Pustaka

Radikalisme Islam di Indonesia

Senin, 27 Oktober 2008 | 23:00 WIB

Judul Buku: Geneologi Islam Radikal di Indonesia   
Penulis: M. Zaki Mubarak
Penerbit: LP3ES, Jakarta
Cetakan: 2008
Tebal: xxxvii + 384 halaman
Peresensi: Muhamad Ismaiel

Mohammed Arkoun (1999) melihat fundamentalisme Islam sebagai dua tarikan berseberangan, yakni, masalah ideologisasi dan politis. Dan, Islam selalu akan berada di tengahnya. Manusia tidak selalu paham sungguh akan perkara itu. Bahwa fundamentalisme secara serampangan dipahami bagian substansi ajaran Islam. Sementara fenomena politik dan ideologi terabaikan. Memahami Islam merupakan aktivitas kesadaran yang meliputi konteks sejarah, sosial dan politik.<>

Demikian juga dengan memahami perkembangan fundamentalisme Islam. Tarikan politik dan sosial telah menciptakan bangunan ideologis dalam pikiran manusia. Nyata, Islam tidak pernah menawarkan kekerasan atau radikalisme. Persoalan radikalisme selama ini hanyalah permaianan kekuasaan yang mengental dalam fanatisme akut. Dalam sejarahnya, radikalisme lahir dari persilangan sosial dan politik. Radikalisme Islam Indonesia merupakan realitas tarikan berseberangan itu.

Tepat di sinilah, buku Geneologi Islam Radikal di Indonesia mengungkap realitas politisasi dan radikalisasi Islam. Zaki membuat batasan antara Islam sebagai ajaran penuh damai dan Islam setelah terkooptasi politik ke-Indonesia-an. Baginya, radikalisme merupakan persoalan kompleksitas yang tidak berdiri sendiri. Hampir seluruhnya memiliki pendasaran sangat politis dan ideologis. Layknya sebuah ideologi yang terus mengikat, radikalisme menempuh jalur agama untuk dapat membenarkan segala tindakan anarki. Maka, Islam tak sama dengan radikalisme.

Meski demikian, keberkaitan dengan kultur dan cara berpikir, membuat Islam dan radikalisme tak mengenal ruang. Seakan melebur dalam keberagamaan. Berawal dari memproduksi fanatisme, radikalisme masuk ke dalam ajaran Islam hingga dianggap bagian dari Islam. Lalu, membentuk pemahaman baru, bahwa Islam adalah agama kekerasan. Padahal, setiap agama memiliki sejarah kelam tentang paham fundamental, radikal atau kekerasan. Islam adalah satu di antara banyak agama dunia yang dituding penganjur paham fundamental.

Adalah keberimanan statis membuat radikalisme tak lekang oleh zaman. Ber-Islam dengan iman statis kerapkali menampilkan justifikasi hitam-putih hingga berlanjut pada pembelaan berlebihan terhadap keyakinannya. Saat itu, paham radikal sedang menjadi ideologi mengikat bagi kaumnya. Seperti dikemukakan Eric Hoffer tentang dogmatisme yang mencipta ketundukan mutlak. Tak hanya berhenti pada cara berpikir, dogmatisme demikian liarnya mencipta sikap pasrah.

Namun, Zaki tak mau berhenti di titik itu. Menghadirkan fakta sejarah dari pascakemerdekaan sampai kini merupakan kekuatan untuk mengungkap geneologi redikalisme Islam Indonesia. Buku ini mengungkap tapal perjalanan kaum radikal; Front Pembela Islam (FPI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Laskar Jihad sepanjang medio 2002, 2003 dan 2005 terutama setelah reformasi.

Sejarah dan Kuasa

Sejarah radikalisme Islam Indonesia sudah ada sejak dulu. Sejak Kartosuwirjo memimpin operasi 1950-an di bawah bendera Darul Islam (DI). Setelah DI, Komando Jihad (Komji) pada 1976 meledakkan tempat ibadah. Pada 1977, Front Pembebasan Muslim Indonesia melakukan hal sama. Dan tindakan teror oleh Pola Perjuangan Revolusioner Islam, 1978.

Teror perlahan memilihkan namanya sendiri untuk Islam radikal, sekalipun belum ada istilah tepat untuk menyebut realitas macam itu. Radikalisme merupakan sebentuk penguasaan tafsir atas Islam secara tekstual. Juga, peradaban teks dengan memperjuangkan formalisasi syariat. Militansi pun berlangsung dan memperkuat gerak Islam radikal di Indonesia.

Radikalisme Islam Indonesia lahir dari hasil persilangan Mesir dan Pakistan. Nama-nama seperti Hassan al-Banna, Sayyid Qutb dan al-Maududi terbukti memengaruhi. Pemikiran mereka membangun cara memahami Islam ala garis keras. Setiap Islam disuarakan, nama mereka semakin melekat dalam ingatan. Bahkan, sampai tahun 1970-1980-an ikut menyemangati perkembangan komunitas usroh di banyak kampus atau organisasi Islam. Juga, FPI dan HTI.

Istilah radikalisme Islam kian menguat tak hanya pada matra tekstualitas agama. Persentuhan dengan dunia kini, menuntut adanya perluasan gerakan. Mulai dari sosio ekonomi, pendidikan hingga ranah politik.

Mungkin, di sinilah letak kekuatan radikalisme Islam Indonesia. Semakin melekat dalam setiap segmentasi sosial, semakin susah dibendung. Ia pandai membaca ruang sosial yang tak cepat lekang. Karena memahami setiap ruang akan mengantarkan radikalisme mencipta mentalitas kultural.

Dari sini, ideologi radikal tampak begitu dekat dengan permainan kuasa. Menempuh jalur politik diyakini dapat mengantarkan Islam pada kondisi lebih tinggi, yaitu, mimpi formalisasi syariat dan terbentuknya negara Tuhan.

Sampai kini, kaum radikal terus berjuang untuk dua hal itu, baik melalui lobi-lobi politik maupun fundamental-ideologis. Ironisnya, Islam hanya dijadikan pendasaran politik kepentingan. Padahal, dalam praktiknya, teror, anarki dan kekerasan secara bergantian dilakukannya. Tidak ada batas baik-buruk, moral-amoral. Semuanya berjalan di tataran politik yang menjauh dari Islam. Akhirnya, radikalisme kadang keliru dalam memahami Islam.

Antara fundamental-ideologis atau kuasa politik, tak bisa menolak realitas pengeremangan Islam. Pemurnian Islam yang dibayangkannya terjebak pada penistaan. Egoisme politik telah mengaburkan cara beragama mereka. Dan, mimpi formalisasi syariat dengan tindak kekerasan hanya menyudutkan Islam. Bahwa Islam sebentuk agama penganjur kedamaian sekaligus keretakan sosial.

Memang, kaum radikal terus mengulang sejarah politisasi agama yang berujung pada sebuah penistaan. Buku ini mencontohkan, bagaimana aksi teror Komando Jihad tahun 1976 hanya menyisakan keresahan sosial. Orang tak lagi nyaman dalam beragama, sebab dihantui kecurigaan antarsesama.

Hingga penelitian ini selesai pada akhir 2005, dogmatisme-ideologis dan permainan kuasa politik masih diminati oleh kelompok Islam radikal Indonesia. Sama seperti meminati kekerasan di jalan Allah.

Peresensi adalah Peraih Paramadina Fellowship 2008