidak mencapainya)
Guna mempermudah, Penulis langsung menjelaskan ukuran dua qullah dengan wadah yang biasa digunakan untuk menyiram tanaman tembakau (blek), terlebih saat itu masih banyak masyarakat yang menggunakannya untuk mengambil air bersih untuk ditampung di kamar mandi rumahnya masing-masing.
Ini menunjukkan bahwa begitu penting bagi para ulama untuk mencoba mengontekstualisasikan penjelasan yang terdapat dalam kitab kuning dengan kondisi masyarakat sekitar. Sebab, bila tidak demikian maka masyarakat awam bisa jadi makin enggan mengikuti ajaran agama yang dirasa sulit oleh mereka.
Masih banyak lagi keterangan fiqih dasar yang tidak hanya mudah dipahami, namun juga mudah dipraktikkan. Beliau tuangkan hasil pemikirannya dalam karya Nazhmud Diyanah hingga mencapai 273 bait.
Di bagian penutup Penulis menyampaikan bahwa nazham ini beliau susun saat proses belajar mengajar dengan para santrinya. Hal ini menunjukkan bahwa dalam prosesnya betul-betul berhadapan langsung dengan sasaran pembaca kitab.
Kitab ini telah berkali-kali dicetak dan dijadikan materi pembelajaran di Lembaga I’dadiyah Pondok Pesantren Nurul Qadim dan semua lembaga yang menjadi cabang dari pesantren. Tidak hanya itu, beberapa kajian masyarakat umum yang dimotori oleh alumni dan muhibbin menjadikan kitab ini sebagai bahan ajarnya. Terutama bagi para pendakwah yang ada di pedesaan dan pegunungan sekitar Paiton, Probolinggo. Sampai saat ini kitab juga mudah didapatkan bagi pembaca tertarik mempelajarinya.
Identitas Kitab
Judul: Nazhmud Diyanah
Penulis: KH. Nuruddin Musiri, Pengasuh Pertama Pondok Pesantren Nurul Qadim Paiton Probolinggo
Jumlah Nadzom: 273 Bait
Penerbit: Koprasi Kitab Pesantren Nurul Qadim
Muhammad Ainul Yaqin, Ketua Forum Kajian Pondok Pesantren Probolinggo dan Dosen Ma’had ‘Aly Nurul Qadim
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Gambaran Orang yang Bangkrut di Akhirat
2
Khutbah Jumat: Menjaga Nilai-Nilai Islam di Tengah Perubahan Zaman
3
Khutbah Jumat: Tolong-Menolong dalam Kebaikan, Bukan Kemaksiatan
4
Khutbah Jumat: 2 Makna Berdoa kepada Allah
5
Khutbah Jumat: Membangun Generasi Kuat dengan Manajemen Keuangan yang Baik
6
Rohaniawan Muslim dan Akselerasi Penyebaran Islam di Amerika
Terkini
Lihat Semua